Makalah ini terinspirasi dari sebuah perdebatan antara pemikiran kelompok yang merindukan suasana relatif terkendali seperti pada era Pemerintahan Soeharto (baca : Orde Baru) dengan kelompok yang sadar bahwa semua kesulitan ekonomi yang dialami sekarang adalah dampak dari kebijakan orde baru. Kelompok pertama didominasi oleh kaum yang ”telah mapan” (pro status quo) dengan gaya berpikir konservatif sedangkan kelompok kedua didominasi oleh kaum yang ”optimis mapan” (kontra status quo) yang didominasi oleh gaya berpikir liberal.
Ciri utama kaum yang ”telah mapan” adalah rasa frustasi dengan realita kehidupan bangsa saat ini. Harga-harga yang kian mahal, KKN yang tidak pernah hilang, kemiskinan semakin bertambah, pengangguran tidak teratasi, kerusuhan sosial yang terus menjamur, jalan yang macet akibat demo-demo, dan berbagai masalah sosial yang di era orde baru sangat langkah ditemui. Tudingan terbesar dari penyebab semua ini dalam pandangan kaum yang ”telah mapan” adalah kebebasan yang kebablasan dengan mengatasnamakan ”demokrasi”. Secara sederhana kaum yang ”telah mapan” lebih menginginkan kebebasannya disunat yang penting masyarakat dapat hidup tanpa dibarengi sembako dan BBM yang mahal, pengangguran berkurang dan stabilitas keamanan yang mapan. Walaupun demikian, kaum yang ”telah mapan” sadar bahwa tidak mungkin negara ini kembali ke semua kebijakan-kebijakan ekonomi masa lalu. Reformasi di segala lini kehidupan bernegara yang dirintis kaum mahasiswa tahun 1998 tidak mungkin dapat terbendung. kaum yang ”telah mapan” berpendapat : tidak semua kebijakan yang lalu adalah jelek/kurang tepat (bahasa diperhalus, sebanarnya :salah). Banyak hal yang baik di waktu lalu yang perlu diadopsi untuk memperkaya khasanah kebijakan publik di era sekarang. Dalam panggung politik nasional, kelompok ini sangat sulit mempengaruhi kebijakan-kebijakan nasional karena mendapat hadangan (dicegat) oleh tekanan Pressure Group (pers, LSM dan Ormas) yang tidak moderat terhadap mereka khususnya di daerah sekitar pusat pemerintahan (Jakarta dan sebagian besar pulau jawa ). Tokoh-tokoh yang secara berani manampakan diri mewakili kaum ini didominasi oleh para purnawirawan ABRI (kini TNI AD) seperti Wiranto dan Prabowo yang masing-masing telah mendirikan partainya sendiri. Tokoh-tokoh sipil dalam kaum ini masih ”malu-malu kucing” menunjukan eksistensi dirinya selain tokoh-tokoh yang telah dikenal sebagai ”Soehartois” atau kerabat cendana seperti Tutut Rukmana dan Harmoko.
Berbeda landasan berpikir dengan Kaum yang ”telah mapan”, kaum yang ”optimis mapan” pada dasarnya berpendapat bahwa kondisi yang dialami bangsa dewasa ini adalah akibat kebijakan masa lalu (utamanya kebijakan ekonomi) yang keliru. Pemerintahan era Orde Baru gagal membangun pondasi ekonomi yang kuat bagi ekonomi masyarakat sehingga sangat rapuh dihantam badai krisis ekonomi, tetapi sangat berhasil membangun pondasi yang kuat bagi iklim KKN sehingga sangat sulit diberantas karena telah membudaya dalam segala jenis profesi dan pekerjaan. kaum yang ”optimis mapan” juga menganggap jaminan stabilitas keamanan di era Orde Baru adalah sangat semu karena dibangun dengan menginjak-injak Hak Asasi Manusia, menyumbat arus informasi (Pers banyak yang dibrendel), dan penculikan aktivis mahasiswa serta mengambil nyawa masyarakat melalui rumor Penembakan Misterius/Petrus (walaupun yang terakhir ini sangat sulit dibuktikan tapi mereka yakin). Pada bidang ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang dicapai di era orde baru dianggap sangat menipu analisis ekonomi karena dibangun dengan kebijakan konglomerasi yang hanya dirasakan oleh segelintir orang saja. Efek menetes kebawah (Trickle down effect) yang diharapkan dari kebijakan konglomerasi telah secara meyakinkan gagal berfungsi dalam sistem perekonomian nasional. Hal ini karena adanya ketimpangan dalam pembagian ”kue pembangunan” yang dibagikan oleh rezim orde baru. Secara global Indonesia kemudian tertinggal dari negara-negara lain dalam upaya mensejahterakan masyarakat. Indonesia telah terlebih dulu membangun dibanding Malaysia, Singapura, Vietnam tetapi kenyataannya Indonesia jauh lebih miskin dari mereka. Sekumpulan koreksi total terhadap kebijakan-kebijakan masa orde baru tersebut kemudian disatukan dengan satu merk nasional yang berlabel ”reformasi”. Istilah -kaum yang ”optimis mapan”- sangat tidak dikenal dalam kosa kata internal mereka karena kaum ini lebih suka dengan sebutan ”kaum reformis”.
Untuk mengkaji kedua pandangan yang berbeda di atas, Boediono (2007) mencoba melakukan telaah teoritis terhadap perkembangan-perkembangan tersebut di atas. Boediono menguji kebenaran paham ”kaum reformis” tersebut dengan pertanyaan filsafat yang mendasar : Apakah kita berada pada jalur yang benar ? (Are We on The Right Track?). Pertanyaan tersebut dijawab boediono dalam sebuah makalah pengukuhan Guru Besar Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogyakarta).
Apakah jalan yang kita tempuh sudah "benar"?
Pertanyaan Boediono di atas diawali oleh pesimistis yang besar karena kalau "ya", mengapa pertumbuhan ekonomi tak beranjak cepat sehingga tak cukup mengenyahkan pengangguran? Jangan-jangan eforia reformasi dan demokrasi tidak cocok untuk karakteristik negara berkembang seperti Indonesia? Jangan-jangan yang cocok bagi kita adalah gaya pemerintahan otoriter dan sentralistik? Bukankah Singapura, misalnya, juga bisa makmur tanpa perlu menempuh jalan reformasi dan demokrasi?.
Boediono ingin menguji kebenaran paham kaum yang ”optimis mapan” dengan presepsi awal pesimistis kaum yang ”telah mapan”.
Boediono menemukan fakta, betapa eforia demokrasi bisa menjadi kerikil sandungan dalam pembangunan ekonomi. Hal itu dikarenakan persoalan terbesar perekonomian Indonesia adalah sulitnya mendorong sektor riil karena adanya sejumlah kendala. Suku bunga perbankan walaupun diturunkan, dampak terhadap sektor riil tidak tampak secara signifikan karena dibalik kebijakan moneter yang dikeluarkan terdapat banyak kendala lain, mulai dari keterbatasan infrastruktur, hambatan birokrasi, struktur pasar monopolistik, hingga eforia demokrasi.
Boediono memancing untuk menguji tesisnya yang menggambarkan eforia demokrasi akan mengikuti lekuk kurva J. Artinya, dalam jangka pendek, eforia demokrasi akan memanen dampak negatif, seperti tergambar dalam lekuk di awal kurva J. Namun, pada titik tertentu, kurva ini menjulang ke atas. Mengutip Zakaria (2003), studi empiris 1950–1990 menunjukkan, batas kritis bagi demokrasi adalah pendapatan per kapita 6.600 dollar AS berdasar purchasing power parity (PPP).
Metode PPP merupakan perhitungan pendapatan yang sudah menghilangkan bias harga setempat. Kini, pendapatan per kapita Indonesia secara nominal adalah 1.300 dollar AS. Namun, karena harga barang dan jasa di Indonesia relatif lebih murah dibandingkan dengan di Amerika Serikat, secara PPP pendapatan per kapita Indonesia terkoreksi ke atas menjadi sekitar 4.000 dollar AS.
Artinya, benih demokrasi baru akan bersemai dengan baik jika suatu negara mencapai pendapatan per kapita PPP sebesar 6.600 dollar AS. Karena pendapatan per kapita PPP kita baru sekitar 4.000 dollar AS, diperlukan sekitar sembilan tahun untuk mencapai "zona aman". Asumsinya, kita mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata tujuh persen, sedangkan pertumbuhan penduduk 1,2 persen.
Implikasinya, selama sembilan tahun ke depan, kita akan menghadapi berbagai kerawanan demi kerawanan. Inilah hal yang mungkin bisa membantu pemahaman kita terhadap adanya berbagai dinamika (persisnya kerawanan-kerawanan), yang kita alami dalam sembilan tahun terakhir sesudah kita memasuki era reformasi.
Boediono berpendapat, bangsa kita sudah di jalur yang benar (on the right track) dalam menjatuhkan pilihan jalan demokrasi. Namun, ibarat tanaman, benih demokrasi ini merupakan jenis tanaman jangka panjang. Pada tingkat pendapatan per kapita rendah, kemungkinan kegagalan demokrasi amat tinggi, dan secara progresif menurun seiring dengan kenaikan pendapatan. Tanaman demokrasi akan kita panen hasilnya secara ekonomis dalam jangka panjang.
Agenda mendesak kita adalah mendorong pertumbuhan ekonomi agar bisa segera mencapai "zona aman" 6.600 dollar AS. Sesudah itu, menurut Boediono, demokrasi dan ekonomi akan menjalin hubungan timbal balik yang positif, saling memperkuat, dan menjadi penentu keberlanjutan (sustainability) peningkatan kemakmuran. Di sinilah kita mulai memanen "lingkaran surga" (virtuous circle).
Namun, justru di sinilah masalahnya. Belum ada indikasi perekonomian kita tumbuh tujuh persen per tahun karena investasi belum bergerak. Tahun ini paling-paling pertumbuhan enam persen. Sementara itu, karakteristik pertumbuhan ekonomi juga berubah. Lima tahun lalu setiap persen pertumbuhan ekonomi bisa menyerap 300.000 angkatan kerja baru. Kini, daya serap itu tinggal 200.000. Itu sebabnya, pertumbuhan ekonomi 5,5 persen (2006) hanya menyerap 1,1 juta orang. Padahal, angkatan kerja baru mencapai dua juta orang sehingga pengangguran terbuka meningkat dari 10 juta menjadi 10,9 juta. Penyebabnya, industri kita kian capital intensive daripada labor intensive.
Dengan demikian, meningkatnya pengangguran terbuka akan menciptakan jurang perbedaan pendapatan. Pada titik ini agaknya kita kembali ke isu klasik trade off antara pertumbuhan dan ketimpangan pendapatan. Kurva yang kita hadapi pun mirip, yakni kurva U, sebagaimana tesis Simon Kusnetz (1955).
Boediono telah membuka ruang diskusi isu strategis baru, tentang pertautan antara ekonomi dan demokrasi. Sambil terus mendorong kerja keras untuk mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata tujuh persen—yang tampaknya seperti jalan terjal—barangkali kita perlu melonggarkan waktu tunggu, tidak sembilan tahun untuk menuju "zona aman", tetapi lebih panjang. Bukannya pesimistis, tetapi bertambahnya angka pengangguran kita akhir-akhir ini cukup rawan menciptakan dampak negatif eforia demokrasi, yang pasti berpotensi menghambat laju pertumbuhan ekonomi.
Lampau dan Datang
Kutipan dari makalah Boediono di atas, walaupun dalam era dan fokus yang berbeda sebenarnya mirip dengan sebuah makalah yang diajukan tanggal 27 Nopember 1956 oleh Mohammad Hatta ketika menerima gelar doktor honoris causa dari UGM. Pada saat itu pidato yang disampaikannya berjudul “Lampau dan Datang”. Pidato sepanjang 30 halaman ini pada garis besarnya berisi pemikiran Hatta tentang kesenjangan antara idealisme dengan realita. Yakni perbedaan yang tajam antara cita-cita pejuang perintis kemerdekaan dengan realita kondisi masyarakat dan Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah sebelas tahun merdeka.
Pada masa penjajahan, struktur politik Hindia Belanda merupakan Negara Kepolisian (Politie-Staat). Ini memang sesuai dengan tujuan si penjajah untuk menguasai kehidupan politik, ekonomi dan sosial, sehingga tidak ada tempat bagi demokrasi. Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat Indonesia tertekan dan tidak bisa berkembang. Mengenai perekonomian, Hatta mengutip J.H. Boeke yang menggambarkan masuknya kapitalisme ke Indonesia dan menyebabkan kerusakan sosial yang serius. Ekonomi kapitalisme telah merombak susunan pergaulan hidup anak negeri serta organisme sosial yang ada, sehingga warga masyarakat yang lemah tidak sanggup bertahan. Persekutuan sosial yang ada diruntuhkan dengan tidak diganti dengan yang baru, menimbulkan kemelaratan dan memadamkan semangat manusia.
Keadaan yang memprihatinkan seperti tersebut di atas menumbuhkan cita-cita pada para perintis dan pejuang kemerdekaan Indonesia, sebagaimana dikatakan oleh Hatta sebagai berikut: “Indonesia Merdeka di masa datang mestilah negara nasional, bersatu dan tidak terpisah-pisah, bebas dari penjajahan asing dalam rupa apapun juga, politik maupun ideologi. Dasar-dasar perikemanusiaan harus terlaksana dalam segala segi penghidupan, dalam perhubungan antara seorang dengan seorang, antara majikan dan buruh, antara bangsa dan bangsa. Lahir dalam perjuangan menentang penjajahan, cita-cita perikemanusiaan tidak saja bersifat anti-kolonial dan anti-imperialis, tetapi juga menuju kebebasan manusia dari segala tindasan. Pergaulan hidup harus diliputi oleh suasana kekeluargaan dan persaudaraan.” (Ejaan telah disesuaikan dengan EYD).
Dalam pidatonya Hatta mengkritik Revolusi Perancis 1789 yang terkenal sebagai sumber demokrasi Barat, ternyata semboyan yang dicanangkannya yaitu “kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan” tidak terlaksana di dalam praktik. Menurut Hatta, demokrasi yang dilaksanakan di Perancis setelah revolusi hanya pada bidang politik, seperti hak untuk memilih dan dipilih menjadi anggota dewan perwakilan rakyat, sedangkan dalam bidang ekonomi tidak ada demokrasi. Bahkan dengan berkobarnya semangat individualisme yang dihidupkan oleh Revolusi Perancis, kapitalisme justru tumbuh subur. Pertentangan kelas semakin tajam, karena terjadi penindasan oleh yang kuat ekonominya terhadap yang lemah. Padahal dimana ada golongan yang menindas dan yang tertindas, maka persaudaraan hanyalah omong kosong.Demokrasi semacam itu tidak sesuai dengan cita-cita perjuangan Indonesia, yakni perikemanusiaan dan keadilan sosial. Bagi Hatta, selain demokrasi politik, harus berlaku pula demokrasi ekonomi. Akan tetapi Hatta merasa prihatin, karena selama terjajah kita banyak bercita-cita tentang perikemanusiaan, keadilan sosial dan sebagainya, ternyata setelah merdeka tidak dapat melaksanakannya di dalam praktik. Hatta khawatir hal ini tidak berbeda dengan negara Perancis pasca revolusi 1789.Berkaitan dengan Pancasila, Hatta berkata sebagai berikut: ”Apa yang kita alami di Indonesia sehari-hari sekitar kita, merupakan seolah-olah Pancasila itu diamalkan di bibir saja, tidak menjadi pelita di dalam hati untuk membangun masyarakat baru. Tiap-tiap golongan berkejar-kejar mencari rezeki. Golongan sendiri dikemukakan, masyarakat dilupakan. Dalam teori kita menganut kolektivisme, dalam praktik dan perbuatan memperkuat individualisme. Dalam teori kita membela demokrasi sosial, dalam praktik dan perbuatan menghidupkan semangat demokrasi liberal. Partai yang pada hakekatnya alat untuk menyusun pendapat umum secara teratur, agar supaya rakyat belajar merasai tanggungjawabnya sebagai pemangku negara dan anggota masyarakat, -- partai itu dijadikan tujuan dan negara menjadi alatnya. Dengan itu dilupakan, bahwa adalah imoril dan bertentangan dengan Pancasila, istimewa dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, apabila rakyat dirugikan untuk kepentingan partai, yaitu golongan.”
Menarik dicermati, pada tahun 1956 itu Hatta telah mengatakan bahwa Pancasila hanya diamalkan di bibir saja. Selain itu disoroti pula tentang merajalelanya korupsi – penyakit yang hingga kini sukar disembuhkan – seperti yang Hatta katakan: “Maka timbullah anarki dalam politik dan ekonomi. Kelanjutannya, korupsi dan demoralisasi merajalela. Demikianlah wajah Indonesia sekarang setelah sekian tahun merdeka. Nyatalah, bahwa bukan Indonesia Merdeka yang semacam ini, yang diciptakan oleh pejuang-pejuang dahulu. Di mana-mana sekarang orang merasa tak puas. Pembangunan dirasakan tidak berjalan sebagaimana mestinya…”(kutipan dari Arsip UGM, Pidato pada penerimaan gelar doctor honoris causa dari Universitas Gadjah Mada pada 27 Nopember 1956”)
Pidato Mohammad Hatta yang disampaikan pada tahun 1956, lima puluh dua tahun yang lalu, kiranya masih relevan dengan kondisi negeri kita pada saat ini. Untuk itu, bukan pada saatnya untuk berpihak pada pemikiran mana yang harus disahkan kebenarannya, namun tulisan ini mencoba untuk mengangkat lagi apa yang telah dan akan terjadi di negeri ini. LAMPAU DAN DATANG, adalah kearifan kita bersama untuk menghargainya. Kesimpulannya ada pada kepala kita masing-masing.