Dalam sebuah tatap muka tahun
2012 yang lalu dengan Dr Tadjuddin Parenta, seorang ahli ekonomi dari
Universitas Hasanuddin Makassar, penulis berkesempatan mempertanyakan “Cost Politik” Pilkada Jawa Timur. Untuk menghasilkan seorang
Soekarwo (Baca Gubenur Jatim), Negara harus mengeluarkan biaya kurang lebih 1
Trilyun Rupiah. Itu setara dengan biaya pembangunan jembatan Suramadu. Apakah
itu layak?
Sungguh sangat terkejut
ketika dengan sangat emosional Dr Tadjuddin Parenta menjawab bahwa penulis
harus merevisi cara berpikir. Saya adalah orang ekonomi, tapi saya tidak
berpikir se naif anda, demikian ekonom yang sangat disegani itu menjawab. Pembangunan
bangsa ini jangan dihitung secara lugu dalam skala ekonomi. Pembangunan
demokrasi adalah sama pentingnya dengan pembangunan sektor pendidikan,
kesehatan maupun sektor-sektor prioritas lainnya di negeri ini.
Setelah hiruk pikuk
Pemilihan Presiden dilalui oleh Bangsa ini. Kontroversi penataan Pemilihan Umum
Kepala Daerah (Pemilukada) mengemuka seiring keinginan sekelompok elit yang menamakan
Koalisi Merah Putih (KMP) menginginkan perubahan format Pemilukada melalui
DPRD.
Penulis tidak ingin memasuki
domain politik praktis dalam tulisan ini. Perdebatan tentang manfaat dan mudaratnya
Pemilukada biarlah menjadi area para politikus maupun pengamat politik. Namun
selaku pemerhati ekonomi publik, penulis terusik dengan alasan bahwa Pemilukada
langsung (Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat) berimplikasi pada “high
ekonomi”. Gamawan Fauzi (Mendagri) memperkirakan biaya Pemilukada jika dihitung
secara nasional adalah kurang lebih 41 Trilyun Rupiah. Sungguh angka yang
sangat mencengangkan.
Berapapun angka yang
digelontorkan untuk Pemilukada, harus dikembalikan pada pertanyaan dasar,
apakah pembangunan demokrasi itu prioritas dalam pembangunan atau tidak? Jika
semua komponen bangsa ini sepakat bahwa pembangunan demokrasi adalah prioritas,
maka tidak mendasar untuk memperdebatkan rupiah demi rupiah yang digelontorkan
untuk menghasilkan sebuah pemilukada yang demokratis.
Pertanyaan yang selanjutnya
penting untuk dijawab adalah dimana letak kesalahan berpikir dalam memandang
biaya Pemilukada?. Menyelami jalan berpikir KMP yang seolah-olah biaya
Pemilukada yang tinggi hanya melahirkan para Koruptor. Ini dikaitkan dengan
banyaknya Kepala Daerah yang tersandung tindak pidana korupsi dinegeri ini.
Kepala Daerah yang terpilih, dalam kepemimpinannya terindikasi berusaha untuk
mengembalikan biaya pencalonannya yang jumlahnya tidak korupsi. Dalam pandangan
KMP, ini adalah akar persoalan korupsi yang dilakukan oleh para kepala Daerah.
Benarkah itu?
Persoalan korupsi adalah
persoalan integritas diri. Di Negeri ini, hampir semua jabatan publik telah
terjangkiti virus korupsi. Baik itu yang terpilih karena mengeluarkan dana
pribadi maupun yang dipilih karena profesionalismenya. Disitulah penulis
menganggap terjadi kecelakaan berpikir KMP dalam memandang biaya Pemilukada.
Pasca Reformasi dalam
pengelolaan keuangan negara, penganggaran dalam APBD telah meninggalkan
penganggaran tradisional (Traditional
Budgeting) dan kini menggunakan penganggaran berbasis kinerja (Perfomance Budgeting). Jika anggaran
tradisional berbasis input maka anggaran kinerja berbasis output. Penentuan
output sangat penting terkait prioritas tidaknya sebuah kegiatan.
KMP dan banyak penentang
Pemilukada langsung beranggapan bahwa output dari Pemilukada langsung adalah
terpilihnya Kepala Daerah. Oleh karenanya mereka beranggapan bahwa Biaya
Pemilukada yang tinggi hanya menghasilkan para Koruptor itu menjadi benar.
Sesungguhnya disitulah kecelakaan berpikir KMP dan kaum penentang Pemilukada langsung
itu terjadi. Output Pemilukada seharusnya adalah tersalurkannya 240 Juta kedaulatan
rakyat di TPS-TPS tempat mereka mencoblos. Pilihan rakyat itulah output
Pemilukada. Jadi biaya negara yang dikeluarkan dalam Pemilukada adalah Objek
yaitu “One Man One Votes” bukan siapa
yang terpilih. Ketika partisipasi rakyat terhalangi saat Pemilukada dengan
biaya yang tinggi maka hal itulah KMP perlu mempersoalkan biaya tinggi yang
dikeluarkan.