I. PENDAHULUAN
Dalam pandangan umum, Inflasi (Inflation) sering didefinisikan sebagai suatu kecenderungan dari harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus menerus. Definisi seperti itu dapat dijumpai dalam berbagai literature, diantaranya dalam encyclopedia gratis seperti Wikipedia yang mendefinisikan : “Inflation is a rise in the general level of prices of goods and services in an economy over a period of time”. Oleh beberapa ekonom seperti Frank Shostak, inflasi tidak dipandang hanya sebagai suatu kecendrungan dalam perekonomian tanpa melihat adanya campur tangan aktivitas masyarakat (human action). Inflasi tidak dapat dilihat sekedar adanya kenaikan harga melainkan merupakan an increase in the supply of money, which in turns sets in motion a general increase in the prices of goods and services. Pandangan Shostak tersebut ingin mempertajam argument selanjutnya yang akan menggambarkan banyak kerusakan ekonomi yang disebabkan apabila inflasi tidak dapat dikendalikan. Selanjutnya Shostak dengan tegas menyatakan adanya kesalahan Friedman dalam memandang inflasi. Dimana menurut Friedman (Dollar and Deficits), iflation is “expected” by producers and consumers, then it produces very little demage. Apapun alasannya, dalam kacamata Shostak inflasi tidak merupakan sesuatu yang dapat diharapkan karena inflasi akan mengakibatkan banyak kerusakan-kerusakan dalam ekonomi.
Pandangan terhadap inflasi dikalangan para ekonom memang banyak menyeret perdebatan-perdebatan intelektual. Namun, umumnya para ekonom sependapat bahwa masalah jangka pendek ekonomi makro yang utama adalah inflasi, pengangguran dan neraca pembayaran.
Inflasi sering dijadikan salah satu indikator stabilitas perekonomian sehingga laju perubahannya selalu diupayakan berada pada tingkat yang rendah dan stabil. Untuk mewujudkan inflasi rendah, pengendaliannya di Indonesia dilakukan dengan menerapkan strategi pentargetan inflasi (inflation targeting). Melalui kebijakan ini, Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter diberikan independensi yang tinggi dalam menetapkan target-target yang ingin dicapai (goal independency) dan kebebasan dalam menggunakan instrumen kebijakan untuk mencapai target tersebut (instrumen independency).
Paper ini akan menguraikan inflasi dan pertumbuhan ekonomi secara sistematis yang disadur dari beberapa sumber dengan diawali dari tinjauan teoritis terhadap inflasi, kemudian menghubungkannya dengan pertumbuhan ekonomi. Pada akhir tulisan akan diuraikan pula fakta yang terjadi di Indonesia utamanya dari sisi inflasi.
II. TINJAUAN TEORITIS TENTANG INFLASI
2.1 Teori Kuantitas
Teori ini adalah teori yang tertua yang membahas tentang inflasi, tetapi dalam perkembangannya teori ini mengalami penyempurnaan oleh para ahli ekonomi Universitas Chicago, sehingga teori ini juga dikenal sebagai model kaum moneteris (monetarist models). Teori ini menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi.
Inti dari teori ini adalah sebagai berikut :
1. Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang beredar, baik uang kartal maupun giral.
2. Laju inflasi juga ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang beredar dan oleh harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga di masa mendatang.
2.2 Keynesian Model
Dasar pemikiran model inflasi dari Keynes ini, bahwa inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan efektif masyarakat terhadap barang-barang (permintaan agregat) melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (penawaran agregat), akibatnya akan terjadi inflationary gap. Keterbatasan jumlah persediaan barang (penawaran agregat) ini terjadi karena dalam jangka pendek kapasitas produksi tidak dapat dikembangkan untuk mengimbangi kenaikan permintaan agregat. Oleh karenanya sama seperti pandangan kaum monetarist, Keynesian models ini lebih banyak dipakai untuk menerangkan fenomena inflasi dalam jangka pendek.
Dengan keadaan daya beli antara golongan yang ada di masyarakat tidak sama (heretogen), maka selanjutnya akan terjadi realokasi barang-barang yang tersedia dari golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang relatif rendah kepada golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang lebih besar. Kejadian ini akanterus terjadi di masyarakat. Sehingga, laju inflasi akan berhenti hanya apabila salah satu golongan masyarakat tidak bisa lagi memperoleh dana (tidak lagi memiliki daya beli) untuk membiayai pembelian barang pada tingkat harga yang berlaku, sehingga permintaan efektif masyarakat secara keseluruhan tidak lagi melebihi supply barang (inflationary gap menghilang).
2.3 Mark-up Model
Pada teori ini dasar pemikiran model inflasi ditentukan oleh dua komponen, yaitu cost of production dan profit margin. Relasi antara perubahan kedua komponen ini dengan perubahan harga dapat dirumuskan sebagai berikut :
Price = Cost + Profit Margin
Karena besarnya profit margin ini biasanya telah ditentukan sebagai suatu prosentase tertentu dari jumlah cost of production, maka rumus tersebut dapat dijabarkan menjadi :
Price = Cost + ( a% x Cost )
Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada komponen-komponen yang menyusun cost of production dan atau penaikan pada profit margin akan menyebabkan terjadinya kenaikan pada harga jual komoditi di pasar.
2.4 Teori Struktural : Model Inflasi di Negara Berkembang
Banyak study mengenai inflasi di negara-negara berkembang, menunjukan bahwa inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena struktural atau cost push inflation. Hal ini disebabkan karena struktur ekonomi negara-negara berkembang pada umumnya yang masih bercorak agraris. Sehingga, goncangan ekonomi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen (akibat faktor eksternal pergantian musim yang terlalu cepat, bencana alam, dan sebagainya), atau hal-hal yang memiliki kaitan dengan hubungan luar negeri, misalnya memburuknya term of trade; utang luar negeri; dan kurs valuta asing, dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik.
Fenomena struktural yang disebabkan oleh kesenjangan atau kendala struktural dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut dengan structural bottlenecks. Strucktural bottleneck terutama terjadi dalam tiga hal, yaitu :
1. Supply dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis. Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pengerjaan sektor pertanian yang masih menggunakan metode dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi supply dari sector pertanian domestik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya.
2. Cadangan valuta asing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor. Keterbatasan cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barang-barang baik bahan baku; input antara; maupun barang modal yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan sektor industri menjadi terbatas pula. Belum lagi ditambah dengan adanya demonstration effect yang dapat menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat. Akibat dari lambatnya laju pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan laju pertumbuhan supply barang tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan permintaan.
3. Pengeluaran pemerintah terbatas. Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan, akibatnya timbul defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkannya pinjaman dari luar negeri ataupun mungkin pada umumnya dibiayai dengan pencetakan uang (printing of money).
Dengan adanya structural bottlenecks ini, dapat memperparah inflasi di Negara berkembang dalam jangka panjang, oleh karenanya fenomena inflasi di negara-negara yang sedang berkembang kadangkala menjadi suatu fenomena jangka panjang, yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek.
Berbeda dengan kaum monetaris yang memandang inflasi sebagai fenomena moneter, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam sektor moneter akibat dari kspansi jumlah uang beredar, kaum neo-structuralist menekankan pada struktur Sektor keuangan. Dasar pemikiran kaum neo-structuralist ini adalah pengaruh uang terhadap perekonomian terutama ditransmisikan dari supply side atau produksi. Menurut pemikiran kaum neo-structuralist, uang merupakan salah satu factor penentu investasi dan produksi. Bila jumlah uang yang tersedia untuk investasi melimpah, menyebabkan harga uang (suku bunga) akan murah, maka volume investasi akan meningkat. Dengan meningkatnya volume investasi, volume produksi juga akan meningkat. Sehingga, penawaran barang meningkat, yang pada gilirannya akan menekan tingkat inflasi. Dengan dasar pemikiran yang seperti ini, timbul pendapat bahwa deregulasi di sektor finansial dan peningkatan jumlah uang beredar akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi seraya menekan inflasi.
Kaum strukturalis berpendapat, bahwa selain harga komoditi pangan, penyebab utama terjadinya inflasi di negara-negara berkembang adalah akibat inflasi dari luar negeri (imported inflation). Hal ini disebabkan antara lain oleh harga barang-barang impor yang meningkat di daerah asalnya, atau terjadinya devaluasi atau depresiasi mata uang di negara pengimpor. Menurut kesimpulan dari penelitian M.N. Dalal dan G. Schachter (1988), bila kontribusi impor terhadap pembentukan output domestik sangat besar, yang artinya sifat barang impor tersebut sangat penting terhadap price behaviour di negara importir, maka kenaikan harga barang impor akan menyebabkan tekanan inflasi di dalam negeri yang cukup besar. Selain itu, semakin rendah derajat kompetisi yang dimiliki oleh barang impor (price inelastic) terhadap produk dalam negeri, akan semakin besar pula dampak perubahan harga barang impor tersebut terhadap inflasi domestik.
2.5 Jenis Inflasi
Dalam ilmu ekonomi, inflasi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis dalam pengelompokan tertentu, dan pengelompokan yang akan dipakai akan sangat bergantung pada tujuan yang hendak dicapai.
Jenis inflasi :
1. Menurut Derajatnya
Inflasi ringan di bawah 10% (single digit)
Inflasi sedang 10% - 30%.
Inflasi tinggi 30% - 100%.
Hyperinflasion di atas 100%.
Laju inflasi tersebut bukanlah suatu standar yang secara mutlak dapat mengindikasikan parah tidaknya dampak inflasi bagi perekonomian di suatu wilayah tertentu, sebab hal itu sangat bergantung pada berapa bagian dan golongan masyarakat manakah yang terkena imbas ( yang menderita ) dari inflasi yang sedang terjadi.
2. Menurut Penyebabnya
Demand pull inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh terlalu kuatnya peningkatan aggregate demand masyarakat terhadap komoditi-komoditi hasil produksi di pasar barang. Akibatnya, akan menarik (pull) kurva permintaan agregat ke arah kanan atas, sehingga terjadi excess demand , yang merupakan inflationary gap. Dan dalam kasus inflasi jenis ini, kenaikan harga-harga barang biasanya akan selalu diikuti dengan peningkatan output (GNP riil) dengan asumsi bila perekonomian masih belum mencapai kondisi full-employment. Pengertian kenaikkan aggregate demand seringkali ditafsirkan berbeda oleh para ahli ekonomi. Golongan moneterist menganggap aggregate demand mengalami kenaikkan akibat dari ekspansi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Sedangkan, menurut golongan Keynesian kenaikkan aggregate demand dapat disebabkan oleh meningkatnya pengeluaran konsumsi; investasi; government expenditures; atau net export, walaupun tidak terjadi ekspansi jumlah uang beredar.
Cost push inflation, yaitu inflasi yang dikarenakan bergesernya aggregate supply curve ke arah kiri atas. Faktor-faktor yang menyebabkan aggregate supply curve bergeser tersebut adalah meningkatnya harga faktor-faktor produksi (baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri) di pasar faktor produksi, sehingga menyebabkan kenaikkan harga komoditi di pasar komoditi. Dalam kasus cost push inflation kenaikan harga seringkali diikuti oleh kelesuan usaha.
3. Menurut Asalnya
Domestic inflation, yaitu inflasi yang sepenuhnya disebabkan oleh kesalahan pengelolaan perekonomian baik di sektor riil ataupun di sektor moneter di dalam negeri oleh para pelaku ekonomi dan masyarakat.
Imported inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh adanya kenaikan harga-harga komoditi di luar negeri (di negara asing yang memiliki hubungan perdagangan dengan negara yang bersangkutan). Inflasi ini hanya dapat terjadi pada negara yang menganut sistem perekonomian terbuka (open economy system).Dan, inflasi ini dapat ‘menular’ baik melalui harga barang-barang impor maupun harga barang-barang ekspor.
Terlepas dari pengelompokan-pengelompokan tersebut, pada kenyataannya inflasi yang terjadi di suatu negara sangat jarang (jika tidak boleh dikatakan tidak ada) yang disebabkan oleh satu macam / jenis inflasi, tetapi acapkali karena kombinasi dari beberapa jenis inflasi. Hal ini dikarenakan tidak ada faktor-faktor ekonomi maupun pelaku-pelaku ekonomi yang benar-benar memiliki hubungan yang independen dalam suatu sistem perekonomian negara. Contoh : imported inflation seringkali diikuti oleh cost push inflation, domestic inflation diikuti dengan demand pull inflation, dsb.
III INFLASI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI
Pengaruh inflasi dalam pertumbuhan ekonomi telah menjadi salah satu isu utama yang terus diuji dalam makroekonomi. Model-model teori dalam literature pertumbuhan dan uang menganalisa dampak inflasi dan pertumbuhan. Pada tahun 1950an dan 1960an , pertumbuhan dan inflasi belum menjadi isu yang serius diperdebatkan.
Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang bila terjadi pertumbuhan outputriil. Definisi pertumbuhan ekonomi yang lain adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi bila ada kenaikan output perkapita. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output riil per orang.
Sementara negara-negara miskin berpenduduk padat dan banyak hidup pada taraf batas hidup dan mengalami kesulitan menaikkannya, beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan Kanada, negara-negara Eropa Barat, Australia, Selandia Baru, dan Jepang menikmati taraf hidup tinggi dan terus bertambah.Pertambahan penduduk berarti pertambahan tenaga kerja serta berlakunya hukum Pertambahan Hasil yang Berkurang mengakibatkan kenaikan output semakin kecil, penurunan produk rata-rata serta penurunan taraf hidup. Sebaliknya kenaikan jumlah barang-barang kapital, kemajuan teknologi, serta kenaikan kualitas dan keterampilan tenaga kerja cenderung mengimbangi berlakunya hukum Pertambahan Hasil yang Berkurang. Penyebab rendahnya pendapatan di negara-negara sedang berkembang adalah berlakunya hukum penambahan hasil yang semakin berkurang akibat pertambahan penduduk sangat cepat, sementara tak ada kekuatan yang mendorong pertumbuhan ekonomi berupa pertambahan kuantitas dan kualitas sumber alam, kapital, dan kemajuan teknologi.
Dalam zaman ahli ekonomi klasik, seperti Adam Smith dalam buku karangannya yang berjudul An Inguiry into the Nature and Causes of the Wealt Nations, menganalisis sebab berlakunya pertumbuhan ekonomidan factor yang menentukan pertumbuhan ekonomi. Setelah Adam Smith, beberapa ahli ekonomi klasik lainnya seperti Ricardo, Malthus, Stuart Mill, juga membahas masalah perkembangan ekonomi. Namun dari sekian banyak ekonom, ada beberapa teori yang dapat dikemukakan mengenai teori pertumbuhan yakni.
A.Teori Inovasi Schum Peter
Pada teori ini menekankan pada faktor inovasi enterpreneur sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi kapitalilstik.Dinamika persaingan akan mendorong hal ini.
B.Model Pertumbuhan Harrot-Domar
Teori ini menekankan konsep tingkat pertumbuhan natural.Selain kuantitas faktor produksi tenaga kerja diperhitungkan juga kenaikan efisiensi karena pendidikan dan latihan.Model ini dapat menentukan berapa besarnya tabungan atau investasi yang diperlukan untuk memelihar tingkat laju pertumbuhan ekonomi natural yaitu angka laju pertumbuhan ekonomi natural dikalikan dengan nisbah kapital-output.
C.Model Input-Output Leontief.
Model ini merupakan gambaran menyeluruh tentang aliran dan hubungan antarindustri. Dengan menggunakan tabel ini maka perencanaan pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan secara konsisten karena dapat diketahui gambaran hubungan aliran input-output antarindustri. Hubungan tersebut diukur dengan koefisien input-output dan dalam jangka pendek/menengah dianggap konstan tak berubah .
D.Model Pertumbuhan Lewis
Model ini merupakan model yang khusus menerangkan kasus negara sedang berkembang banyak(padat)penduduknya.Tekanannya adalah pada perpindahan kelebihan penduduk disektor pertanian ke sektor modern kapitalis industri yang dibiayai dari surplus keuntungan.
E.Model Pertumbuhan Ekonomi Rostow
Model ini menekankan tinjauannya pada sejarah tahp-tahap pertumbuhan ekonomi serta ciri dan syarat masing-masing. Tahap-tahap tersebut adalah tahap masyarakat tradisional, tahap prasyarat lepas landas, tahap lepas landas, tahap gerakan ke arah kedewasaan, dan akhirnya tahap konsimsi tinggi.
Apakah inflasi dan pertumbuhan saling terkait, terkait langsung atau tidak? Apakah hubungan empiris pertumbuhan - inflasi terutama hubungan jangka panjang lintas negara, hubungan jangka pendek lintas waktu, atau keduanya? Seperti pada pasangan yang bertengkar, inflasi dan pertumbuhan sepertinya tidak bisa disimpulkan bagaimana seharusnya hubungannya.
Dalam tulisan ini, kita menggolongkan literatur dalam inflasi dan pertumbuhan. Menyadari keterbatasan dari perbandingan keuntungan, kita tidak berniat melakukan survey besar dari literatur. Sebagai gantinya, kita melihat pada aspek dari literatur yang memotivasi kita untuk mengejar satu sudut tertentu pekerjaan terbaru kita: tingkah laku dari pertumbuhan sebelumnya, yang sedang berjalan, dan setelah terbebas dari krisis inflasi tingkat tinggi.
Inflasi dan pertumbuhan: Perjalanan melintasi Dekade
Pengamatan terhadap inflasi ekstrim meyakinkan bahwa inflasi adalah buruk untuk perekonomian. Keynes, seperti biasa, memberikan penyataan yang paling baik, "Sebagai proses inflasi dan nilai sebenarnya dari fluktuasi mata uang yang ramai dari bulan kebulan, semua hubungan permanen antara debitur dan kreditur, yang mana merupakan pondasi terakhir dari kapitalisme, menjadi begitu dikacaukan sehingga menjadi hampir tidak berarti; dan proses dari medapatkan kekayaan merosot jadi perjudian dan lotere. Penekanan informasi dan sistem finansial telah dikembalikan ke dalam literatur hari ini. Tapi hubungan inflasi dan perkembangan bisa dilihat sangat berbeda saat ini. Kita bisa menebak literatur pada tahun 1960 samapai dengan 1980an.
Pandangan dari tahun 1960an.
Pada pertumbuhan tinggi, inflasi rendah tahun 1960an, kaum tradisional memandang bahwa inflasi adalah destruktif tidak lagi tampak sangat memaksa. Ini adalah masa keemasan dari Phillips curve, dimana inflasi dan perkembangan secara positif terkait untuk sementara waktu. Bahkan pada akhirnya, Tobin dan Sidrauski menyarankan satu efek positif pada perkembangan inflasi yang lebih tinggi. Ketika inflasi tinggi, kekayaan akan direalokasikan dari uang ke dalam bentuk modal fisik.
Dengan cara yang sama, beberapa teori pembangunan menyarankan bahwa inflasi adalah satu cara untuk mengerahkan semua sumber daya bergerak untuk akumulasi modal. Pada awal mulanya pengalaman dari perkembangan suatu negara dibantah dengan melihat perekonomian Israel misalnya, berkembang sekitar 10% per tahun antara tahun 1948 dan 1973, dengan nilai inflasi sekitar 6% sampai 7% per tahunnya. kedua figur ini merupakan Organisasi dobel untuk Ekonomi Koperasi dan Developmen untuk periode yang sama. Yang lebih tinggi sebagian besar inflasi diantisipasi untuk mempertimbangkan dengan baik untuk membayar baraang berharga, terutama sebagai indeks yang tersebar luas dari upah, nilai tukar, dan meminimalkan penyimpangan biaya penyimpanan dari inflasi. Israek bukan pengecualian- berbagai ekonomi berkembang di amerika Latin dan Asia kelihatannya memiliki strategi yang sama.
Studi empiris awal pada perkembangan inflasi dan ekonomi diragukan sebagai teori dalam paragraf sebelumnya. Harry G. Johnson pada tahun 1967 menyarankan bahwa tidak ada bukti konklusi satu arah dari yang lainnya. IMF pasti tidak menyemaikan inflasi, namun studi pada Staff IMF Paper pada saat itu menemukan tidak ada hubungan antara pertumbuhan dan inflasi. Amerika latin punya dua digit angka pada tahun 1950an dan 1960an, tapi pertumbuhan ekonomi dapat diprediksi. Brazil sering dikutip sebagai inflasi tingkat tinggi, pertumbuhan tingkat tinggi menuju dugaan masa lalu yang mana inflasi dianggap tidak baik bagi perekonomian.
Satu pengecualian yang menarik terhadap kekurangan yang ditemukan pada literatur ini disatukan oleh Wallichs (1969), studi seksi silang (43 negara), membutuhkan rata-rata 5 tahun pada periode 1956-65. Tipikal dari literatur saat itu, yakni memiliki dalil hubungan yang positif antara inflasi dan pertumbuhan. Namun hal tersebut menemukan gantinya sebuah hubungan signifikan yang negatif.
Kita dapat melihat mengapa pada tahun 1950an dan 1960an menghasilkan penemuan yang rancu ketika kita melihat data pada periode tersebut. Figur satu menunjukkan bahwa pertumbuhan rata-rata perkapita sebenarnya berkembang sebagai satu satuan dari satu digit menuju dua digit inflasi. Hanya ketika tingkat inflasi tahunan mencapai 20 % hubungan tampaknya menjadi negatif. Sejak saat itu tidak banyak hasil pengamatan tingkat inflasi lebih besar dari 20%, perkiraan hubungan menjadi sesitif dengan pengamatan yang dimasukkan, permasalahan terselesaikan pada tahun 80an.
Secara keseluruhan, pandangan dari tahun 60an terhadap inflasi dan pertumbuhan sangat membingungkan. Teori yang diperkirakan sebagai hubungan jangka pendek sebenarnya positif, dimana hubungan jangka panjang dapat masuk. Studi empiris sering tidak menemukan apa-apa.
Pandangan pada tahun 1980an
Karena penelitian pada pertumbuhan mengarah kepada hibernasi pada tahun 70an, kita lompat menuju tahun 80an dan penelitian gelombang baru.
Pada tahun 70an dan 80an memberikan pengalaman inflasi ekstrim baru, dimana diinfestigasi oleh studi literatur yang menarik setelah tahun 80an. Literatur ini memulihkan output fokus prilaku umum terhadap biaya output jangka pendek dari stabilitas inflasi tingkat tinggi. Konsensus tentang stabilisasi hiper inflasi menghasilkan biaya output yang sedikit bahkan tidak ada, dimana stabilisasi inflasi tingkat tinggi semata-mata membutuhka biaya.
Dengan demikian anggapan terakhir pada tahun 80an bahwasanya saat itu ada hubungan positif jangka pendek antara pertumbuhan dan inflasi. Anggapan ini dalam studi kasus inflasi tingkat tinggi dalam mengembangkan suatu negara mungkin diilhami pada bagian literatur negara industri, dimana berlanjut menuju konfirmasi bahwa stabilisasi inflasi tigkat rendah sebenarnya membutuhkan biaya. Ball (1993), untuk mengambil satu contoh baru, menghitung rasio kerugian besar terhadap pertumbuhan yang batal dalam stabilitas inflasi terhadap negara-negara OECD.
Literatur studi kasus menekankan bahwa inflasi tingkat tinggi sebenarnya tidak stabil. Ketika inflasi mencapai diatas Range tertentu, maka ia mudah mendapatkan akselerasi. Indeks peningkatan dari melemahnya ekonomi tingkat harga nominalnya menuriun derasris. Negara tidak dapat menoleransi inflasi tingkat tinggi dan inflasi yang tidak stabil, jadi negara mengejar stabilisasi secara adil dan tepat setelah inflasi di kembabangkan.. Karena itu inflasi tingkat tinggi tidak begitu memiliki fenomena keadaan yang kokoh sebagai bagian terpisah dari inflasi yang diikuti oleh stabilisasi.
Sebaliknya, studi kasus menekankan bahwa Range pertengahan dari inflasi moderat sekitar 15% - 30%. Inflasi moderat ini dapat mendukung periode yang panjang tanpa mengalami masalah. Kolombia adalah contoh yang sempurna.
Inflasi adalah lambat dalam menarik perhatian sebagai satu variabel kebijakan kunci pada literatur pertumbuhan yang baru. Survey dari Barro dan Sala I martins 1995 tentang literatur pertumbuhan empiris membahas 10 fariabel untuk penurunan pertumbuhan. Inflasi tidak termasuk diantaranya. Kemudian mereka menyebutkan 14 kemungkinan fariabel yang lain. Inflasi tidak termasuk diantaranya. Inflasi tidak termasuk dimana teks dari Barro dan Sala I kecuali pada satu problem pada bab terakhir.
Namun inflasi secara berangsur-angsur menarik perhatian dari teori pertumbuhan baru. Teori mendalilkan mekanisme dimana inflasi bisa saja mempegaruhi pertumbuhan dengan kurang baik. Pengarang seperti James dan Manuelli (1993) dan De gregorio (1993) menekankan bahwa inflasi merupakan pajak dari model kapital dengan kebutuhan akan kas untuk investasi.
Studi empiris dalam literatur pertumbuhan baru menamukan sebuah pertumbuhan inflasi yang negatif. Sebuah studi literatur sebelum pertumbuhan pada tahun 1985 melaporkan tentang penemuan pertumbuhan GDP yang negatif sejalan dengan tigkat pertumbuhan inflasi. Fischer (1993) menemukan bahwa pertumbuhan itu sejalan dengan kebalikan dari inflasi. Pada studi lain pertumbuhan baru empiris melaporkan penemuan yang sama.
Model pertumbuhan baru tentu saja fokus pada jangka panjang. Kebijakan kolektif dari literatur seharusnya dibuat konsisten dengan mengatakan bahwa inflasi secara positif sejalan dengan pertumbuhan dalam jangka pendek, frekuensi siklus, namun secara negatif berhubungan kepada perkembangan jangka panjang, frekuensi kuat.
Hanya ada satu masalah dalam rekonsiliasi ini terhadap jangka panjang- tidak ada jangka panjang yang kokoh, hubungan seksi silang antara inflasi dan pertumbuhan. Statistik hubungan signifikan negatif pada literatur pertumbuhan baru yang disatukan dalam gugus berkala, contoh-contoh seksi silang menggunakan dekade rata-rata, rata-rata lima tahun, atau bahakan data tahunan.
Inflasi seksi silang dan pertumbuhan seksi silang penyamaannya tidak bekerja. Levine dan Renelt (1992) dan Levine dan Zevros (1993) menggunakan menggunakan batasan ekstrim Leamer untuk mempelajari bagaimana inflasi masuk kedalam kemunduran pertumbuhan seksi silang. Tidak hanya inflasi tidak kokoh secara signifikan pada Levine dan Renelt (1992), ini tidak pernah signifikan pada banyak kombinasi variabel regresi pertumbuhan. Levine dan Zevros (1993) menemukan bahwa hubungan seksi silang manapun yang tidak menunjukkan kesesuaian pada pasangan poin yang berpengaruh. Nicaragua dan Uganda. Pada tes kami menggunakan data kami, dan kami menemukan hubungan seksi silang signifikan untuk menyesuaikan seluruhnya di Nicaragua. Nicaragua dan Uganda, keduanya dimana memiliki ledakan inflasi yang terpisah selama perang sipil, jangan membentuk banyak basis penasehat anti inflasi, kata bank Canada.
Hubungan seksi silang tidak bekerja sebagian karena memiliki angka inflasi yang tinggi, pertumbuhan tinggi yang asing menghentikan pengaturan di Uganda dan Nikaragua. Kemudian Brazil mulai asing, dengan hanya sedikit contoh lain seperti Indonesia dan Israel.
Problem kesulitan juga sulit menyelesaikan dua masalah ekonomi tentang hubungan pertumbuhan inflasi. Problem kausalitas pertama. Sulit untuk memikirkan secara masuk akal instrumen eksogenus untuk inflasi yang bisa mengeluarakan dari regresi pertumbuhan. Kandidat yang memimpin untuk instrumen tersebut adalah ukuran dari institusi sejarah yang berefek pada kecendrungan, seperti bank sentral independen atau warisan masa lalu. Sayangnya, instrumen ini hanya bisa pada dimensi seksi silang, jadi ada kerapuhan yang sama yang yang mengganggu sedikitnya regresi pertumbuhan inflasi.
Kedua,masalah nonlinier : Tampaknya tidak masuk akal bahwa tambahan poin 100% berarti sama dengan 0(nol) sebagaimana berarti pada 1000. Tapi mencoba untuk menyelesaikan regresi adalah sangat sensitif terhadap satu atau dua poin pada range pertengahan yang relevan, seperti yang ditunjukkan oleh levine dan zervos.
Masalah non linear sejalan terhadap dimensi lain dari kekurangan kekokohan regresi pertumbuhan inflasi. Ketergantungan dari hasil pada pengamatan inflasi tinmgkat tinggi. Artikel yang dikeluarkan oleh Barro menemukan bahwa tiada hubungan antara kelompok dekade rata-rata dan inflasi ekonomi dengan inflasi tahunan kurang dari 15%. Kami menemukan yang lebih umum bahwa hubungan pertumbuhan inflasi sangat jauh bahkan pada kelompok time series, data dari berbagai negara dapat diset jika kita menghilangkan semua negara yang pernah mengalami inflasi lebih besar dari 40% (sebuah break point akan dikembalikan padanya pada suatu waktu). Bahkan pada hubungan yang kuat kelompok data yang diset berasal pada pengamatan inflasi ekstrim.
KRISIS INFLASI TINGKAT TINGGI DAN PERTUMBUHAN INFLASI TINGKAT TINGGI
Dengan menggunakan kegagalan hubungan seksi silang, muncul teka-teki dimana hubungan kuat pertumbuhan inflasi dalam kelompok data berasal. Kita mempelajari teka-teki ini dengan melihat sudut lain dari persoalan tersebut berasal. Apa yang jadi pola dari pertumbuhan sebelum, sedang berlangsung, dan setelah krisis inflasi tingkat tinggi ? Literatur studi kasus telah menyelesaikan episode tersebut dalam ivent dimana inflasi tingkat tinggi terjadi. Inflasi tingkat tingi sedikit mirip dengan aliran steady state seperti sungai atau lebih mirip pada banjir sekejap. Dan ini adalah infl;asi tingkat tinggi lain ini kelihatannya memberikan hasil kelompok regresi pertumbuhan inflasi.
Kami mendefinisikan krisis inflasi tingkat tinggi sebagai inflasi tahunan yang lebih besar dari 40% untuk 2 tahun atau lebih. Kami memeilih diambang 40% karena literatur inflasi moderat menyarankan bahwa inflasi antara 15% hingga 30% dapat didukung pada waktu yang lama tanpa mengalami gangguan. Kriteria kami mengambil 32 krisis inflasi dari 26 negara. Rata-rata inflasi yang berlangsung pada periode krisis adalah 3 digit, sekitar 20% pada periode non krisis.
Kami menemukan pola kokoh yang sederhana. Tabel satu menunjukkan pola pertumbuhan sebelumnnya, yang sedang berlangsung dan setelah krisis inflasi ini. Kita menggunakan 2 alternatif ukuran dari pertumbuhan : 1. Petumbuhan perkapital dan, 2. dan pertumbuhan relatif perkapital berdasarkan rata-rata dunia. Kita juga mencoba menghilangkan pegamatan ekstrim, sadar akan problem dari Nikaragua- Uganda bahwa akan mengganggu hubungan seksi silang. Polanya sederhan. Pertumbuhan menurun tajam selama krisis inflasi. Pertumbuhan meningkat melebihi pertumbuhan rata-rata sebelum krisis setelah krisis selesai. (Ada indikasi bahwa pertumbuhan berada di bawah rata-rata sebelum krisis, namun ini tidak kokoh untuk menghilangkan pengamatan ekstrim).
Tabel dua menunjukkan 7 negara dengan periode panjang sebelum, selama, dan setelah krisis. Ini tidak dicatat bahwa beberapa negara yang asing dalam hubungan seksi silang, sebagai contoh, Brazil, Indonesia, dan Israel- mencocokkan pola keruntuhan dan pemulihan dengan baik.
Jadi, mengapa tidak pernah bekerja hubungan saling silang? Kami memeriksa apakah keruntuhan dan penyembuhan merata-ratakan seperti tidak ada tanda tertinggal pada pertumbuhan setelah krisis inflasi.
Ide kami adalah sebagai berikut. Misalkan negara A dan negara B adalah identik kecuali jika negara A memiliki ciri krisis inflasi tersendiri dan negara B tidak memilikinya. Pada periode pertama, Negara A dan B memiliki tingkat pertumbuhan yang identik (g1) dan dan tingkat inflasi yang identik. Pada periode kedua, negara A memiliki krisis inflasi-inflasi naik menjadi tiga digit nomor- dan pertumbuhan turun mejadi g2
Beginilah kira-kira situasi yang kita temukan dengan ciri krisis inflasi tinggi. Kita gunakan Regresi Investasi Pertumbuhan Levine-Renelt (1992) yang terkenal, populasi pertumbuhan, pemasukan awal, dan pengetahuan kedua (variabel inti set mereka yang kuat) untuk mengontrol karakteristik negara yang tidak sama. Kemudian
kami memeriksa di sisa regresi ini untuk sebelum, sedang berlangsung, dan setelah sub periode dari negara tersebut dengan krisis inflasi tinggi. Kami menemukan bahwa negatif selama krisis dan sisa positif setelah krisis residual cenderung keluar rata-rata yang akan sama dengan sisa sebelum krisis. sebelum krisis yang sisa itu sendiri tidak negatis secara sistematis di negara-negara krisis inflasi.
Kami melihat bahwa hubungan jangka panjang antara inflasi dan pertumbuhan tidak dalam dasar yang sangat kuat. Bagaimana dengan hubungan positif jangka pendek antara inflasi dan pertumbuhan? Literatur studi kasus mencatat bahwa fenomena yang mengejutkan dari asosiasi ekspansi output jangka pendek dengan stabilisasi dari inflaisi tinggi. LiteRATUR ini memiliki atribut ekspansi output ke (tidak sering) menggunakan tingkat pemekaran sebagai sebuah tingkat nominal, yang mana mungkin menimbulkan suatu konsumsi siklus hidup perkembangan perdagangan yang pendek. Penemuan kami, betapapun, mengusulkan bahwa ekspansi output setelah pengurangan dari inflasi tinggi mungkin memberikan fenomena umum yang lebih.
Dalam buku selanjutnya, Easterly(1996) membahas pola dari tahun ketahun dari kemerosotan dan pemulihan selama disinflasi dari level awal yang tinggi. Segara meningkatkan pertumbuhan pada tahun partama dari penurunan inflasi setelah puncak dan akselerasi menuju pertumbuhan positif yang tinggi.
Ironisnya, kesanggupan dari hubungan pertumbuhan inflasi dalam pertumbuhan literatur empiris jangka panjang kelihatannya datang dari jangka pendek dari pada jangka panjang. Pada inflasi tinggi, ada hubungan negatif antara inflasi dan pertumbuhan bahkan pada jangka pendek.Tidak ada yang nampak dalam hubungan jangka panjang, suatu negara bisa pulih setelah negara itu menyelesaikan krisis inflasi.
IV FAKTA DI INDONESIA
Semua negara di dunia selalu menghadapi permasalahan inflasi ini. Oleh karena itu, tingkat inflasi yang terjadi dalam suatu negara merupakan salah satu ukuran untuk mengukur baik buruknya masalah ekonomi yang dihadapi suatu negara. Bagi negara yang perekonomiannya baik, tingkat inflasi yang terjadi berkisar antara 2 sampai 4 persen per tahun. Sebagai gejala historis, tingkat inflasi di Indonesia lebih tinggi daripada di negara tetangga ASEAN seperti Thailand dan Malaysia. Mengapa? Dan Apakah ini menguntungkan kehidupan serta pembangunan ekonomi? Pada umumnya tidak. Kinerja ekonomi dan laju pertumbuhan PDB di Thailand dan Malaysia lebih tinggi daripada di Indonesia. Di Asia Tenggara Indonesia lebih mirip Filipina. Inflasi di Filipina juga lebih tinggi (sedikit) daripada di Thailand dan Malaysia, dan laju pertumbuhan ekonomi Filipina juga di bawah Thailand dan Malaysia.
Kinerja ekonomi mana lebih baik, di Indonesia atau di Filipina? Ini agak susah dijawab. Mungkin Filipina lebih baik sedikit. Filipina sesudah perang dunia kedua sudah mempunyai pendapatan per kapita yang lebih tinggi daripada kebanyakan negara ASEAN, akan tetapi sesudah itu di lampaui oleh Thailand dan Malaysia. Sekarang pendapatan orang di Filipina mungkin masih lebih tinggi sedikit daripada di Indonesia, akan tetapi perbedaannya tidak banyak. Filipina sering disebut “the sick man of Asia”, dan akar penyakitnya ada di struktur sosialnya. Tetapi struktur sosial di Indonesia lain daripada di Filipina, yang dikuasai oleh sekelompok tuan tanah yang besar. Mungkin kelebihan di Malaysia dan Thailand (dibandingkan Indonesia) adalah peran unsur penduduk Tionghoanya di perekonomiannya lebih besar. Di Indonesia penduduk etnis Tionghoa juga menguasai ekonomi tetapi tidak punya pengaruh politik. Di Indonesia politik ada di tangan penduduk golongan pribumi yang mayoritas. Mungkin perbedaan ini menyebabkan kualitas politik ekonomi di Indonesia lain daripada di Thailand dan Malaysia. Maka mungkin juga akar inflasi yang tinggi ada di keadaan sosial-politik ini. Golongan pribumi adalah mayoritas akan tetapi yang berpendapatannya lebih rendah, Salah suatu ciri orang miskin adalah punya nafsu mengkonsumsi lebih banyak dibandingkan pendapatan riilnya. Kalau masyarakat mau mengeluarkan uang lebih banyak daripada nilai produksinya maka harga-harga akan naik. Inilah sumber inflasi di Indonesia.
Inflasi di Indonesia di zaman Suharto pun lebih tinggi daripada di Malaysia dan Thailand, walaupun tingkat inflasi di zaman Suharto sudah jauh lebih rendah daripada di zaman Bung Karno. Itu akibat perubahan policy dari team ekonomi yang dikendalikan oleh Prof. Widjojo dan Ali Wardhana. Mereka berhasil mengurangi inflasi yang sebelumnya ratusan persen setahun dan merupakan runaway inflation. Senjatanmya adalah balanced budget, anggaran pemerintah yang berimbang. Rumus ini cukup berhasil.
Di zaman Orde Baru belum ada ketentuan bahwa Bank Indonesia mempunyai misi utama menjaga nilai rupiah, alias pengekangan inflasi. Baru setelah Reformasi tahun 1998 ketentuan demikian dituangkan dalam undang-undang yang menjaga independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral. Ini banyak membantu untuk mengurangi inflasi.
Apakah lalu kebijakan anggaran belanja pemerintah menjadi sumber inflasi? In prinsip, tidak. Karena prinsip anggaran belanja yang berimbang masih dipertahankan. Akan tetapi, dalam praktek ini belum merupakan jaminan. APBN yang meningkat, walaupun tetap berimbang, dampaknya inflator. Prinsip anggaran berimbang tidak boleh dipegang terlalu kaku. Misalnya, akhir tahun 2005 ada kelebihan penerimaan besar karena sebagian subsidi BBM dihapus. Jumlah ini lalu “dipaksakan” menjadi pengeluaran pemerintah atas nama anggaran yang berimbang. Policy demikian ikut meniup inflasi. Sebetulnya anggaran belanja pemerintah harus diperbolehkan mengumpulkan surplus yang dampaknya akan deflator.
Akan tetapi, selalu ada tekanan dari masyarakat agar pemerintah mengeluarkan uang lebih banyak untuk pembangunan, atau untuk membantu sektor pendidikan dan kesehatan. Di sinilah pemerintah terjebak “gejala orang miskin” yang selalu mau hidup di atas kemampuan penghasilannya. Idée fix masyarakat adalah kalau pemerintah meningkatkan pengeluaranya untuk pembangunan maka laju pertumbuhan ekonomi akan naik. Ini salah pikir. Yang lebih menentukan tingkat laju pertumbuhan ekonomi adalah total investasi di masyarakat, termasuk dari swasta dalam dan luar negeri. Jumlah ini tidak akan optimal kalau iklim moneternya serba inflator, yang mengganggu stabilitas ekonomi dan menambah resiko.Kemakmuran yang dibawa oleh inflasi adalah semu. Orang merasa lebih kaya oleh karena pegang uang lebih banyak. Akan tetapi nilai uang merosot sehingga akhirnya orang atau masyarakat itu menjadi lebih miskin.
Inflasi di Indonesia bak penyakit endemis (seperti malaria) dan berakar di sejarah. Tingkat inflasi di Malaysia dan Thailand senantiasa lebih rendah. Inflasi di Indonesia tinggi sekali di zaman Presiden Sukarno, karena kebijakan fiskal dan moneter sama sekali tidak prudent (“kalau perlu uang, cetak saja”). Di zaman Suharto pemerintah berusaha menekan inflasi akan tetapi tidak bisa di bawah 10% setahun rata-rata, antara lain oleh karena Bank Indonesia masih punya misi ganda, antara lain sebagai agent of development, yang bisa mengucurkan kredit likuiditas tanpa batas. Baru di zaman reformasi, mulai di zaman Presiden Habibie maka fungsi Bank Indonesia mengutamakan penjagaan nilai rupiah. Tetapi karena sejarah dan karena inflationary expectations masyarakat (yang bertolak ke belakang, artinya bercermin kepada sejarah) maka “inflasi inti” masih lebih besar daripada 5% setahun. Bank Indonesia sekarang punya sasaran untuk menekan angka inflasi ini. Di level teknis sudah ada kesepakatan antara Pemerintah dan Bank Indonesia untuk membawa tingkat inflasi jangka panjang ke kisaran 3% setahun. Untuk tahun 2005 sasaran BI adalah 6% plus-minus 1%, untuk tahun 2006 5,5% plus-minus 1% dan untuk tahun 2007 5% plus-minus 1%. Maka yang menjadi tarohan adalah inflasi tahun 2005 ini yang dibayangi oleh kenaikan harga BBM. Menurut LPEM-FEUI akan ada tambahan inflasi sekitar 1%, tetapi ada pakar ekonomi lainnya yang memperkirakan 3%, bahkan pakar BPS memasang angka 12%. Pengalaman sejarah menujukkan pengaruh kenaikan harga BBM kepada inflasi dalam kisaran 1-2% setahun.
Pengendalian inflasi masih menghadapi resiko intern dan ekstern yang cukup besar. Dari dalam negeri ada pengaruh politik untuk mengucurkan dana perbankan yang lebih besar ke sektor riil, terutama ke sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), dengan suku bunga yang rendah. BI juga tidak dapat mengendalikan perkembangan M-zero secara sempurna, karena perbankan komersial harus melayani keperluan uang para nasabanya, yang bisa dipengaruhi oleh inflationary expectations. Resiko dari sektor ekstern timbul kalau harga minyak bumi masih terus naik, atau nilai rupiah mengalami depresiasi. Belakangan ini bahkan beberapa komoditi pertanian, seperti beras dan gula, mengalami kenaikan harga internasional, yang semuanya akan menjadi imported inflation bagi Indonesia. Beberapa “fundamental ekonomi” yang belum baik sebagai penghalang tercapainya laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Pertama, masih tingginya pengangguran dan kerentanan pasar tenaga kerja. Kedua, lemahnya kegiatan investasi dan permasalahan fundamental terkait. Ketiga, tingginya potensi tekanan inflasi secara struktural. Pengangguran yang tinggi terkait kepada pertambahan penduduk dan kualitas pendidikan dan skill sebagian terbesar SDM kita. Di lain fihak pasar tenaga kerja juga kurang fleksibel, artinya, amat mahal bagi perusahaan untuk mengurangi tenaga kerjanya kalau pasarnya menciut. Biaya pesangon untuk pemutusan hubungan kerja amat tingginya. Karena hubungan industrial di Indonesia kurang menguntungkan perusahaan maka banyak bakal investor internasional memilih lokasi Cina dan Vietnam ketimbang Indonesia.
Lemahnya kegiatan investasi baru juga oleh karena bagi pengusaha kepastian hukum sejak reformasi telah berkurang. Pelaksanaan otonomi daerah menambah ketidak pastian. Indonesia sekarang terkenal sebagai high-cost economy. Salah satu sumber ekonomi biaya tinggi adalah kurang memadainya infra-struktur, karena sejak 1998 praktis tidak ada investasi pemerintah di bidang infra-struktur ini.
Sebetulnya masih ada suatu rintangan fundamental, yakni intermediasi sistim perbankan belum bisa bekerja secara normal, karena ketatnya prudential rules yang baru dan masih ada trauma kredit macet.
Sejak tahun 2004 sudah ada tanda-tanda positip kenaikan investasi dan ekspor akan tetapi belum cukup untuk mengembalikan kinerja zaman sebelum krisis. Waktu itu jumlah investasi nasional (gross) sekitar 30% dari PDB. Di tahun 2004 baru melintasi 20% dari PDB. Statistik impor barang modal juga mulai naik. Akan tetapi, kebanyakan investasi yang masuk belakangan ini ditujukan ke sektor-sektor yang lebih konsumtip, seperti real estate dan shopping malls. Investor asing, misalnya Jepang, juga masih ragu-ragu masuknya, walaupun sudah cukup banyak investor dari negara tetangga Asean (Singapura, Malaysia) dan dari Cina yang mulai masuk. Tetapi, yang dibutuhkan adalah investasi di bidang industri yang menopang ekspor. Daya saing ekspor Indonesia telah melemah, antara lain oleh karena sejak krisis tidak ada investasi baru untuk meningkatkan teknologi. Maka bisa diadakan kesimpulan bahwa kebijakan fiskal dan moneter adalah sangat penting dan diperlukan akan tetapi belum cukup untuk meraih pertumbuhan tinggi bagi ekonomi Indonesia. Yang masih diperlukan adalah kebijakan-kebijakan untuk mengimbangi kelemahan struktural, seperti penegakan hukum untuk menjamin kepastian usaha dan perubahan dalam hubungan perburuhan. Pelaksanaan otonomi daerah harus dibenahi agar kepastian usaha bagi perusahaan lebih besar. Administrasi perpajakan juga harus dirombak karena ketidak pastian dan KKN dalam perkiraan serta pungutan pajak mengganggu banyak perusahaan besar.
Pada umumnya kebijaksanaan pemerintah sekarang untuk mencapai laju pertumbuhan lebih tinggi adalah cukup konservatip (prudent), menyadari bahwa banyak tergantung dari jumlah investasi, yang sebagian besar harus datang dari sektor swasta. Maka yang paling penting adalah membangun iklim investasi yang menarik. Sesudahnya, kita harus sabar menunggu investasi ini datang. Baru sesudah itu laju pertumbuhan akan PDB naik.
Pemerintah sendiri harus memaksimalkan investasi lewat anggaran belanjanya, misalnya untuk membangun infra-struktur yang tidak menguntungkan bagi investor swasta. Tetapi, pengelolaan APBN ini masih mengandung permasalahan sendiri, yang juga terkait dengan prinsip kehati-hatian (prudence). Sasaran Presiden SBY yang dikumandangkan di masa kampanye sebetulnya terlalu ambisius (misalnya mencapai laju pertumbuhan rata-rata 6,6% dalam lima tahun). Laju pertumbuhan di tahun pertama (2005) mungkin sekali (baru) 5,5%. Apa laju pertumbuhan tahun 2009 bisa mencapai 7,6%? Potensinya ada, akan tetapi apakah bisa “dipaksakan”?
Ada yang mau memaksakan dengan memperbesar defisit APBN (menjadi lebih besar dari 1% PDB). Masalahnya adalah bagaimana membiayainya? Dengan menambah utang luar negeri? Bisa dengan menambah utang dalam negeri akan tetapi harus dijaga jangan crowding out pasar kredit bagi sektor swasta. Ada yang menganjurkan jangan takut inflasi naik. Ini main dengan api. Sekali inflasi tertiup maka masyarakat ingat zaman yang lalu, sedangkan BI mau mengusahakan agar expectations ini forward looking.
3.2 Sumber-sumber Inflasi di Indonesia
Apabila ditelaah lebih lanjut, terdapat beberapa faktor utama yang menjadi penyebab timbulnya inflasi di Indonesia, yaitu :
3.2.1 Jumlah uang beredar
Menurut sudut pandang kaum moneteris jumlah uang beredar adalah factor utama yang dituding sebagai penyebab timbulnya inflasi di setiap negara, tidak terkecuali di Indonesia. Di Indonesia jumlah uang beredar ini lebih banyak diterjemahkan dalam konsep narrow money ( M1 ). Hal ini terjadi karena masih adanya anggapan, bahwa uang kuasi hanya merupakan bagian dari likuiditas perbankan. Sejak tahun 1976 presentase uang kartal yang beredar (48,7%) lebih kecil dari pada presentase jumlah uang giral yang beredar (51,3%). Sehingga, mengindikasikan bahwa telah terjadi proses modernisasi di sektor moneter Indonesia. Juga, mengindikasikan bahwa semakin sulitnya proses pengendalian jumlah uang beredar di Indonesia, dan semakin meluasnya monetisasi dalam kegiatan perekonomian subsistence, akibatnya memberikan kecenderungan meningkatnya laju inflasi. Menurut data yang dihimpun dalam Laporan Bank Dunia, menunjukan laju pertumbuhan rata-rata jumlah uang beredar di Indonesia pada periode tahun 1980-1992 relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Dan,tingkat inflasi Indonesia juga relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya (kecuali Filipina). Kenaikkan jumlah uang beredar di Indonesia pada tahun 1970-an sampai awal tahun 1980-an lebih disebabkan oleh pertumbuhan kredit likuiditas dan defisit anggaran belanja pemerintah. Pertumbuhan ini dapat merupakan efek langsung dari kebijaksanaan Bank Indonesia dalam sector keuangan (terutama dalam hal penurunan reserve requirement).
3.2.1 Defisit Anggaran Belanja Pemerintah
Seperti halnya yang umum terjadi pada negara berkembang, anggaran belanja pemerintah Indonesia pun sebenarnya mengalami defisit, meskipun Indonesia menganut prinsip anggaran berimbang. Defisitnya anggaran belanja ini banyak kali disebabkan oleh hal-hal yang menyangkut ketegaran struktural ekonomi Indonesia, yang acapkali menimbulkan kesenjangan antara kemauan dan kemampuan untuk membangun. Selama pemerintahan Orde Lama defisit anggaran belanja ini acapkali dibiayai dari dalam negeri dengan cara melakukan pencetakan uang baru, mengingat orientasi kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang inward looking policy, sehingga menyebabkan tekanan inflasi yang hebat. Tetapi sejak era Orde Baru, deficit anggaran belanja ini ditutup dengan pinjaman luar negeri yang nampaknya relative aman terhadap tekanan inflasi. Dalam era pemerintahan Orde Baru, kebutuhan terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi yang telah dicanangkan sejak Pembangunan Jangka Panjang I, menyebabkan kebutuhan dana untuk melakukan pembangunan sangat besar. Dengan mengingat bahwa potensi memobilisasi dana pembangunan dari masyarakat baik dari sektor tabungan masyarakat maupun pendapatan pajak) di dalam negeri pada saat itu yang sangat terbatas (belum berkembang), juga kemampuan sector swasta yang terbatas dalam melakukan pembangunan, menyebabkan pemerintah harus berperan sebagai motor pembangunan. Hal ini menyebabkan pos pengeluaran APBN menjadi lebih besar daripada penerimaan rutin. Artinya, peran pengeluaran pemerintah dalam investasi tidak dapat diimbangi dengan penerimaan, sehingga menimbulkan kesenjangan antara pengeluaran dan penerimaan negara, atau dapat dikatakan telah terjadi defisit struktural dalam keuangan negara. Pada saat terjadinya oil booming, era tahun 1970-an, pendapatan pemerintah di sektor migas meningkat pesat, sehingga jumlah uang primer pun semakin meningkat. Hal ini menyebabkan kemampuan pemerintah untuk berekspansi investasi di dalam negeri semakin meningkat. Dengan kondisi tingkat pertumbuhan produksi domestik yang relatif lebih lambat, akibat kapasitas produksi nasional yang masih berada dalam keadaan under-employment, peningkatan permintaan (investasi) pemerintah menyebabkan terjadi realokasi sumberdaya dari masyarakat ke pemerintah., seperti yang terkonsep dalam analisis Keynes tentang nflasi. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya tekanan inflasi. Tetapi, sejak berubahnya orientasi ekspor Indonesia ke komoditi non migas, sejalan dengan merosotnya harga minyak bumi di pasar ekspor (sejak tahun 1982), menyebabkan kemampuan pemerintah untuk membiayai pembangunan nasional semakin berkurang pula, sehingga pemerintah tidak dapat lagi mempertahankan posisinya sebagai penggerak (motor) pembangunan. Dengan kondisi seperti ini, menyebabkan secara bertahap peran sebagai penggerak utama pembangunan nasional beralih ke pihak swasta nasional, dengan demikian sumber tekanan inflasi pun beralih dari pemerintah beralih ke non pemerintah (swasta). Tekanan inflasi pada periode ini lebih disebabkan oleh meningkatnya tingkat agresifitas sektor swasta dalam melakukan ekspansi usaha, yang didukung oleh perkembangan sektor perbankan yang semakin ekspansif pula. Dengan kondisi sumberdaya modal domestik yang masih saja relatif terbatas, maka pinjaman luar negeri yang sifatnya non komersial maupun komersial pun semakin meningkat. Akibatnya, tetap saja terjadi defisit anggaran belanja negara dan neraca pembayaran, salah satu sebabnya karena pemerintah tetap saja harus menyediakan nfrastruktur dan suprastruktur pembangunan ekonomi yang kebutuhannya semakin meningkat. Peran pemerintah ini dapat dimaklumi karena kemampuan swasta nasional dalam pembangunan infrastruktur ekonomi masih sangat terbatas.
3.2.3 Faktor-faktor dalam Penawaran Agregat dan Luar Negeri
Kelambanan penyesuaian dari faktor-faktor penawaran agregat terhadap peningkatan permintaan agregat ini lebih banyak disebabkan oleh adanya hambatan-hambatan struktural (structural bottleneck) yang ada di Indonesia.Harga bahan pangan merupakan salah satu penyumbang terbesar terhadap tingkat inflasi di Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan oleh ketegaran structural yang terjadi di sektor pertanian sehingga menyebabkan inelastisnya penawaran bahan pangan. Ketergantungan perekonomian Indonesia yang besar terhadap sector pertanian, yang tercermin oleh peranan nilai tambahnya yang relatif besar dan daya serap tenaga kerjanya yang sedemikian tinggi serta beban penduduk yang cukup tinggi, mengakibatkan harga bahan pangan meningkat pesat. Umumnya, laju penawaran bahan pangan tidak dapat mengimbangi laju permintaannya, sehingga sering terjadi excess demand yang selanjutnya dapat memunculkan inflationary gap. Timbulnya excess demand ini disebabkan oleh percepatan pertambahan penduduk yang membutuhkan bahan pangan tidak dapat diimbangi dengan pertambahan output pertanian, khususnya pangan. Di sisi lain, kelambanan produksi bahan pangan disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya adalah tingkat modernisasi teknologi dan metode pertanian yang kurang maksimal; adanya faktor-faktor eksternal dalam pertanian seperti, perubahan iklim dan bencana alam; perpindahan tenaga kerja pertanian ke sektor non pertanian akibat industrialisasi; juga semakin sempitnya luas lahan yang digunakan untuk pertanian, yang disebabkan semakin banyaknya lahan pertanian yang beralih fungsi sebagai lokasi perumahan; industri; dan pengembangan kota Lebih lanjut, menurut hasil study empiris yang pernah dilakukan oleh Sri Mulyani Indrawati (1996), selain harga bahan pangan, kontributor inflasi di Indonesia lainnya dari sisi penawaran agregat adalah imported inflation, administrated goods, output gap, dan interest rate. Pertama, imported inflation ini terjadi akibat tingginya derajat ketergantungan sektor riil di Indonesia terhadap barang-barang impor, baik capital goods; intermediated good; maupun row material. Transmisi imported inflation di Indonesiaini terjadi melalui dua hal, yaitu depresiasi rupiah terhadap mata uang asing dan perubahan harga barang impor di negara asalnya. Bila suatu ketika terjadi depresiasi rupiah yang cukup tajam terhadap mata uang asing, maka akan menyebabkan bertambah beratnya beban biaya yang harus ditanggung oleh produsen, baik itu untuk pembayaran bahan baku dan barang perantara ataupun beban hutang luar negeri akibat ekspansi usaha yang telah dilakukan. Hal ini menyebabkan harga jual output di dalam negeri (khususnya untuk industri subtitusi impor) akan meningkat tajam, sehingga potensial meningkatkan derajat inflasi di dalam negeri. Tetapi, untuk industri yang bersifat promosi ekspor, depresiasi tersebut tidak akan membawa dampak buruk yang signifikan. Berkaitan dengan posisi hutang luar negeri Indonesia, pada periode tahun 1990-an, telah membengkak dengan tingkat debt service ratio yang semakin tinggi, yaitu lebih dari 40 %, dan presentase tingkat hutang yang bersifat komersial telah melampaui hutang non komersial. Menyebabkan, timbulnya hal yang sangat membahayakan ketahanan ekonomi nasional, terutama pada sektor finansial, apabila terjadi fluktuasi (memburuknya) nilai tukar (kurs), disamping dapat mengakibatkan tekanan inflasi yang berat, khususnya imported inflation. Kedua, administrated goods adalah barang-barang yang harganya diatur dan ditetapkan oleh pemerintah. Meskipun pengaruhnya secara langsung sangat kecil dalam mempengaruhi tingkat inflasi, tetapi secara situasional dan tidak langsung pengaruhnya dapat menjadi signifikan. Contoh, apabila terjadi kenaikan BBM, maka bukan saja harga BBM yang naik, harga barang atau tarif jasa yang terkait dengan BBM juga akan ikut dinaikan oleh masyarakat. Akibatnya, dapat memperberat tekanan inflasi. Ketiga, output gap adalah perbedaan antara actual output (output yang diproduksi) dengan potential output (output yang seharusnya dapat diproduksi dalam keadaan full employment). Adanya kesenjangan (gap) ini terjadi karena faktor-faktor produksi yang dipakai dalam proses produksi belum maksimal dan atau efisien. Keempat, interest rate juga merupakan faktor penting yang menyumbang angka inflasi di Indonesia. Memang pada awalnya merupakan hal yang cukup membingungkan dalam menentukan manakah yang menjadi independent variable atau dependent, antara inflasi dan suku bunga. Tetapi, bila ditilik dari sisi biaya produksi dan investasi (sisi penawaran), maka jelaslah bahwa suku bunga dapat dikatagorikan dalam komponen biaya-biaya tersebut. Dengan relatif tingginya tingkat suku bunga perbankan di Indonesia, menyebabkan biaya produksi dan investasi di Indonesia, yang dibiayai melalui kredit perbankan, akan tinggi juga. Jadi, apabila tingkat suku bunga meningkat, maka biaya produksi akan meningkat, selanjutnya akan meningkatkan pula harga output di pasar, akibatnya terjadi tekanan inflasi. Akhirnya, relasi antara tingkat suku bunga dan inflasi ini bisa menjadi interest rate-price spiral.
3.3 Pengendalian Inflasi di Indonesia
Sebagaimana halnya yang umum terjadi pada negara – negara berkembang, inflasi di Indonesia relatif lebih banyak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat struktural ekonomi bila dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat monetary policies. Sehingga bisa dikatakan, bahwa pengaruh dari cosh push inflation lebih besar dari pada demand pull inflation. Memang dalam periode tahun-tahun tertentu, misalnya pada saat terjadinya oil booming, tekanan inflasi di Indonesia disebabkan meningkatnya jumlah uang beredar. Tetapi hal tersebut tidak dapat mengabaikan adanya pengaruh yang bersifat struktural ekonomi, sebab pada periode tersebut, masih terjadi kesenjangan antara penawaran agregat dengan permintaan agregat, contohnya di sub sector pertanian, yang dapat meningkatkan derajat inflasi.
Pada umumnya pemerintah Indonesia lebih banyak menggunakan pendekatan moneter dalam upaya mengendalikan tingkat harga umum. Pemerintah Indonesia lebih senang menggunakan instrumen moneter sebagai alat untuk meredam inflasi, misalnya dengan open market mechanism atau reserve requirement. Tetapi perlu diingat, bahwa pendekatan moneter lebih banyak dipakai untuk mengatasi inflasi dalam jangka pendek, dan sangat baik diterapkan peda negara-negara yang telah maju perekonomiannya, bukan pada negara berkembang yang masih memiliki structural bottleneck. Jadi, apabila pendekatan moneter ini dipakai sebagai alat utama dalam mengendalikan inflasi di negara berkembang, maka tidak akan dapat menyelesaikan problem inflasi di negara berkembang yang umumnya berkarakteristik jangka panjang. Seperti halnya yang terjadi di Indonesia pada saat krisis moneter yang selanjutnya menjadi krisis ekonomi, inflasi di Indonesia dipicu oleh kenaikan harga komoditi impor (imported inflation) dan membengkaknya hutang luar negeri akibat dari terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika dan mata uang asing lainnya. Akibatnya, untuk mengendalikan tekanan inflasi, maka terlebih dahulu harus dilakukan penstabilan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dolar Amerika. Dalam menstabilkan nilai kurs, pemerintah Indonesia cenderung lebih banyak memainkan instrumen moneter melalui otoritas moneter dengan tight money policy yang diharapkan selain dapat menarik minat para pemegang valuta asing untuk menginvestasikan modalnya ke Indonesia melalui deposito, juga dapat menstabilkan tingkat harga umum. Tight money policy yang dilakukan dengan cara menaikkan tingkat suku bunga SBI (melalui open market mechanism) sangat tinggi, pada satu sisi akan efektif untuk mengurangi money suplly, tetapi di sisi lain akan meningkatkan suku bunga kredit untuk sektor riil. Akibatnya, akan menyebabkan timbulnya cost push inflation karena adanya interest rate-price spiral. Apabila tingkat suku bunga (deposito) perbankan sudah terlalu tinggi, sehingga dana produktif (dana untuk berproduksi atau berusaha) yang ada di masyarakat ikut terserap ke perbankan, maka akan dapat menyebabkan timbulnya stagnasi atau bahkan penurunan output produksi nasional (disebut dengan Cavallo effect). Lebih lagi bila sampai terjadi negatif spread pada dunia perbankan nasional, maka bukan saja menimbulkan kerusakan pada sektor riil, tetapi juga kerusakan pada industri perbankan nasional (sektor moneter). Jika kebijaksanaan ini terus dilakukan oleh pemerintah dalam jangka waktu menengah atau panjang, maka akan terjadi depresi ekonomi, akibatnya struktur perekonomian nasional akan rusak. Jika demikian halnya, maka sebaiknya kebijaksanaan pengendalian inflasi bukan hanya dilakukan melalui konsep kaum moneterist saja, tetapi juga dengan memperhatikan cara pandang kaum structuralist, yang lebih memandang perlunya mengatasi hambatan-hambatan struktural yang ada.
Dengan berpedoman pada berbagai hambatan dalam pembangunan perekonomian Indonesia yang telah disebutkan di atas, maka perlu berbagai upaya pembenahan, yaitu :
3.3.1 Meningkatkan Supply Bahan Pangan
Meningkatkan supply bahan pangan dapat dilakukan dengan lebih memberikan perhatian pada pembangunan di sektor pertanian, khususnya sub sektor pertanian pangan. Modernisasi teknologi dan metode pengolahan lahan, serta penambahan luas lahan pertanian perlu dilakukan untuk meningkatkan laju produksi bahan pangan agar tercipta swasembada pangan.
3.3.2 Mengurangi Defisit APBN
Mungkin dalam masa krisis ekonomi mengurangi defisit APBN tidak dapat dilaksanakan, tetapi dalam jangka panjang (setelah krisis berlalu) perlu dilakukan. Untuk mengurangi defisit anggaran belanja, pemerintah harus dapat meningkatkan penerimaan rutinnya, terutama dari sektor pajak dengan benar dan tepat karena hal ini juga dapat menekan excess demand. Dengan semakin naiknya penerimaan dalam negeri, diharapkan pemerintah dapat mengurangi ketergantungannya terhadap pinjaman dana dari luar negeri. Dengan demikian anggaran belanja pemerintah nantinya akan lebih mencerminkan sifat yang relative independent.
3.3.3 Meningkatkan Cadangan Devisa
Pertama, perlu memperbaiki posisi neraca perdagangan luar negeri (current account), terutama pada perdagangan jasa, agar tidak terus menerus defisit. Dengan demikian diharapkan cadangan devisa nasional akan dapat ditingkatkan. Juga, diusahakan untuk meningkatkan kinerja ekspor, sehingga net export harus semakin meningkat.
Kedua, diusahakan agar dapat mengurangi ketergantungan industri domestic terhadap barang-barang luar negeri, misalnya dengan lebih banyak memfokuskan pembangunan pada industri hulu yang mengolah sumberdaya alam yang tersedia di dalam negeri untuk dipakai sebagai bahan baku bagi industri hilir. Selain itu juga perlu dikembangkan industri yang mampu memproduksi barang-barang modal untuk industri di dalam negeri.
Ketiga, mengubah sifat industri dari yang bersifat substitusi impor kepada yang lebih bersifat promosi ekspor, agar terjadi efisiensi di sektor harga dan meningkatkan net export.
Keempat, membangun industri yang mampu menghasilkan nilai tambah yang tinggi dan memiliki kandungan komponen lokal yang relatif tinggi pula.
3.3.4 Memperbaiki dan Meningkatkan Kemampuan Sisi Penawaran Agregat
Pertama, mengurangi kesenjangan output (output gap) dengan cara meningkatkan kualitas sumberdaya pekerja, modernisasi teknologi produksi, serta pembangunan industri manufaktur nasional agar kinerjanya meningkat. Kedua, memperlancar jalur distribusi barang nasional, supaya tidak terjadi kesenjangan penawaran dan permintaan di tingkat regional (daerah). Ketiga, menstabilkan tingkat suku bunga dan menyehatkan perbankan nasional, tujuannya untuk mendukung laju proses industrialisasi nasional. Keempat, menciptakan kondisi yang sehat dalam perekonomian agar market mechanism dapat berjalan dengan benar, dan mengurangi atau bahkan menghilangkan segala bentuk faktor yang dapat menyebabkan distorsi pasar. Kelima, melakukan program deregulasi dan debirokrasi di sektor riil karena acapkali birokrasi yang berbelit dapat menyebabkan high cost economy.
Dengan menggunakan dua pendekatan (moneterist dan strukturalist) pada komposisi yang tepat, maka diharapkan bukan saja dalam jangka pendek inflasi dapat dikendalikan, tetapi juga dalam jangka panjang. Dan, bila ada upaya yang serius untuk memperkecil atau bahkan menghilangkan hambatan-hambatan struktural yang ada, maka akan berakibat pada membaiknya fundamental ekonomi Indonesia.
DAFTAR BACAAN
Adwin S Atmadja(1999), jurnal akuntansi dan keuangan vol1 ;no.1 halaman 54-67
Boediono (1997), Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No: 2 ; Ekonomi Makro, edisi keempat; Yogyakarta, BPFE.
Bruno, M., Easterly.W, Inflation and growth, in the search stable relationship
Cavanese, A. J., The Structuralist Explanation in the Theory of Inflation, Word Development, No. 10 halaman 523-529.
Dalal, M.N., Schacher, G. (July 1988), Transmission of International Inflation to India : A Structural Analisis, The Journal of Developing Areas, No. 23, halaman 85-104.
Friedman, Milton (March 1984), The Role of Monetary Policy, American Economic Review, halaman 57-71.
Fry, M.J., (Maret 1971), Money and Capital or Financial Deepening in Economic Development ?, Journal of Money, Credit and Banking, No. 1, halaman 22-45.
Gunawan, Anton H. (Januari 1991), Anggaran Pemerintah dan Inflasi di Indonesia, PAU-Ekonomi-UI, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.
Indrawati, Sri Mulyani (1996), Sumber-Sumber Inflasi di Indonesia, Makalah dalam Seminar ISEI dan PERHEPI, Jakarta.
Lim, J. (September 1987), The New Structuralist Critique of The Monetarist Theory of Inflation, Journal of Development Economic, No. 25.
McKinnon, R.I (1973)., Money and Capital in Economic Development, Washinton DC : Brooking.
Tambunan, Tulus T.H. (1996), Perekonomian Indonesia, Jakarta, Galia Indonesia.
Van Wijnbergen, S. (September 1982), Credit Policy, Inflation and Growth in a Financially Repressed Economy, Journal of Development Economics, No. 13, halaman 45-65
http://en.wikipedia.org/wiki/inflation
No comments:
Post a Comment