I.
PENDAHULUAN
Seiring
berita tentang kebangkrutan beberapa perusahaan raksasa di Amerika Serikat
akibat krisis keuangan di akhir tahun 2008 lalu, beberapa media menulis gaya
hidup mewah CEO sebuah perusahaan yang sedang mengalami kesulitan finansial dan
menuju kebangkrutan. Di tengah usaha pemerintah USA melakukan tindakan
penyelamatan ekonomi negara adidaya, ternyata manejer-manejer perusahaan justru
sedang asyik dengan kebiasaan hidup “menghambur-hamburkan uang” yang telah
menjadi bagian dari gaya hidup para jet set.
Berita
tersebut diatas menguak ketika ekonomi kapitalis (klasik) telah dipertanyakan
ketangguhannya menghadapi guncangan krisis. Salah urus perusahaan dari para
manejer keuangan di perusahaan-perusahaan raksasa USA juga dituding sebagai
biang dari permasalahan tersebut. Namun dibalik berita-berita tersebut, mengingatkan kita pada aliran pemikiran
ekonomi institusional yang dirintis oleh Thorstein
Bunde Veblen (1857-1929). Inti pemikiran Veblen dapat
dinyatakan dalam beberapa kenyataan ekonomi yang terlihat dalam perilaku
individu dan
masyarakat tidak hanya disebabkan oleh motivasi ekonomi tetapi juga karena motivasi lain (seperti motivasi sosial dan kejiwaan), maka Veblen tidak puas terhadap gambaran teoretis tentang perilaku individu dan masyarakat dalam pemikiran ekonomi ortodoks. Dengan demikian, ilmu ekonomi menurut Veblen jauh lebih luas daripada yang ditemukan dalam pandangan ahli-ahli ekonomi ortodoks. Veblen pada intinya mengkritik teori-teori yang digunakan kaum klasik dan neo-klasik yang model-model teoritis dan matematisnya dinilai bias dan cenderung terlalu menyederhanakan fenomena-fenomena ekonomi. Pemikiran-pemikiran ekonomi klasik dan neo klasik juga dikritiknya karena dianggap mengabaikan aspek-aspek non ekonomi seperti kelembagaan dan lingkungan. Padahal Veblen menilai pengaruh keadaan dan lingkungan sangat besar terhadap tingkah laku ekonomi masyarakat. Struktur politik dan sosial yang tidak mendukung dapat meinblokir dan menimbulkan distorsi proses ekonomi.
masyarakat tidak hanya disebabkan oleh motivasi ekonomi tetapi juga karena motivasi lain (seperti motivasi sosial dan kejiwaan), maka Veblen tidak puas terhadap gambaran teoretis tentang perilaku individu dan masyarakat dalam pemikiran ekonomi ortodoks. Dengan demikian, ilmu ekonomi menurut Veblen jauh lebih luas daripada yang ditemukan dalam pandangan ahli-ahli ekonomi ortodoks. Veblen pada intinya mengkritik teori-teori yang digunakan kaum klasik dan neo-klasik yang model-model teoritis dan matematisnya dinilai bias dan cenderung terlalu menyederhanakan fenomena-fenomena ekonomi. Pemikiran-pemikiran ekonomi klasik dan neo klasik juga dikritiknya karena dianggap mengabaikan aspek-aspek non ekonomi seperti kelembagaan dan lingkungan. Padahal Veblen menilai pengaruh keadaan dan lingkungan sangat besar terhadap tingkah laku ekonomi masyarakat. Struktur politik dan sosial yang tidak mendukung dapat meinblokir dan menimbulkan distorsi proses ekonomi.
Bagi
Veblen masyarakat merupakan suatu fenomena evolusi, di mana segala sesuatunya
terus-menerus mengalami perubahan. Pola perilaku seseorang dalam masyarakat
disesuaikan dengan kondisi sosial sekarang. Jika perilaku tersebut cocok dan
diterima, maka perilaku diteruskan. Sebaliknya. jika tidak cocok, maka perilaku
akan disesuaikan dengan lingkungan. Keadaan dari lingkungan inilah yang disebut
Veblen “institusi”. Dalam hal ini hendaknya jelas bahwa yang dimaksudkan Veblen
dengan ”institusi” bukan institusi atau kelembagaan dalam artian fisik
melainkan dalam artian yang terkait dengan nilai-nilai, norma-norma, kebiasaan
serta budaya, yang semuanya terrefleksikan dalam kegiatan ekonomi, baik dalam
berproduksi maupun mengkonsumsi. Dalam berproduksi akan kelihatan bagaimana
nilai-nilai dan norma-norma serta kebiasaan yang dianut dalam mengejar tujuan
akhir dari kegiatan produksi, yaitu keuntungan Ada keuntungan yang diperoleh
melalui kerja keras dan ada juga yang diperoleh dengan “trik-trik” licik dengan
menggunakan segala macam cara tanpa memperdulikan orang lain; Begitu juga dalam
perilaku konsumsi ada perilaku konsumsi yang wajar, yaitu ingin memperoleh
manfaat atau utilitas yang sebesar-besarnya dan tiap barang yang dikonsumsinya,
dan ada pula yang tidak wajar kalau konsumsi ditujukan hanya untuk pamer, yang
oleh Veblen disebut conspicuous
consumption.
Ladasan
pemikiran seperti dijelaskan di atas jelas bukan pemikiran ekonomi, melainkan
lebih mengarah ke sosiologi. Tetapi kalau digabung, ia akan menjadi pemikiran
ekonomi aliran institusional atau aliran kelembagaan (institutional economics).
II. PERILAKU KONSUMSI MASYARAKAT
Dalam The Theory of the Leisure Class Veblen
menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan dorongan dan pola perilaku konsumsi
masyarakat. Sebagai layaknya pemikir yang tidak puas dengan kondisi masyarakat
yang ada di sekitarnya, Veblen sering melihat situasi-situasi masa lalu yang
dinilainya lebih baik dari situasi-situasi dan keadaan sekarang, terutama dalam
masyarakat Amerika yang diamatinya. Menurut Veblen, dulu perilaku orang terikat
dengan masyarakat sekeliling, dan orang dalam tingkah lakunya berusaha ikut
menyumbang terhadap perkembangan rnasyarakat. Orang berusaha menghindari
perbuatan yang akan merugikan orang banyak. Tetapi apa yang dilihatnya sekarang
dalam masyaralcat kapitalis finansil di Amerika ialah orang-orang yang hanya
mementingkan diri sendiri saja, dan lidak terlalu tez-tank dengan kepentingan
masyarakat banyak.
Yang
diperhatikan oleh masyarakat sekarang hanya uang. Segala sesuatu juga dinilai
dengan uang. Sekarang orang tidak peduli apakah perilaku ekonominya merugikan
orang lain atau tidak. Orang berlomba-lomba mencari dan memperebutkan harta
tanpa peduli akan cara. Mengapa orang sangat doyan dengan harta? Hal mi tidak
lain karena adanya anggapan bahwa hanya harta yang mampu menaikkan status,
harga diri atau gengsi seseorang dalam masyarakat.
Jika harta
telah terkumpul, orang punya banyak waktu untuk bersenang-senang (leisure). Dengan demikian pada masa
sekarang kemampuan untuk hidup bersenang-senang juga dijadikan sebagai alat
untuk memperlihatkan derajat atau status seseorang. Makin mampu ia tidak
bekerja dalam pekerjaan-pekerjaan produktif (leisure),
makin tinggi derajatnya dalam masyarakat. Penyakit seperti ini banyak
menghinggapi kaum wanita, di mana mereka memakai gaun mode mutakhir hanya
sekedar untuk mengumumkan pada orang-orang bahwa ia absen dari pekerjaan
produktif; Memakai Corset, misalnya, jelas ingin menunjukkan bahwa si pemakai
tidak cocok untuk bekerja.
Penyakit
suka pamer ini, demikian Yeblen, cepat berjangkit dalam masyarakat. Dalam hal
ini ia memberi contoh, kalau seorang boss berlibur selama sebulan menggunakan yacht pribadi ke Bermuda, maka
sekretanisnya dengan segala upaya (mungkin dengan menghabiskan sólüruh
tabungannya selama setahun) berusaha agar dapat berlayar selama seminggu ke
Karibia.
Karena
aktivitas leisure juga dijadikan sebagai indikasi kesuksesan, maka orang kaya
yang ingin dianggap ”hebat” tidak pernah mengizinkan istri dan anak-anaknya
mengerjakan pekerjaan rumah. Semua pekerjaan rumah diserahkan pada pembantu,
dan sementara pembantu bekerja maka istri dan anak-anak sibuk mencari
kesenangan pribadi masing-masing.
Dengan
harta melimpah orang berlomba-lomba membeli barang-barang yang digunakan untuk
pamer. Kecenderungan perilaku konnsumsi seperti ini disebut Veblen dengan
istilah conspicuous consumption,
yaitu konsumsi barang-barang dan jasa yang barsifat ostentatious (pamer, melagak), yang dimaksudkan untuk membuat orang
kagum. Sebagaimana diungkapkan oleh Veblen: “Conspicious consumption of valuable goods
is a means of reputability to the gentlemen of leisure”.
Yang jadi incaran konsumsi bagi
masyarakat leisure ini terutama barang-barang sangat mahal, tidak perduli
apakah barang itu berguna dalam kehidupan sehari-hari atau tidak. Manfaat yang
diperoleh dari pengkonsumsian barang-barang mahal tersebut memang tidak diperoleh
dari barang itu sendiri, tetapi lewat dampaknya terhadap dan melalui orang
lain. Makin mahal barang yang dibeli, si pembeli makin yakin bahwa barang
tersebut “indah”, “hebat”. Kepuasan dari barang-barang yang ditujukan untuk
pamer tidak diterima dari pengkonsumsian barang itu sendiri, melainkan melalui
dampaknya terhadap orang lain. Makin kagum orang pada yang dibelinya, main
tinggi kepuasannya. Tetapi jika orang tidak memberi perhatian pada apa yang
dibelinya, ia mungkin bisa pusing tujuh keliling.
Apa yang dikatakan Veblen
tentang perilaku konsumsi bermewah-mewah di atas, di mana faedahnya tidak
diperoleh langsung dari konsumsi barang itu sendiri, melainkan dari dampaknya
terhadap orang lain, oleh Duesenberry kemudian dikembangkan lebih lanjut, dan
lebih dikenal dengan istilah demostration
effects.
Bagi Veblen gambaran di atas
sungguh terbalik dengan tesis kaum klasik dan neo-klasik yang mengatakan bahwa
orang akan selalu memilih alternatif konsumsi terbaik untuk memperoleh kepuasan
sebesar-besarnya. Perilaku tersebut juga bertentangan dengan anggapan kaum
klasik bahwa tiap keputusan konsumen didasarkan pada rasio, bukan emosi.
Menurut pandangan Veblen orang
yang membeli sesuatu barang yang melebihi proporsi yang wajar jelas tidak
rasional, melainkan lebih bersifat emosional. Dan yang lebih parah lagi,
kudang-kadang tingkah laku konsumsi mereka seperti orang “norak”. Hal seperti
ini sering terjadi pada golongan nouve riche, atau di Indonesia dikenal dengan
istilah Orang Kaya Baru (OKB). Golongan ini umumnya berasal dari orang miskin
yang kemudian berhasil meningkatkan status finansilnya. Karena kurang terbiasa
dengan pola hidup orang-orang kaya, maka perilaku konsumsinya menjadi seperti
tidak wajar.
Veblen
melihat bahwa perilaku conspicuous
consumption, dan pecuniary emulation
semakin menggejala dalam masyarakat kapitalis finansil liberal Amerika.
Perilaku seperti ini sangat dibenci dan ditantangnya karena dari hasil
pengamatannya ia menyaksikan bahwa orang Amerika cenderung semakin manja.
Banyak di antara mereka yang kerjanya hanya menghambur-hamburkan waktu, tenaga
dan sumber daya. Jika kecenderungan seperti ini tidak dicegah, demikian
peringatan Veblen, bangsa Amerika suatu saat akan tertinggal dari bangsa-bangsa
lain yang lebih berperhitungan dalam membelanjakan pendapatan mereka.
III.
PERILAKU PENGUSAHA
Dalam
bukunya yang lain: The Theory of Business
Enterprise, Veblen lebih jauh menjelaskan kemiripan perilaku pengusaha
Amerika dengan perilaku konsumsi yang diceritakan di atas. Veblen dalam hal ini
juga melihat bahwa perilaku para pengusaha Amerika di masanya telah banyak
mengalami perubahan. Dahulu para pengusaha pada umumnya menghasilkan
barang-barang dan jasa untuk memperoleh keuntungan melalui kerja keras.
Investasi masuk ke dalam apa yang disebutnya production for use. Tetapi pada masa sekarang laba dan keuntungan
sebagian tidak lagi diperoleh melalui kerja keras dengan menciptakan
barang-banang yang disukai konsumen, tetapi lewat “trik-trik bisnis”. Produksi
seperti ini disebutnya production for
profit.
Lebih jauh
dari itu Veblen melihat bahwa pada masa sekarang semakin banyak dijumpai jenis
pengusaha pemangsa (predator), yaitu
pana pengusaha yang mempenoleh keuntungan melalui benbagai cara tanpa
mempedulikan nasib orang lain, tenmasuk pana pegawai dan karyawan yang bekerja
di perusahaan yang dimilikinya. Apalagi terhadap nasib para konsumen yang
membeli produk-produknya, tidak ada perhatian mereka sama sekali.
Veblen
melihat dalam masyarakat Amerika yang tumbuh begitu pesat telah melahirkan
suatu golongan yang disebutnya absentee
ownership. Yang dimaksudkannya dengan golongan absentee ownership tersebut
adalah para pengusaha yang memiliki modal besar dan menguasai sejumlah
perusahaan, tetapi tidak ikut terjun langsung dalam kegiatan operasional
perusahaan. Kegiatan operasional cukup diserahkan pada para professional dari
karyawan kepercayaannya. Tetapi, walau ia tidak ikut dalam kegiatan
operasional, dalam kenyataan ia memperoleh keuntungan paling besar. Untuk lebih
jelas Veblen membedakan contoh tentang pengusaha yang bergerak dalam bidang
perkereta-apian, yang mendapat keuntungan sangat besar waktu Amerika melaksanakan
pembukaan kawasan dari pantai Timur hingga pantai Barat.
Yang
merancang dan melaksanakan pembuatan jaringan kereta api adalah tenaga-tenaga
pelaksana profesional yang diupah. Sedang sang pengusaha sebagai pemilik modal
hanya ongkang-ongkang kaki saja. Begitupun, ia yang memetik keuntungan paling
besar. Para pengusaha kereta api yang seperti ini oleh Veblen diberi gelar
bangsawan kereta api (railroad barons),
sebab periilaku mereka agak mirip dengan kaum bangsawan pemilik daenah-daerah
pertanian di Eropa abad pentengahan. Mereka sama-sama tidak mengerahkan pikiran
dan energi dalam kegiatan operasional, tetapi memperoleh bagian keuntungan
paling besar.
Veblen
labih jauh melihat bahwa para pengusaha yang hanya mementingkan laba tanpa
memperhatikan cara ini biasanya melakukan kongkalingkong
dengan penguasa sehingga mendapat berbagai kemudahan dan hak-hak istimewa,
misalnya dalam menguasai bahan-bahan mentah dan menguasai daerah-daerah
pemasaran. Ia biasanya juga mampu mengatur pejabat kehakiman untuk tidak
mempensoalkan kedudukan monopolinya, atau tidak menggubris manipulasi pajak dan
keuangan yang dilakukannya. Di beberapa negara berkembang yang masih belum
punya aturan penmainan atau rule of law
yang jelas bahkan sering dijumpai adanya kerja sama antara pengusaha dengan
militer demi mengamankan bisnis monopolinya. Artinya, kalau ada pengusaha lain
yang ikut dalam bisnis yang dimonopolinya, ia berurusan dengan militer. Si
penangkap biasanya diberi hadiah atau promosi naik pangkat. Hal ini mudah
diatur, sebab sang pengusaha biasanya dekat atau memang anak atau famili dan si
pengusaha itu sendiri.
Untuk
memperoleh laba yang sebesar-besarnya, ada pengusaha absentee ownership tidak segan-segan mematikan usaha pengusaha
sungguhan yang memperoleh keuntungan lewat kerja keras. Salah satu cara untuk
itu ialah dengan melakukan akuisasi. Cara lain untuk mematikan pesaing lain
ialah dengan membanting harga, sehingga produk-produk dan perusahaan-perusahaan
pesaing tersebut tidak laku. Setelah pesaing mati dan keluar dari pasar
biasanya mereka kembali menaikkan harga dan memperoleh laba sangat besar (excessive profit.
Dengan monopoly power yang ada di tangan mereka
juga sering mengurangi pasok (supply)
barang-barang, sehingga harga melambung, dan lagi-lagi menerima keuntungan
melebihi kewajaran. Dengan singkat, uang atau modal di tangan pengusaha
pemangsa lebih sebagai alat pengeksploitasi keuntungan sebesar-besarnya dari
pada sebagai asset yang dikelola dengan efisien untuk memuaskan kebutuhan
konsumen sebagaimana yang terjadi dalam perusahaan sungguhan.
Dari
uraian di atas tidak heran kalau Veblen menolak keras tesis kaum klasik yang
menganggap bahwa usaha tiap orang yang mengejar kepentingannya masing-masing
pada akhirnya akan melahirkan suatu harmoni dan keseimbangan dalam masyarakat
secara keseluruhan sebab dari gejala-gejala yang diamatinya ia melihat bahwa
perilaku pengusaha yang hanya mengejar kepentingan pribadi sangat bertolak
belakang dengan tujuan masyarakat secara keseluruhan. Sebaliknya demi mengejar
kepentingan pribadi ada pengusaha yang tidak segan-segan mennghambat dan
mematikan kepentingan orang banyak.
Veblen
menilai bahwa para pengusaha absentee
ownerehip yang biasa memperoleh keuntungan besar dengan cara kongkalingkong
tersebut sangat berpotensi melahirkan golongan leisure class. Secara psikologis
orang yang bisa memperoleh sesuatu tanpa keringat tidak begitu menghargai
apa-apa yang diperolehnya, dan karena itu tidak heran kalau perilaku
konsumsinya akan bersifat conspicuous
consumption. Perilaku mereka yang suka pamer tersebut kadang kala sangat
norak, sebab suka membeli sesuatu yang tidak dimanfaatkan dengan sewajarnya.
Hal ini berbeda dengan perilaku konsumsi pengusaha “mumi” yang serius dan
mati-matian dalam berusaha. Karena keberhasilan dicapai lewat kerja keras,
mereka akan lebih berperhitungan dalam mengkonsumsi barang-barang dan jasa
untuk memenuhi kebutuhannya.
IV.
TOKOH-TOKOH INSTITUSIONALIS LAINNYA
Veblen
sebagai tokoh utama aliran institusional mempunyai cukup banyak pengikut.
Beberapa di antaranya yang dapat disebuitkan di sini adalah: Wesley Mitchel,
Gunnar Myrdal, Joseph Schumpeter, dan terakhir, Douglas North.
Wesley
Clair Mitchel (1874-1948) adalah murid, teman dan pengagum Veblen. Selain ikut
dalam mendukung dan mengembangkan pemikiran-pemikiran gurunya, lebih lanjut ia
juga berjasa dalam mengembangkan metode-metode kuantitatif dalam menjelaskan
peristiwa-peristiwa ekonomi. Salah satu karyanya yang sudah menjadi klasik
adalah: Business Cycles and Their causes
(1913). Dengan menggunakan bermacam data statistik ia kemudian menjelaskan
masalah fluktuasi ekonomi. Sesudah perang dunia kedua Mitchell mengorganisir
sebuah badan penelitian “National Bureau of Economic Research”, yang
memungkinkan lebih dikembangkannya penelitian-penelitian tentang pendapatan
nasional, fluktuasi ekonomi atau business
cycles, perubahan produktivitas, analisis harga, dan sebagainya.
Gunnar
Karl Myrdal (1898-19..) dari Swedia juga digolongkan sebagai pendukung aliran
institusional. Setelah menyelesaikan pendidikan dalam bidang hukum Myrdal
melanjutkan pendidikan dalam bidang ekonomi, dan selesai tahun 1927. Ia banyak menulis buku, antara lain: An American Dilemna (1944); Value
in Social Theory (1958); Challenge to
Affluence (1963); dan Asian Drama:
An Inquiry into The Poverty of Nations
(1968). Salah satu pesan Myrdal pada ahli-ahli ekonomi ialah agar ikut membuat value judgement, sebab jika itu tidak
dilakukan maka struktur-struktur teoritis ilmu ekonomi akan menjadi tidak
realistis. Sebagai penganjur aliran institusional ia percaya bahwa pemikiran
institusional sangat diperlukan dalam melaksanakan pembangunan di negara-negara
berkembang. Atas jasa-jasanya dalam menyumbangkan pemikiran-pemikiran ekonomi,
terutama bagi pembangunan negara-negara berkembang, tahun 1974 bersama-sama
dengan F.A. Hayek ia memperoleh hadiah Nobel dalam bidang ekonomi.
Joseph A. Schumpeter
(1883-1950) oleh beberapa penulis dimasukkan sebagai pendukung aliran
institusional karena pendapatnya yang mengatakan bahwa sumber utama kemakmuran
bukan terletak dalam domain ekonomi
itu sendiri, melainkan berada di luarnya, yaitu dalam lingkungan dan institusi
masyarakat. Lebih jelas lagi, sumber kemakmuran terletak dalam jiwa
kewiraswastaan (entrepreneurship)
para pelaku ekonomi yang mengarsiteki pembangunan.
Schumpeter
membedakan pengertian invensi dengan inovasi. Invensi adalah hal penemuan
teknik-teknik produksi baru. Sedang inovasi mempunyai makna lebih luas, yang
tidak hanya menyangkut penemuan teknik-teknik berproduksi baru, tetapi juga
penemuan komoditi baru, jenis material baru untuk produksi, cara-cara usaha
baru, cara-cara pemasaran baru, dan sebagainya. Oleh Schumpeter inovasi
dianggap sebagai sesuatu loncatan dalam fungsi produksi.
Inovasi
ditemukan oleh inovator, tetapi adalah entrepreneur yang mempraktekkan hasil
temuan tersebut pertama kali. Tanpa entrepreneur yang berani mengadopsi
temuan-temuan baru orang akan tetap menggunakan cara-cara lama yang telah usang
dan tidak efisien. Lebih jauh, entrepreneur menurut Schumpeter tidak sama
dengan pengusaha biasa, sebab entrepreneur lebih jeli mencari peluang, mmampu
merintis dan mengatur inovasi, mau mengadopsi teknik, cara dan pola baru; dan
yang paling penting, berani mengambil risiko.
Kalau
boleh “meloncat” ke tahun 1993, maka orang terakhir perlu dicantumkan sebagai
pendukung aliran institusional Douglas North dad University of Washington,
Missouri, Amerika Serikat. Penghargaan terhadap aliran institusional
menpuncaknya tahun 1993 pada waktu Douglas North menerima hadiah Nobel dalam
bidang ekonomi. North menerima hadiah sangat membanggakan tersebut karena
jasanya yang sangat dalam memperbarui riset dalam penelitian sejarah ekonomi
metode-metode kuantitatif.
Selama ini
kebanyakan pakar-pakar ekonomi menganggap mekanisme pasar sebagai satu-satunya
penggerak roda ekonomi, dan mengabaikan peran institusi. Hal ini dinilai North
keliru, sebab peran institusi, baik institusi politik maupun institusi ekonomi,
tidak kalah pentingnya dalam pembangunan ekonomi. Lebih jauh ia menyimpulkan
bahwa negara-negara komunis hancur karena tidak mempunyai institusi yang
mendukung mekanisme pasar. Terhadap perubahan-perubahan yang radikal di Eropa
Timur dan eks Soviet, North mengatakan bahwa reformasi yang dilakukan tidak
akan memberikan hasil nyata hanya dengan memperbaiki kebijaksanaan ekonomi
makro belaka. Agar reformaasi berhasil
dibutuhkan dukungan seperangkat institusi yang mampu memberikan insentif
yang tepat kepada setiap pelaku. Beberapa contoh institusi yang mampu
memberikan tersebut adalah hukum paten dan h cipta, hukum konnemilikan tanah.
Dari
uraian di atas jelas bahwa apa yang dimaksudkan North institusi sedikit berbeda
dengan yang dikemukakan Veblen sebagai pendiri aliran institusional itu
sendiri. Kalau bagi Veblen institusi diartikan sebagai norma-norma,
nilai-nilai, tradisi dan budaya, bagi North institusi adalah peraturan
perundang-undangan berikut sifat-sifat pemaksaan dan peraturan-peraturan serta
norma-norma perilaku yang membentuk interaksi manusia secara berulang-ulang.
Dalam hal ini North tidak institusi sebagai institusi, tetapi terutama pada
konsekuensi institusi tersebut atas pilihan-pilihan yang dilakukan oleh anggota
masyarakat. Bagi negara-negara yang ingin maju, demikian North memberi resep,
harus dikembangkan sistem kontrak, hak cipta, merek dagang dan sebagainya
secara resmi, yang dilengkapi dengan sistem pemantauan dan mekanisme penindakan
bagi para pelanggar peraturan-peraturan yang telah dibuat. Tanpa kehadiran institusi maka biaya transaksi dalam
berdagang dan berusaha menjadi tinggi. Para pedagang akan menghadapi risiko
penipuan, pemerasan, ancaman fisik dan bentuk-bentuk ketidakpastian lainnya.
Kehadiran institusi sangat penting sebagai alat untuk mengatur dan
mengendalikan para pelaku ekonomi di pasar.
Daftar Pustaka
Deliarnov, 1997. Perkembangan Pemikiran Ekonomi (Edisi Revisi). PT Rajagrafindo Persada; Jakarta.
Frondizi, Risieri. 2001. Pengantar Filsafat Nilai. Terjemahan oleh: Cuk
Ananta Wijaya. Pustaka Pelajar; Yogyakarta.
Mudhofir, Ali, dan Heri Santoso. 2007. Asas Berfilsafat. Pustaka Rasmedia; Yogyakarta.
Skousen, Mark. 2006.The Modern
Economics The Lives and Ideas of the Great Thinkers. Terjemahan oleh Tri Wibowo
Budi Santoso. Prenada; Jakarta.
Russel, Bertrand. 2005. Perjumpaan Sains-Agama dan Cita-Cita Politik. Terjemahan oleh Ruslani. Penerbit Ufuk; Jakarta.
Titus, Harold, dkk. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat. Terjemahan oleh Prof. Dr. H. M. Rasjidi. Penerbit Bulan Bintang; Jakarta.