By
Davide Furceri and Marcos Poplawski Ribeiro
I.
PENDAHULUAN
Penelitian mengenai “Government Consumption Volatality and the size of
Nation, diambil dari Jurnal ECO/WKP/(2009)08 yang pada awalnya menyebutkan
bahwa tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa hubungan antara volatiliti
konsumsi pemerintah dengan ukuran suatu negara dengan menggunakan sampel dari
160 negara dari tahun 1960 sampai dengan tahun 2000. Penelitian ini menemukan
bahwa : 1. negara – negara kecil lebih fluktuasi konsumsi pemerintah baik
karena kebijaksanaan yang bebas maupun yang tertentu.2. Hubungan antara
Fluktuasi konsumsi pemerintah dengan ukuran negara adalah lebih negatif untuk
ekonomi yang lebih fluktuatif.3. Hubungan antara Fluktuasi konsumsi pemerintah
dengan ukuran negara adalah lebih negatif untuk fungsi belanja pemerintah yang berkarakteristik tingkat tinggi dalam tidak
adanya kompetitor. Hasil penelitian ini adalah sehat dalam perbedaan waktu dan contoh-contoh
negara, teknik ekonometrik dan beberapa penetapan variabel kontrol.
Seperti diketahui dalam beberapa tahun terakhir, berkembang berbagai
literatur ekonomi yang memfokuskan diri
pada dampak ukuran suatu negara terhadap berbagai manfaat ekonomi. Dari sebuah titik
ekonomi yang dipandang tanda-tanda
adanya dampak dari ukuran negara telah terlihat (Alesina dan Spoalore,2003).
Alesina and Wacziarg (1998) memperlihatkan kekuatan pengeluaran-pengeluaran
pemerintah pada negara-negara kecil dalam
memberikan kontribusi terhadap GDP negara tersebut.
II.
PENDAPAT LAIN TENTANG ISU YANG BERKENAAN
Penelitian ini apabila dikaitkan dengan isu-isu demokratisasi yang secara
global sedang menjadi trend di seluruh penjuru dunia agak bertentangan.
Sejumlah
studi juga menunjukkan bahwa tingkat kemajuan ekonomi merupakan
faktor penentu penting
bagi keberlanjutan demokrasi.
Suatu studi yang banyak diacu menyimpulkan bahwa,berdasarkan pengalaman empiris
selama 1950-90, rejim demokrasi di negara-negara dengan penghasilan per kapita
1500 dolar (dihitung berdasarkan
Purchasing Power Parity
(PPP)-dolar tahun 2001) mempunyai harapan hidup hanya 8
tahun. Pada tingkat penghasilan per
kapita 1500-3000 dolar, demokrasi dapat bertahan rata-rata 18 tahun.Pada
penghasilan per kapita di atas 6000 dolar daya hidup sistem demokrasi jauh lebih
besar dan probabilitas kegagalannya hanya 1/500.
Apabila kita hitung berdasarkan PPP-dolar 2006 penghasilan per kapita
Indonesia diperkirakan sekitar 4000 dolar sedangkan batas kritis bagi demokrasi
sekitar 6600 dolar. Kita belum 2/3 jalan
menuju batas aman bagi demokrasi.
Sejumlah studi empiris
lain, terutama oleh
para ekonom, menyimpulkan bahwa
demokrasi bukan penentu
utama prestasi ekonomi. Menurut pandangan ahli-ahli ini, terutama
bagi negara-negara berpenghasilan rendah, rule of law lebih menentukan kinerja
ekonomi daripada demokrasi per se. Apabila kesimpulan ini benar maka
negara-negara berpenghasilan rendah dapat memacu pertumbuhan ekonominya,
meskipun mereka belum siap menerapkan demokrasi, asalkan mereka dapat memperbaiki
rule of law. Tetapi dengan meningkatnya
kemakmuran demokrasi akan makin ”diminta”oleh masyarakat. Sementara itu, pada tahap ini demokrasi juga
makin penting bagi keberlanjutan pembangunan
ekonomi. Seorang ahli ekonomi pembangunan kenamaan melihat
demokrasi sebagai suatu meta-institution atau institusi induk yang dapat
menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuhnya institusi-institusi lain yang
berkualitas, artinya 10 efektif dan dengan tatakelola atau governance
yang baik. Hal ini penting
mengingat konsensus yang sekarang berkembang di kalangan ahli dan
praktisi adalah bahwa
mutu institusi atau
governance merupakan kunci keberhasilan pembangunan. Apabila institusi
yang baik menentukan keberhasilan pembangunan, dan demokrasi adalah sistem yang
kondusif bagi perkembangan institusi semacam itu, maka demokrasi menjadi
penentu bagi pembangunan ekonomi. Pada tahap kemajuan ekonomi yang makin tinggi,
pertumbuhan ekonomi akan makin mengandalkan pada fleksibilitas sistem ekonominya,
kemajuan teknologi dan peningkatan mutu faktor produksi, yang kesemuanya
bersumber dari inisiatif dan inovasi oleh para pelaku ekonomi. Dan kita tahu bahwa
inisiatif dan inovasi
tumbuh paling subur
di alam demokrasi.
Dilema mendasar yang dihadapi demokrasi, sejak Plato, adalah bagaimana
memadukan rasionalisme dengan populisme, pemerintahan yang efektif dengan
pemerintahan yang representatif, teknokrasi dengan demokrasi. Dilema ini sangat
kongkrit, dan akut, bagi demokrasi yang baru berkembang, seperti di negara
kita. Di satu sisi, kita ingin memacu pembangunan ekonomi yang pada hakekatnya
memerlukan langkah cepat dan kebijakan ekonomi yang rasional, konsisten dan
berwawasan jangka panjang – short term pain for long term gain. Di sisi lain,
sistem politik yang berjalan, karena mekanisme yang belum mantap, tidak
mendukung pengambilan keputusan yang cepat dan decisive. Risiko distorsi
terhadap kebijakan yang rasional juga tinggi karena tidak jarang kepentingan
sempit dan jangka pendek mendominasi wacana pengambilan keputusan di lembaga
legislatif dan bahkan eksekutif, tanpa ada mekanisme koreksi yang efektif. Inilah sebabnya mengapa para
ahli berpendapat bahwa kebijakan ekonomi, sampai batas tertentu, perlu
di-insulasikan dari hiruk-pikuk politik sehari-hari. Independensi bank sentral,
yang sekarang sudah umum diterima, adalah satu perwujudan dari pemecahan dilema
ini. Apakah pemecahan serupa dapat diterapkan di bidang lain seperti kebijakan
fiskal, industri dan perdagangan atau lingkungan hidup, sekarang masih
diperdebatkan para ahli.Yang
penting, posisi strategis
mengenai imbangan antara teknokrasi dan demokrasi harus
diambil oleh setiap bangsa pada setiap tahap perjalanannya. Di masa Orde Baru,
dengan plus dan minusnya, proses kebijakan ekonomi diproteksi dari proses
politik sehari-hari, paling tidak selama dua dasawarsa pertama. Sekarang,
format itu tidak cocok lagi. Format yang baru harus kita temukan dan posisi
strategis yang pas harus kita ambil. Ia tidak bisa dibiarkan hanya sebagai
hasil sampingan dari proses politik praktis. Taruhannya terlalu besar.
Sejarah menunjukkan bahwa keberhasilan proses transformasi menuju masyarakat yang
makmur, demokratis dan terbuka
ditentukan oleh keberadaan
kelompok pembaharu. Kelompok
inilah yang menjadi ujung tombak dan pengawal proses transformasi itu.
Tanpa kelompok pembaharu,
proses transformasi akan berisiko mandeg atau keluar dari jalur yang
kita inginkan. Pertumbuhan ekonomi
membantu tumbuhnya kelompok pembaharu, tapi ia harus memenuhi 2
syarat, yaitu: (1) pertumbuhan itu menyentuh dan dapat dinikmati oleh sebagian
besar rakyat (broad based) dan (2)
prosesnya lebih mengandalkan pada kegiatan berdasarkan hasil kerja, inisiatif
dan ingenuitas sumberdaya manusianya dan bukan semata dari hasil penjualan
kekayaan alam, bantuan luar negeri atau pada
rezeki nomplok lainnya.
Untuk mendukung berkembangnya kelompok pembaharu, pertumbuhan
ekonomi yang tinggi saja tidak cukup. Dua syarat tersebut harus juga
dipenuhi.Siapakah kelompok pembaharu itu dan apa peran mereka dalam proses
transformasi? Sejarah mencatat bahwa
kelompok ini bisa datang dari latarbelakang sosial yang berbeda. Di Inggris
pada tahap krusial transformasinya inti dari kelompok pembaharu adalah para
pengusaha –kaum bourgeoisie – atau kaum borjuis. Istilah kaum borjuis mempunyai konotasi buruk
di negeri ini karena dikaitkan dengan teori Marx yang memposisikannya sebagai
kelas yang menguasai alat-alat produksi masyarakat dan menggunakannya untuk
mengeksploitir buruh. Dalam konteks
teori sosial non-Marxist kelompok ini diposisikan lebih netral. Studi para ahli
sejarah ekonomi umumnya melihat bahwa di Inggris kelompok ini telah berperan
sebagai pembaharu sosial, pada awalnya dalam meruntuhkan struktur feodal yang
ada dan selanjutnya menjadi ujung tombak dan pengawal proses modernisasi dan
demokratisasi . Pola seperti itu kemudian diikuti oleh beberapa negara Eropa
lainnya. Di Amerika Serikat proses transformasi oleh kelompok ini berlangsung
lebih cepat karena dari awal tidak ada struktur feodal yang harus diruntuhkan.
Di negara-negara seperti Jerman dan Jepang kaum borjuis, paling tidak
pada tahap awalnya, bukan penggerak utama transformasi. Mereka tidak sekuat dan se-independen rekan-rekannya
di Inggris atau Amerika Serikat. Di
Jerman, justru kaum birokrat (yang terdiri dari para ex-aristokrat) yang
menjadi kelompok pembaharu. Jerman pada
abad 19 mempunyai sistem birokrasi paling modern di dunia dan, melalui
reformasi birokrasi, mereka menciptakan rule of law yang mantap dan sistem
jaminan sosial modern. Di Jepang
cikal-bakal dari kelompok pembaharu adalah kaum samurai yang mentransformasikan
diri menjadi motor penggerak modernisasi. Di Jerman dan terutama di Jepang
proses modernisasi tidak serta merta melahirkan demokrasi. Di kedua negara ini, demokrasi baru berakar
setelah Perang Dunia II. Dan prosesnya pun tidak sepenuhnya berasal dari
dinamika intern, tetapi sebagian karena tekanan dari negara-negara penakluknya,
khususnya Amerika Serikat, yang menginginkan demokrasi diterapkan di
negara-negara tersebut.Bagi negara berkembang barangkali akan terlalu lama
untuk menunggu terbentuknya kelompok pembaharu secara alamiah seperti di
negara-negara tersebut. Negara
berkembang seyogyanya tidak mengandalkan satu atau dua kelompok
sosial saja sebagai kelompok pembaharunya. Yang terbaik adalah mendorong
terbentuknya koalisi luas, yang terdiri dari para demokrat dari semua segmen sosial. Kelompok pembaharu ini dapat
meliputi unsur-unsur reformis dari kaum pengusaha, intelektual, profesional,
birokrat, pemuda, aktivis LSM dan
lain-lain. Mereka diikat oleh kesamaan platform, yaitu memperjuangkan
nilai-nilai demokrasi seperti hak asasi manusia, keterbukaan, kebebasan
berusaha, good governance, rule of law dan sebagainya. Di sementara negara berkembang, termasuk
Indonesia, kelompok semacam ini sudah mulai terbentuk dan berperan, meskipun
masih terbatas. Mereka adalah elemen strategis dalam proses modernisasi dan
demokratisasi.Jalur Yang
Penuh Risiko. Proses
modernisasi dan demokratisasi
adalah perjalanan yang panjang dan penuh risiko. Ada yang
mengibaratkan alur tranformasi
itu sebagai kurva-J
yang menggambarkan risiko kegagalan yang besar pada awal proses itu
tetapi kemudian berangsur menyurut pada tahap selanjutnya. Ada yang menggambarkannya sebagai proses
meniti jalur yang penuh pusaran-pusaran vicious circles dan, kalau beruntung,
virtuous circles. Ada pula yang
menggambarkannya sebagai perjalanan di jalan yang penuh persimpangan yang
menuntut keputusan yang benar. Proses
sejarah tidak mengenal belas kasihan. Hanya
bangsa yang mempunyai pandangan
ke depan, keyakinan, keuletan dan kecerdasan yang dapat menyelesaikan
perjalanannya. Yang lainnya tidak beranjak dari posisi awalnya, atau menjadi
negara gagal (failed states) atau bahkan hilang dari peta sejarah. Hukum Darwin juga berlaku bagi seleksi antara
bangsa.