Biaya politik yang tinggi, itulah kalimat yang pas untuk menggambarkan bagaimana besarnya investasi untuk dapat menduduki kursi DPRD Jeneponto. Pertanyaannya adalah apakah setiap anggota DPRD Jeneponto menganggap itu sebagai biaya untuk mengabdi sebagai wakil rakyat di Kabupaten Jeneponto? Atau itu dianggap sebagai investasi ekonomi di jalur politik?.
Jika 35 anggota DPRD Jeneponto menganggap itu sebagai biaya pengabdian, maka sungguh mulia hati mereka. Kepada Tuhan yang maha esa, akan teriring doa bagi mereka agar kiranya menempati Sorga yang kekal kelak di hari setelah kehidupan yang fana ini. Darimana kita mengetahui niat mereka? Dapatkah kita menggali isi hati mereka satu per satu. Wow..... itu pekerjaan yang tak mungkin. Untuk itu coba kita lihat seberapa besar niat mereka dengan mengamati perilaku para anggota DPRD dari kinerja yang merekantorehkan semenjak tahun 2009 lalu.
DPRD Jeneponto periode 2009-2014 didominasi oleh generasi muda yang enerjik. Hanya kurang lebih 10 orang ketika terpilih berumur di atas 40 tahun. Saat terpilih mereka diperhadapkan dengan kondisi APBD yang mengalami defisit berjalan sebesar kurang lebih 30 Milyar Rupiah. Defisit sebesar itu adalah peninggalan di tahun terakhir DPRD periode sebelumnya.
Kondisi keuangan daerah yang semakin memburuk ternyata terjadi pada DPRD periode 2009-2014. Alih-alih menghapus defisit. Dalam periode ini justru defisit APBD semakin membengkak, bahkan hingga angka yang fantastis yakni 72 Milyar Rupiah pada tahun 2011. Penyebabnya tak lain adalah dimasukannya kegiatan belanja modal yang baru saat pembahasan.
Pemerintah Daerah (baca eksekutif), selalu mencoba mengajukan RAPBD pada posisi Surplus. Ini untuk memberikan ruang bagi DPRD menambahkan kegiatan-kegiatan prioritas dalam APBD yang belum terjangkau dengan perencanaan daerah. Posisi Surplus dalam RAPBD setelah selesai pembahasan kemudian berubah menjadi defisit dengan jumlah yang sangat tinggi. Alasan klasik yang sering dikemukakan adalah untuk manampung aspirasi masyarakat. Betulkah itu?.
Jika ditilik secara detail,setiap anggota DPRD memasukan dana aspirasi minimal sebesar 500 juta Rupiah per orang atau secara total sebesar 17,5 Milyar Rupiah, jauh lebih tinggi dari PAD Kabupaten Jeneponto yang hanya 12 Milyar Rupiah. Lebih lanjut, dana aspirasi itu mayoritas dipecah ke dalam jumlah yang tidak ditenderkan atau hanya dengan metode penunjukan langsung. Siapa yang mengerjakan? Rata-rata mereka sendiri yang mengerjakan dengan bernaung pada perusahaan-perusahaan yang dipinjam (rental) dari orang lain.
Saat pembahasan di DPRD, kalimat paling sering mereka sebut : Eksekutif tugasnya mencari uang, program kegiatan kami yang menentukan. Sungguh menjijikan. Dari uraian tersebut, terindikasi kemungkinan DPRD Jeneponto menganggap biaya yang dikeluarkan untuk kampanye sebagai investasi ekonomi di jalur politik. Saat menduduki kursi DPRD yang empuk, saatnya untukmencapai Break Event Point. Gila.........., kepedulian terhadap pembangunan daerah jadi sirna. Setiap bulan mereka menerima gaji, jalan-jalan dibungkus penganggaran biaya peningkatan SDM dan juga diberikan tunjangan perumahan serta biaya-biaya lain.
Tulisan ini sekedar curahan hati seorang anak bangsa yang merasa frustasi melihat kondisi yang ada. Terjadi kongkalkong antara DPRD dengan SKPD agar biaya- biaya politik tertutupi melalui “Dana Aspirasi”.
Sadarlah wakil rakyatku……. Jeneponto butuh kalian untuk membangun.
No comments:
Post a Comment