A. PENDAHULUAN
Pada Oktober 2008 yang lalu, beberapa harian yang beredar di Kota Makassar mengangkat “Headline News” mengenai hasil penelitian dari sebuah lembaga riset nasional yakni “Lingkaran Survey Indonesia” (LSI) tentang prediksi hasil Pemilihan Walikota yang akan dilangsungkan seminggu kemudian. Hasil survey yang dilakukan secara mencolok menjagokan salah satu kontestan (calon Walikota) akan memenangi pemilihan walikota secara mencolok dengan persentase suara diatas 70%. Apabila hal itu terjadi maka kontestan tersebut memenangi pemilihan secara mutlak dan jauh mengungguli kontestan-kontestan lainnya.
Pemilihan Walikota Makassar diikuti oleh tujuh kontestan atau tujuh pasang calon Walikota dan Wakil Walikota. Selama enam bulan sebelum Pemilihan Walikota Makassar dilangsungkan, ketujuh kontestan tersebut sama-sama melakukan kampanye dan sosialisasi diri yang kurang lebih sama intensitasnya. Hampir semua pojok kota dihiasi dengan sarana pencitraandiri para kontestan seperti spanduk, baliho, stiker dll.
Walaupun LSI telah melaksanakan survey di banyak daerah, hasil yang diangkat di berbagai media masa mengundang ragu dari sejumlah kalangan. Berbagai pihakpun angkat bicara menyoroti objektivitas survey yang dilakukan LSI. Kubu lain menganggap LSI dalam melaksanakan survey tidak netral sehingga hasil yang mereka dapatkan hanya merupakan salah satu kampaye politik untuk mempengaruhi sikap para pemilih yang belum menentukan pilihannya.LSI digunakan sebagai alat politik oleh salah satu kontestan. Keakuratan hasil survey yang dilakukan LSI dalam Pemilihan Kepala Daerah di berbagai daerah pada waktu lalu, terlupakan oleh mereka ketika mereka melihat hasil yang diumumkan media cetak di Makassar.
Setelah Pemilihan Walikota selesai dilaksanakan dan dilakukan penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasil hitungan KPU tidak berbeda jauh dengan hasil yang diumumkan LSI seminggu sebelumnya. Berbagai pihak yang tadinya meragukan objektifitas penelitian yang dilakukan LSI menjadi diam tanpa komentar.
Mengapa kemudian LSI dicurigai tidak objektif? Hal tersebut karena LSI sendiri bekerja sebagai konsultan politik kontestan yang sedang unggul dalam jajak pendapat. Hal itu mengakibatkan independensi mereka sangat diragukan untuk memaparkan hasil penelitian yang benar. Kemudian, pengalaman mereka di daerah lain yang secara karakteristik budaya sangat berbeda apabila dipakai sebagai tolok ukur referensi pemilih di Makassar akan membawa kesalahan pengambilan sampel dengan akibat tentunya pada kesimpulan akhir hasil survey tersebut.
Demikianlah objektivitas penelitian selalu diperdebatkan. Pemilihan Walikota Makassar adalah salah satu dari berbagai kejadian yang sudah terjadi diberbagai penjuru dunia. Objektifitas penelitian selalu dipertanyakan. Hanya Tuhan dan si Peneliti yang tahu objektivitas penelitain, demikian banyak komentar yang sering didengar jika ada keraguan tentang hasil sebuah penelitian.
Penelitian sendiri merupakan sarana yang dipakai untuk mengembangkan pengetahuan atau memprediksi sebuah realita yang akan terjadi. Dalam penelitian-penelitian sosial terlalu banyak faktor yang harus diperhitungkan. Untuk itu, desain sebuah penelitian haruslah dibuat sebaik mungkin untuk menghasilkan kesimpulan yang bermanfaat untuk pengembangan ilmu maupun berfaedah bagi kemaslahatan manusia.
B. ILUSTRASI MONYET KE 100
Pada Oktober 2008 yang lalu, beberapa harian yang beredar di Kota Makassar mengangkat “Headline News” mengenai hasil penelitian dari sebuah lembaga riset nasional yakni “Lingkaran Survey Indonesia” (LSI) tentang prediksi hasil Pemilihan Walikota yang akan dilangsungkan seminggu kemudian. Hasil survey yang dilakukan secara mencolok menjagokan salah satu kontestan (calon Walikota) akan memenangi pemilihan walikota secara mencolok dengan persentase suara diatas 70%. Apabila hal itu terjadi maka kontestan tersebut memenangi pemilihan secara mutlak dan jauh mengungguli kontestan-kontestan lainnya.
Pemilihan Walikota Makassar diikuti oleh tujuh kontestan atau tujuh pasang calon Walikota dan Wakil Walikota. Selama enam bulan sebelum Pemilihan Walikota Makassar dilangsungkan, ketujuh kontestan tersebut sama-sama melakukan kampanye dan sosialisasi diri yang kurang lebih sama intensitasnya. Hampir semua pojok kota dihiasi dengan sarana pencitraandiri para kontestan seperti spanduk, baliho, stiker dll.
Walaupun LSI telah melaksanakan survey di banyak daerah, hasil yang diangkat di berbagai media masa mengundang ragu dari sejumlah kalangan. Berbagai pihakpun angkat bicara menyoroti objektivitas survey yang dilakukan LSI. Kubu lain menganggap LSI dalam melaksanakan survey tidak netral sehingga hasil yang mereka dapatkan hanya merupakan salah satu kampaye politik untuk mempengaruhi sikap para pemilih yang belum menentukan pilihannya.LSI digunakan sebagai alat politik oleh salah satu kontestan. Keakuratan hasil survey yang dilakukan LSI dalam Pemilihan Kepala Daerah di berbagai daerah pada waktu lalu, terlupakan oleh mereka ketika mereka melihat hasil yang diumumkan media cetak di Makassar.
Setelah Pemilihan Walikota selesai dilaksanakan dan dilakukan penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasil hitungan KPU tidak berbeda jauh dengan hasil yang diumumkan LSI seminggu sebelumnya. Berbagai pihak yang tadinya meragukan objektifitas penelitian yang dilakukan LSI menjadi diam tanpa komentar.
Mengapa kemudian LSI dicurigai tidak objektif? Hal tersebut karena LSI sendiri bekerja sebagai konsultan politik kontestan yang sedang unggul dalam jajak pendapat. Hal itu mengakibatkan independensi mereka sangat diragukan untuk memaparkan hasil penelitian yang benar. Kemudian, pengalaman mereka di daerah lain yang secara karakteristik budaya sangat berbeda apabila dipakai sebagai tolok ukur referensi pemilih di Makassar akan membawa kesalahan pengambilan sampel dengan akibat tentunya pada kesimpulan akhir hasil survey tersebut.
Demikianlah objektivitas penelitian selalu diperdebatkan. Pemilihan Walikota Makassar adalah salah satu dari berbagai kejadian yang sudah terjadi diberbagai penjuru dunia. Objektifitas penelitian selalu dipertanyakan. Hanya Tuhan dan si Peneliti yang tahu objektivitas penelitain, demikian banyak komentar yang sering didengar jika ada keraguan tentang hasil sebuah penelitian.
Penelitian sendiri merupakan sarana yang dipakai untuk mengembangkan pengetahuan atau memprediksi sebuah realita yang akan terjadi. Dalam penelitian-penelitian sosial terlalu banyak faktor yang harus diperhitungkan. Untuk itu, desain sebuah penelitian haruslah dibuat sebaik mungkin untuk menghasilkan kesimpulan yang bermanfaat untuk pengembangan ilmu maupun berfaedah bagi kemaslahatan manusia.
B. ILUSTRASI MONYET KE 100
Lazimnya sebuah penelitian, publikasi hasil akan mengundang banyak tanggapan. Tanggapan-tanggapan terhadap penelitian sering menjadi acuan untuk melakukan penelitan dengan maksud mendalami hasil yang didapat, atau menggunakan penelitian yang ada untuk selanjutnya ditafsirkan menjadi sebuah kesimpulan baru. Dalam kasus penelitian tentang THM, ternyata adapula yang menggunakannya tanpa mengacu pada publikasi asli para peneliti. Hal tersebut mengundang beberapa hasil yang sulit dipisahkan antara fakta dan pendapat yang simpang-siur. Beberapa kesimpulan ditafsirkan secara ilmiah, yaitu dapat dibuktikan kebenaran atau ketidak-benarannya, karena didasarkan pada data yang obyektif. Dan ada yang bersifat non-ilmiah, yaitu tidak dapat dibuktikan kebenaran atau ketidak-benarannya, karena telah memasuki wilayah “kepercayaan” yang subyektif.
Penelitian tentang THM dimulai dari sejumlah peneliti Jepang yang memantau perilaku sekelompok monyet di pulau Koshima. Apabila dalam penelitian-penelitan ilmu eksata dilakukan dalam laboratorium, maka para peneliti Jepang tersebut membuat suatu area terbuka yang memudahkan mereka memantau perilaku monyet-monyet sebagai objek penelitian. Area terbuka tersebut dikondisikan layaknya sebuah laboratorium penelitian dengan tujuan memudahkan mereka memantau perilaku monyet yang telah diarahkan turun dari hutan. Para peneliti menebarkan ubi jalar sepanjang area sampai ke pantai. Setelah itu semua monyet yang ada diberi nama untuk keperluan pemantauan perilaku. Hal ini dapat dilakukan karena setiap kelompok monyet yang hidup terpisah dari kelompok lainnya hanya terdiri atas 20 hingga 30 ekor. Penebaran ubi jalar di pantai Koshima dimulai pada tahun 1952.
Dari pemantauan terhadap perilaku sejumlah monyet, tercatat ada seekor monyet betina yang masih berada di sekitar ibu mereka (usianya + 18 bulan) mencuci ubi jalarnya di sungai sehingga menjadi bersih dan terasa lebih lezat kalau dimakan. Monyet tersebut (dalam bahasa Jepang monyet disebut ”Imo”) kemudian menularkan pola makan ubi dengan dicuci terlebih dulu kepada induknya, saudara-saudaranya serta ke monyet sepermainannya.
Pemantauan terhadap perilaku monyet telah terlebih dahulu didapat bahwa monyet muda selalu berkumpul hanya dengan monyet muda lainnya dan tidak dengan monyet dewasa lainnya kecuali induk dan saudara-saudara lainnya. Proses interaksi sesama monyet kemudian menghantarkan monyet-monyet muda menularkan pula pola makan cuci terlebih dahulu kepada induknya masing-masing. Sehingga pola tersebut kemudian menyebar ke seluruh monyet yang ada.
Penemuan tersebut kemudian dihadapkan lagi pada kenyataan bahwa ternyata populasi monyet lain, yang berada di pulau-pulau yang terpisah dari Koshima, juga berubah prilakunya, menjadi sama dengan prilaku populasi monyet di Koshima. Fakta tersebut kemudian melahirkan berbagai pendapat yang berbeda-beda dan bahkan tidak ilmiah yang diantaranya oleh peneliti Watson dan Keyes, yang melahirkan istilah “ The Hundreth Monkey”. Istilah itu tidak diperkenalkan oleh para peneliti Jepang. melainkan dipublikasikan oleh orang-orang yang tidak terlibat dalam penelitian di pulau Koshima. Adanya perilaku yang sama pada monyet-monyet disekitar pulau khosima menurut Keyes karena ada kekuatan supra natural yang menghubungkan monyet di pulau koshima dengan pulau-pulau disekitarnya.
“The Hundreth Monkey” adalah produk dari tafsiran-tafsiran dari penelitian di pulau Koshima oleh orang-orang yang justru tidak terlibat saat itu. Mereka hanya menggunakan informasi-informasi tertulis dan menulis kembali dengan daya nalar yang ada (pada mereka) untuk kemudian mengklaim sebagai suatu penemuan baru.
Ilustrasi di atas adalah gambaran bagaimana suatu hasil penelitian dapat membuka peluang menjadi sangat subjektif apabila tidak sekedar diambil dan ditafsirkan oleh orang lain yang tidak tekun mengamati fenomena namun berani mengambil kesimpulan terhadap fenomena sosial yang ada. Data dan realita yang tertulis di atas kertas, tidak dapat serta merta menjadi acuan untuk menyimpulkan sesuatu. Objektifitas penelitian akan dipertanyakan apabila peneliti tidak memasuki ruang penelitian secara totalitas.
C. ANOMALI PARA ILMUWAN DARI THOMAS S. KUHN
Kesimpangsiuran pendapat seperti dalam penemuan “The Hundreth Monkey” oleh Watson dan Keyes sesungguhnya oleh Thomas Samuel Kuhn disebut sebagai anomali. Kuhn menyebut kegiatan ilmiah dalam masa sains normal, dimana para ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkannya secara terperinci dan mendalam, karena tidak sibuk dengan hal-hal yang mendasar. Dalam tahap ini menurut kuhn, ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktifitas ilmiahnya, dan selama menjalankan riset ini, ilmuwan bisa menjumpai berbagai fenomnea yang tidak bisa diterangkan dengan teorinya. Itulah yang kemudian Kuhn namakan anomali.
Jika anomali-anomali semakin menumpuk, maka sebenarnya para ilmuwan telah keluar dari sains normal. Untuk itu, kuhn menawarkan cara mengatasi hal tersebut dengan cara kembali agi ke cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan suatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Itulah yang Kuhn sebut sebagai Revolusi Ilmiah. Revolusi ilmiah akan mengganti semua atau sebagian paradigma lama ke paradigma baru yang bertentangan.
Kuhn lebih lanjut mengatakan data anomali-lah yang berperan besar memunculkan sebuah penemuan baru yang diawali dengan kegiatan ilmiah. Betulkah ada kekuatan supra natural yang mengubungkan monyet-monyet di pulau Koshima dengan pulau-pulau lain? Pertanyaan tersebut adalah sebuah anomali. Ketika Orang hanya terpaku dengan perilaku Imo di pulau Koshima dan pada kenyataannya ada hal yang sama terjadi di pulau sekitarnya yang tidak dapat dijelaskan dengan teori, maka Keyes dan Watson menyimpulkannya sendiri tanpa melakukan kegiatan ilmiah. Hal tersebut menyebabkan anomali dan cenderung tidak ilmiah.Mereka tidak melakukan kegiatan ilmiah yang mengakibatkan kesimpangsiuran pendapat. Kuhn sendiri menjelaskan bahwa kegiatan ilmiah dapat berupa dua macam kegiatan yaitu puzzle solving dan penemuan paradigma baru.
Puzzle solving ditandai dengan para ilmuwan membuat percobaan dan mengadakan observasi yang tujuannya untuk memecahkan teka-teki, bukan mencari kebenaran. Apabila dengan puzzle solving tidak dapat memecahkan persoalan penting, maka dilakukan kegiatan ilmiah berikutnya yaitu penemuan paradigma baru. Penemuan paradigma baru diawali dengan kesadaran akan anomali, yakni dengan pengakuan bahwa alam, dengan suatu cara, telah melanggara pengharapan yang didorong oleh paradigma yang menguasai paradigma normal. Dalam penemuan paradigma baru harus ada penyesuaian antara fakta dengan teori yang baru.
D. PENUTUP
Objektivitas penelitian adalah hal mendasar dari sebuah pengembangan teori. Karakteristik dari penelitian adalah saling pengaruh-memengaruhi antara peneliti dengan subjek penelitian, walaupun secara teori dapat dikatakan penelitian harus diusahakan senon reaktif mungkin. Seiring lamanya waktu di lapangan, objektivitas peneliti dapat saja meluntur disertai hilangnya sikap keasingan. Peneliti menjadi kehilangan jati dirinya sebagai peneliti dan berubah menjadi “orang dalam”. Lebih jauh seperti yang dialami oleh Keyes dan Watson, mereka teradopsi oleh nilai-nilai lokal secara berlebihan oleh peneliti sehingga menjadi pribadi yang sama sekali berbeda, termasuk di antaranya hal-hal yang tidak logis. Bila hal ini terjadi tentu kurang menguntungkan. Untuk mengatasinya, Kuhn menawarkan untuk kembali ke kegiatan-kegiatan ilmiah. Dengan kegiatan ilmiah, objektivitas peneliti dapat dengan cepat dikoreksi atau dipulihkan bila terjadi ketidakakuratan.
No comments:
Post a Comment