Dalam kurun waktu sampai dengan 10.000 tahun sebelum Masehi manusia hidup dari berburu. Manusia hidup nomaden dari suatu tempat ke daerah yang lain. Pada fase itu belum terdengar kemiskinan, dapat dikatakan semua manusia miskin, dapat pula semua tidak miskin. Selanjutnya manusia mulai hidup dari pertanian mencangkul atau disebut hackbow, sampai pertanian mengenal gandum (phase van de graan- hackbow) dan kemudian meninggalkan hidup nomaden dengan menetap dalam satu daerah tertentu. Sampai dengan fase ini, belum diketahui berapa persen penduduk miskin, tetapi mulai ada ketimpangan pendapatan karena manusia sudah melakukan stock, terutama stock makanan.
Kemiskinan & ketimpangan mulai dikenal seabad sebelum masehi, tetapi berapa persen miskin dan apa indikator ketimpangan belum diketahui. Pada masa itu dikenal kata-kata yang menunjukkan miskin antara lain:
- Anaw, artinya orang-orang yang miskin rohani dan tertindas kehidupannya.
- Ebyon, artinya orang-orang pengemis yang sangat miskin.
- Dal, adalah orang-orang yang lemah materi dan jasmani.
Di abad I sesudah Masehi dikenal kelompok manusia: Honestiores, artinya orang-orang yang masuk dalam kaum bangsawan dan Humiliores yaitu orang-orang kaum rendahan yang miskin, yang terdiri dari kaum miskin berutang dan golongan budak. Pada fase ini kemiskinan sudah mulai dipersoalkan tetapi belum pada tataran teoritik.
1. Makanan sebagai dasar Pengukuran
Wacana modern tentang kemiskinan telah diawali ketika Thomas Robert Malthus menulis essay: “Principle of Population” pada tahun 1798. Pokok tesis Malthus adalah pemikiran bahwa pertumbuhan penduduk cenderung melampui pertumbuhan persediaan makanan. Dalam essai yang orisinal, Malthus menyuguhkan idenya dalam bentuk yang cukup kaku. Dia mengatakan, penduduk cenderung tumbuh secara "deret ukur" (misalnya, dalam lambang 1, 2, 4, 8, 16 dan seterusnya) sedangkan persediaan makanan cenderung bertumbuh secara "deret hitung" (misalnya, dalam deret 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan seterusnya). Dalam terbitan-terbitan belakangan, Malthus menekankan lagi tesisnya, tetapi tidak sekaku semula, penduduk cenderung bertumbuh secara tak terbatas hingga mencapai batas persediaan makanan. Dari kedua bentuk uraian tesis itu, Malthus berkesimpulan bahwa kuantitas manusia akan kejeblos ke dalam rawa-rawa kemiskinan dan berada ditubir kelaparan. Dalam jangka panjang, tak ada kemajuan teknologi yang dapat mengalihkan keadaan itu, karena kenaikan suplai makanan terbatas, sedangkan "pertumbuhan penduduk tak terbatas, dan bumi tak mampu memprodusir makanan buat menjaga eksistensi manusia."( 100 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Michael H. Hart).
Pendapat Malthus menunjukan semenjak 2 abad yang lalu kemiskinan diukur dari mampu tidaknya seseorang memenuhi kebutuhan terhadap makanan. Pandangan seperti itu terus berkembang hingga saat ini yang diperkuat oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dengan menyatakan bahwa kemiskinan didasarkan pada jumlah rupiah konsumsi berupa makanan yaitu kurang dari 2100 per orang per hari (dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola kunsumsi penduduk yang berada di lapisan bawah), dan konsumsi non makanan (dari 45 jenis konsumsi makanan sesuai kesepakatan nasional dan tidak dibedakan antara antara wilayah pedesaan dan perkotaan). Patokan kecukupan 2100 kalori ini berlaku untuk susunan umur, jenis kelamin dan perkiraan tingkat kegiatan fisik, berat badan, serta perkiraan status fisiologis penduduk. Pengukuran kemiskinan BPS tersebut sebenarnya adalah pengembangan dari Sajogyo pada tahun 1964 yang mengukur kemiskinan berdasarkan konsumsi setara beras per tahun. Menurut Sajogyo terdapat tiga ukuran garis kemiskinan yaitu miskin, sangat miskin dan melarat yang diukur berdasarkan konsumsi per kapita per tahun setara beras sebanyak 480 kg, 360 kg dan 270 kg untuk daerah perkotaan dan 320 kg, 240 kg dan 180 kg untuk daerah pedesaan (Arndt, Pembangunan dan Pemerataan, hal 58, 1987). Pandangan Sajogyo kemudian diperkuat oleh Mubyarto, (1990: 159) dengan mengatakan bahwa golongan miskin adalah golongan yang rawan pangan yang berpengaruh negatif terhadap produktifitas kerja dan angka kematian balita.
Pekerja yang kekurangan gizi amat tidak mungkin untuk menjadi seorang pekerja yang efisien. Dalam kasus yang ekstrim, pekerja yang memperoleh gizi dibawah dari kebutuhan energi akan membuat tenaga kerja tersebut tidak produktif. Namun demikian, sedikit kekurangan gizi tetap saja dapat menjadi hambatan bagi produktivitas. Kekurangan gizi pada anak mengurangi kapasitas jangka panjang mereka untuk belajar dan kemudian juga akan mengurangi kemampuan mereka untuk menghasilkan pendapatan dimasa yang akan datang. Jaring pengaman sosial yang mencegah pekerja dan keluarga mereka dari bahaya kekurangan gizi dilihat dari standar gizi yang seharusnya diperoleh, serta memiliki kontribusi pada pencapaian output potensial yang lebih besar. ( Catatan penting JPS, Program Transfer Tepat Sasaran di Negara Miskin Mengkaji Ulang Baik-Buruknya dan Berbagai Pilihan Kebijakan)
Memaknai kemiskinan dengan menjadikan konsumsi makanan sebagai indikator tunggal mendapat banyak kritik dari berbagai kalangan. Kritik utamanya menganggap dengan pengukuran menggunakan makanan sebagai patokan merupakan suatu bentuk “dehumanisasi”. Pengkerdilan hakikat miskin itu sendiri. Hal tersebut memotivasi para ilmuwan untuk mengembangkan pendekatan lain yang lebih realisitik untuk menggambarkan kemiskinan.
2. Bercermin pada Pendapatan
Di pertengahan abad ke-20, kriteria miskin ditentukan berdasarkan pada tingkat pendapatan per kapita. Sebagai contoh, jika besarnya pendapatan perkapita 10 dolar, maka seseorang bisa dikatakan miskin jika mempunyai pendapatan per kapita kurang dari 10 dolar. Metode ini dikenal dengan pendekatan GNP.World Bank (2004) mendefinisikan masyarakat miskin sebagai mereka yang hidup dalam keluarga yang kemampuan konsumsinya dibawah garis tertentu, seperti dibawah $1 atau $2 per hari atau dibawah level yang ditetapkan negara masing-masing. World Bank membuat garis kemiskinan absolut US$ 1 dan US$ 2 PPP (purchasing power parity/paritas daya beli) per hari (bukan nilai tukar US$ resmi) dengan tujuan untuk membandingkan angka kemiskinan antar negara/wilayah dan perkembangannya menurut waktu untuk menilai kemajuan yang dicapai dalam memerangi kemiskinan di tingkat global /internasional. Angka konversi PPP adalah banyaknya rupiah yang dikeluarkan untuk membeli sejumlah kebutuhan barang dan jasa dimana jumlah yang sama tersebut dapat dibeli sebesar US$ 1 di Amerika Serikat. Angka konversi ini dihitung berdasarkan harga dan kuantitas di masing-masing negara yang dikumpulkan dalam suatu survei yang biasanya dilakukan setiap lima tahun.
Chen dan Ravallion (2001) membuat suatu penyesuaian angka kemiskinan dunia dengan menggunakan garis kemiskinan US$ 1 perhari. Berdasarkan penghitungan yang dilakukan, pada tahun 1993 garis kemiskinan US$ 1 PPP per hari adalah ekuivalen dengan Rp. 20.811,- per bulan. Garis kemiskinan PPP disesuaikan antar waktu dengan angka inflasi relatif, yaitu menggunakan angka indeks harga konsumen. Pada tahun 2006, garis kemiskinan US$ 1 PPP ekuivalen dengan RP.97.218,- per orang per bulan dan garis kemiskinan US$ 2 PPP ekuivalen dengan RP.194.439,- per orang per bulan.
Meskipun GNP dapat dijadikan untuk menelaah performa pembangunan suatu negara, banyak ahli menunjukkan kelemahan pendekatan ini. Haq (1995), misalnya, menyatakan bahwa GNP merefleksikan harga-harga pasar dalam bentuk nilai uang. Harga-harga tersebut mampu mencatat kekuatan ekonomi dan daya beli dalam sistem tersebut. Namun demikian, harga-harga dan nilai uang tidak dapat mencatat distribusi, karakter atau kualitas pertumbuhan ekonomi. GNP juga mengesampingkan segala aktivitas yang tidak dapat dinilai dengan uang, seperti pekerjaan rumah tangga, pertanian subsisten, atau pelayanan-pelayanan yang tidak dibayar. Dan yang lebih serius lagi, GNP memiliki dimensi-tunggal dan karenanya ia gagal menangkap aspek budaya, sosial, politik dan pilihan-pilihan yang dilakukan manusia. Haq 1995:46) menyatakan:
GNP reflects market prices in monetary terms. Those prices quietly register the prevailing economic and purchasing power in the system- but they are silent about the distribution, character or quality of economic growth. GNP also leaves out allactivities that are not monetised household work, subsistence agriculture, unpaid service. And what is more serious, GNP is one-dimensional: it fails to capture the cultural, social, political and many other choices that people make.
Seperti halnya GNP, pendekatan income poverty juga memiliki beberapa kekurangan. Menurut Satterthwaite (1997) sedikitnya ada tiga kelemahan pendekatan income poverty:
1. Kekurangan memberi perhatian pada dimensi sosial dan bentuk-bentuk kesengsaraan orang miskin.
2. Tidak mempertimbangkan keterlibatan orang miskin dalam menghadapi kemiskinannya.
3. Tidak menerangkan faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan.
Karena pendekatan GNP dan income poverty memiliki kelemahan dalam memotretkemiskinan, sejak tahun 1970-an telah dikembangkan berbagai pendekatan alternatif. Di antaranya adalah kombinasi garis kemiskinan dan distribusi pendapatan yang dikembangkan Sen (1973); Social Accounting Matrix (SAM) oleh Pyatt dan Round (1997), dan Physical Quality of Life Index (PQLI) oleh Morris (1997). Di bawah kepemimpinan ekonom asal Pakistan, mahbub Ul Haq, pada tahun 1990an UNDP memperkenalkan pendekatan Human Development yang diformulasikan dalam bentuk Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) dan indeks Kemiskinan Manusia (Human Poverty Index). Pendekatan ini relatif lebih komprehensif dan mencakup faktor ekonomi, sosial dan budaya si miskin. Berporos pada ide-ide heterodox dari paradigma popular development, pendekatan ini memadu model kebutuhan dasar (basic needs model) yang digagas Paul Streeten dan konsep kapabilitas (capability) yang dikembangkan Pemenang Nobel Ekonomi 1998, Amartya Sen.
3. Standard Kebutuhan Minimum
Dalam beberapa kasus, kategorisasi dengan bercermin pada pendapatan tidak berlaku umum, terutama jika dikaitkan dengan adanya variasi tingkat harga untuk masing-masing wilayah. Harga kebutuhan dasar disuatu daerah akan berbeda di bandingkan dikota-kota lainnya. Akibatnya, untuk jumlah uang yang sama masing-masing orang di kedua daerah akan mendapatkan kuantitas yang berbeda. Hal lain yang juga membuat kriteria kemiskinan berdasarkan pendapatan tidak bisa dijadikan patokan umum adalah adanya variasi pada jenis kebutuhan. Sebagai contoh, makanan pokok orang Maluku adalah sagu, yang tentunya berbeda dengan kebanyakan penduduk yang lain yang umumnya mengkonsumsi beras.Adanya beberapa faktor yang telah disebutkan di atas, menyebabkan kriteria kemiskinan berdasarkan pendapatan per kapita dirasakan kurang begitu tepat. Todaro, (1984, Ekonomi bagi Negara sedang Berkembang buku I, hal 308) turut mendukung ketidaksetujuan dengan berpendapat bahwa "Pendapatan perkapita yang tinggi bukan merupakan jaminan tiadanya sejumlah kemiskinan absolut". Kemudian muncul pendekatan baru dalam menentukan miskin atau tidaknya seseorang, yaitu pendekatan kebutuhan hidup minimum. Dalam pendekatan ini dicari sebuah nilai nomimal tertentu yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup minimumnya. Jika pendapatannya lebih kecil daripada nilai nominal tersebut, maka ia dikatakan berada dalam kondisi miskin. Dalam pendekatan ini miskin bisa diartikan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup minimumnya. Dalam beberapa hal, kriteria tersebut memang bisa dijadikan acuan, terutama apabila masyarakatnya homogen, di mana kebutuhan minimum terutama pemenuhan akan makanannya besarnya sama. Selain standar di atas, masih terdapat standar lain yang umumnya dijadikan ukuran untuk menentukan seberapa miskin seseorang, sebagai contoh di beberapa negara, umumnya digunakan ukuran kalori yang dibutuhkan seseorang untuk dapat bekerja. Seorang buruh pabrik dan petani penggarap sawah, bisa membutuhkan 4000 kalori dalam sehari, jauh lebih besar di bandingkan seorang manajer yang hanya 2000 kalori per hari. Hal tersebut membuat penghasilan minimum yang dibutuhkan oleh seorang penggarap sawah atau buruh kasar akan lebih besar dibandingkan dengan seorang manajer. Namun ternyata ukuran inipun, terkadang cukup menyulitkan apalagi jika dikaitkan dengan jenis makanan lokal yang bervariasi, baik dalam jumlah kalori dan juga tingkat harga dari masing-masing jenis makanan tersebut.
Di Indonesia, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) lebih melihat dari sisi kesejahteraan dibandingkan dari sisi kemiskinan. Untuk menghitung tingkat kesejahteraan, BKKBN melakukan program yang disebut sebagai Pendataan Keluarga. Pendataan keluarga dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data dasar kependudukan dan keluarga dalam rangka program pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Terdapat empat kelompok data yang dihasilkan oleh Pendataan Keluarga, yaitu:
• Data demografi, misalnya jumlah jiwa dalam keluarga menurut jenis kelamin, dll.
• Data keluarga berencana, misalnya Pasangan Usia Subur (PUS), peserta KB, dll.
• Data tahapan keluarga sejahtera, yaitu jumlah keluarga yang masuk dalam kategori keluarga pra-sejahtera, sejahtera I, II dan III.
• Data individu, seperti nomor indentitas keluarga, nama, alamat, dll.
Data kemiskinan dilakukan lewat pentahapan keluarga sejahtera yang dibagi menjadi lima tahap, yaitu:
• Keluarga Pra Sejahtera (sangat miskin)
• Keluarga Sejahtera I (miskin)
• Keluarga Sejahtera II
• Keluarga Sejahtera III
• Keluarga Sejahtera III plus
Dari data tersebut kemudian didapatkan jumlah keluarga miskin dari mulai tingkat RT, Dusun, Desa, Kecamatan, Kabupaten, Propinsi sampai dengan tingkat Nasional. Pra Sejahtera (sangat miskin) diartikan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan. Sejahtera tahap I (miskin) diartikan sebagai keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan dasarnya tetapi belum mampu
memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya. Yang dimaksud kebutuhan sosial psikologis adalah kebutuhan akan pendidikan, keluarga berencana, interaksi dalam keluarga, interaksi dalam lingkungan tempat tinggal dan transportasi. Indikator yang digunakan BKKBN dalam pentahapan keluarga sejahtera: (1) Keluarga Pra Sejahtera (Sangat Miskin) yang ditandai oleh belum dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi:
a. Indikator Ekonomi yang ditunjukan dengan makan dua kali atau lebih sehari, memiliki pakaian yang berbeda untuk aktivitas (misalnya di rumah, bekerja/ sekolah dan bepergian) serta bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah.
b. Indikator Non-Ekonomi yang ditunjukan dengan melaksanakan ibadah, bila anak sakit dibawa ke sarana kesehatan.
(2) Keluarga Sejahtera I (Miskin) adalah keluarga yang karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator meliputi:
a. Indikator Ekonomi yang ditunjukan dengan paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging atau ikan atau telor, setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru, Luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk tiap penghuni
b. Indikator Non-Ekonomi yang ditunjukan dengan ibadah teratur, sehat tiga bulan terakhir, Punya penghasilan tetap, usia 10-60 tahun dapat baca tulis huruf latin, usia 6-15 tahun bersekolah, anak lebih dari 2 orang, ber-KB
(3) Keluarga Sejahtera II adalah keluarga yang karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator meliputi:
• Memiliki tabungan keluarga
• Makan bersama sambil berkomunikasi
• Mengikuti kegiatan masyarakat
• Rekreasi bersama (6 bulan sekali)
• Meningkatkan pengetahuan agama
• Memperoleh berita dari surat kabar, radio, TV, dan majalah
• Menggunakan sarana transportasi
(4) Keluarga Sejahtera III didefinisikan bagi keluarga yang sudah dapat memenuhi beberapa indikator,meliputi:
• Memiliki tabungan keluarga
• Makan bersama sambil berkomunikasi
• Mengikuti kegiatan masyarakat
• Rekreasi bersama (6 bulan sekali)
• Meningkatkan pengetahuan agama
• Memperoleh berita dari surat kabar, radio, TV, dan majalah
• Menggunakan sarana transportasi
Belum dapat memenuhi beberapa indikator, meliputi:
• Aktif memberikan sumbangan material secara teratur
• Aktif sebagai pengurus organisasi kemasyarakatan.
(5) Keluarga Sejahtera III Plus yang didefinisikan sebagai keluarga yang sudah dapat memenuhi beberapa indikator meliputi:
• Aktif memberikan sumbangan material secara teratur
• Aktif sebagai pengurus organisasi kemasyarakatan.
4. Gejala Multidimensi
Konsep kemiskinan masih didominasi oleh perspektif tunggal, yakni “kemiskinan pendapatan”atau”income-poverty” (Chambers, 1997). Pendekatan ini banyak dikritik oleh para pakar ilmu sosial sebagai pendekatan yang kurang bisa menggambarkan potret kemiskinan secara lengkap. Kemiskinan seakan-akan hanyalah masalah ekonomi yang ditunjukkan oleh rendahnya pendapatan seseorang atau keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.Definisi tentang kemiskinan telah mengalami perluasan, seiring dengan semakin kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain yang melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi melainkan telah meluas hingga ke dimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan politik.
Ellis ( 1984: 242-245 ) menyatakan bahwa dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik dan social-psikologis. Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumberdaya dalam konteks ini menyangkut tidak hanya aspek financial, melainkan pula semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Dari aspek politik, Amartya Sen, seperti dikutip dari Bloom dan Canning (2001, The Health and Poverty of Nations: From Theory to Practice, School of Public Health, Harvard University, Boston and Dept. of Economics, Queens University, Belfast) mengatakan bahwa seseorang dikatakan miskin bila mengalami "capability deprivation" dimana seseorang tersebut mengalami kekurangan kebebasan yang substantif. Menurut Bloom dan Canning, kebebasan substantif ini memiliki dua sisi: kesempatan dan rasa aman. Kesempatan membutuhkan pendidikan dan keamanan membutuhkan kesehatan. Secara politik, kemiskinan dapat dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan (power). Kekuasaan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumberdaya. Ada tiga pertanyaan mendasar yang berkaitan dengan akses terhadap kekuasaan ini, yaitu (a) bagaimana orang dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam masyarakat, (b) bagaimana orang dapat turut ambil bagian dalam pembuatan keputusan penggunaan sumberdaya yang tersedia, dan (c) bagaimana kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Dalam konteks politik ini Friedman mendefenisikan kemiskinan dalam kaitannya dengan ketidaksamaan kesempatan dalam mengakumulasikan basis kekuasaan social yang meliputi: (a) modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan), (b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit), (c) organisasi social dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi social), (d) jaringan social untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa, (e) pengetahuan dan keterampilan, dan (f) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup (Friedman dalam Suharto et.al., 2004).
Dalam dimensi social-psikologis, "kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut."( Soerjono Soekanto 1982, Sosiologi: suatu Pengantar, Rajawali Press). Kemiskinan secara social-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur social yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Dimensi kemiskinan ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya factor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Faktor-faktor penghambat tersebut secara umum meliputi factor internal dan eksternal . Faktor internal datang dari dalam diri si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya. Teori “kemiskinan budaya” (cultural poverty) yang dikemukakan Oscar Lewis, misalnya, menyatakan bahwa kemiskinan dapat muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Faktor eksternal datang dari luar kemampuan orang yang bersangkutan, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya. Kemiskinan model ini seringkali diistilahkan dengan kemiskinan struktural. Menurut pandangan ini, kemiskinan terjadi bukan dikarenakan”ketidakmauan” si miskin untuk bekerja ( malas ), melainkan karena “ ketidakmampuan” system dan struktur social dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan simiskin dapat bekerja.
Kemiskinan merupakan konsep dan fenomena bermatra multidimensional. SMERU, menunjukkan bahwa kemiskinan memiliki beberapa ciri (Suharto et.al., 2004:7-8):
1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar ( pangan, sandang dan papan ).
2. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya ( kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi ).
3. Ketiadaan jaminan masa depan ( karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga )
4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun missal.
5. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan kertebatasan sumber alam.
6. Ketidakterlibatan dalam kegiatan social masyarakat.
7. Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.
8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan social ( anak telantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil ).
Dengan menggunakan perspektif yang lebih luas lagi, David Cox ( 2004:1-6 ) membagi kemiskinan kedalam beberapa dimensi :
1. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang dan yang kalah. Pemenang umumnya adalah negara-negara maju. Sedangkan negara-negara berkembang seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi.
2. Kemiskinan berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten ( kemiskinan akibat rendahnya pembangunan ), kemiskinan pedesaan ( kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan ( kemiskinan yang sebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan ).
3. Kemiskinan social. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas.
4. Kemiskinan konsekuensial. Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain dan faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk.
5. Konteks Global
Memaknai kemiskinan memberikan kepekaan untuk mencari metode yang paling mujarab dalam usaha untuk pengetasan kemiskinan. Era globalisasi yang bercirikan semakin menipisnya sekat ruang dan waktu antar wilayah, perlu dilihat sebagai penciptaan standarisasi global terhadap semua permasalahan manusia. Untuk itulah maka memaknai kemiskinan haruslah dalam pendangan yang universal. Pertanyaan yang mengemuka, apakah memaknai harus dalam ukuran kuantitatif ?Pendekatan yang kualitatif dalam hal apapun selalu membangkitkan perdebatan-perdebatan dan perbedaan retorika. Pendekatan kuantitatif walaupun juga memiliki kekuarangan, namun lebih berpeluang untuk diuniversalkan. Simplikasi definisi dalam angka-angka jauh lebih mudah untuk diartikan secara universal. Untuk itu, memaknai kemiskinan adalah lebih unggul dalam pendekatan kuantitatif dibanding kualitatif. Biarlah pendekatan kualitatif diletakan untuk menjelaskan angka-angka kuantitatif dalam konteks global. Argumentasi tersebut berarti, lepas dari segala kekurangannya, “Revenue Poverty” lebih baik digunakan dalam memaknai kemiskinan dalam konteks global.
No comments:
Post a Comment