Pendahuluan
Apakah
Upah dapat memgakibatkan pertumbuhan ekonomi? Pertanyaan tersebut membuka
tulisan ini sebagai bagian dari pencarian ilmiah terhadap berbagai isu ekonomi
yang sedang dihadapi utamanya dalam wilayah makro ekonomi..
Secara
makro economi GNP/GDP dapat dihitung dengan beberapa methode dan indikator.
Dalam kaitannya dengan produktifitas maka dengan GDP dapat dihitung pula berapa
Total Factor Productifity (TFP) dari sebuah negara. TFP menggambarkan sejauh
mana Capital dan Labour dapat bersinergi sehingga menghasilkan output yang
lebih besar.
Walaupun
sebagian ahli ekonomimakro setuju bahwa kebijakan moneter dapat mempengaruhi
pengangguran dan output, paling tidak dalam jangka pendek cabang baru dari
klasik menentang pendekatan standar. Pendekatan ini hamper
sama dengan pendekatan
klasik dalam menekankan harga dan upah fleksibel, tetapi
memasukan cirri baru yang disebut harapan rasional untuk menjelaskan pengamatan
seperti Philip curve.
Makroekonomi klasik baru
menyatakan bahwa:
- Harga dan upah fleksibel
- Orang menggunakan semua informasi yang tersedia dalam membuat keputusan
Bagian
pertama dari pendekatan klasik baru diambil dari asumsi klasik dari harga dan
upah fleksibel. Artinya adalah harga dan upah menyesuaikan diri dengan cepat
untuk mengimbangi penawaran dan permintaan.
Asumsi
baru dan yang kedua diambil dari perkembangan moderen dalam area seperti
statistik dan perilaku dalam ketidak pastian. Hipotesis ini menyatakan bahwa
orang membentuk harapan mereka berdasarkan informasi yang tersedia. Dibawah
asumsi ini pemerintah tidak dapat menipu rakyat, karena rakyat cukup informasi
dan mempunya akses pada informasi yang sama dengan pemerintah.
Cara
yang baik dalam menyajikan proses inflasi dikembangkan oleh ahli ekonomi A.W.
Philips, yang mengukur penentuan inflasi upah. Setelah melakukan studi terhadap
data pada pengangguran dan upah di Inggris, Philips menentukan hubungan
kebalikan antara pengangguran dan perubahan upah uang. Ia menemukan bahwa upah
akan cenderung naik ketika pengangguran rendah dan juga sebaliknya.
Pengangguran yang tinggi mengurangi pertumbuhan pada upah uang karena pekerja
tidak menekan kenaikan upah saat pilihan akan pekerjaan hanya sedikit, dan lagi
perusahaan akan mempertahankan permintaan upah saat keuntungan rendah.
Kurva
Philips berguna untuk menganalisa gerakan jangka pendek pengangguran dan
inflasi. Gambaran sederhana ditunjukan pada gambar berikut ini. Pada gambar 1
dubawah ini, sumbu horisontal adalah tingkat pengangguran, sumbu vertikal
sebelah kiri adalah tingkat inflasi harga tahunan, dan sumbu vertikal sebelah
kanan adalah menunjukan inflasi upah uang. Apabila kita bergerak ke kiri pada
kurva Philips dengan mengurangi pengangguran, tingkat harga dan upah meningkat
sebagai indikasi kurva bertambah tinggi.
Gambar 1. Kurva Philips
Jangka Pendek Menggambarkan Pertukaran antara inflasi dan pengangguran
Bagian
penting dari aritmatika inflasi terdapat pada kurva ini. Anggap saja
produktivitas tenaga kerja (output per pekerja) naik pada tingkatan tetap 1%
tiap tahun. Selanjutnya asumsikan bahwa perusahaan mengatur harga sebagai basis
biaya pekerja rata-rata, jadi harga selalu berubah hanya sebesar biaya tenaga
kerja rata-rata perunit output. Jika upah naik 4%, dan produktivitas naik 1%,
kemudian biaya kerja rata-rata akan naik 3%. Akibatnya harga juga akan naik 3%.
Dengan
menggunakan aritmatika inflasi ini, kita dapat melihat hubungan antara
peningkatan upah dan harga pada gambar 1. Dua skala ini hanya dibedakan oleh
asumsi tingkat pertumbuhan produktivitas (jadi harga yang berubah 4% pertahun
akan berhubungan dengan perubahan upah 5% per tahun jika produktivitas tumbuh
1% pertahun dan jika harga selalu naik secapat biaya rata-rata tenaga kerja)
Hubungan
antara harga, upah dan produktivitas dapat diformulasikan sebagai berikut:
Fakta bahwa harga ditentukan oleh biaya rata-rata karyawan per unit output
menggambarkan bahwa P selalu sebanding dengan WL/Q, dimana P adalah tingkat
harga, W adalah tingkat upah, L adalah jam kerja, dan Q adalah output. Lebih
lanjut diasumsikan bahwa produktivitas rata-rata karyawan (Q/L) naik dengan
lancar pada angka 1% pertahun. Oleh
sebab itu jika upah naik 4% pertahun, harga akan naik 3% pertahun.
(Tingkat inflasi) =
(Tingkat pertumbuhan upah) – (tingat pertumbuhan produktivitas).
Kasus
yang dikuasai oleh pembelanjaan konsumsi lebih besar dalam kaitan dengan
gaji/upah riil yang lebih tinggi dan menurunkan share laba disebut wage-led,
sedangkan kasus yang dikuasai oleh lebih besar pembelanjaan investasi dalam
kaitan dengan share laba lebih tinggi dan menurunkan upah nyata disebut sebagai
profit-led. (Amit Bhadury, 2007).
Produktivitas
Menurut
Paul Mali, Produktivitas adalah pengukuran seberapa baik sumber daya yang
digunakan bersama didalam organisasi untuk menyelesaikan suatu kumpulan
hasil-hasil. Menurut ILO produktivitas adalah Perbandingan antara elemen-elemen
produksi dengan yang dihasilkan merupakan ukuran produktivitas. Elemen - elemen
produksi tersebut berupa : tanah, kapital, buruh, dan organisasi. Sedangkan
oleh Dewan Produktifitas Nasional (DPN) didefinisikan secara filosofis sebagai
sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini
harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini. Pada
dasarnya produktivitas harus dapat memenuhi unsur efektifitas, efisien dan
kualitas.
Pengukuran
Produktivitas secara teknis pada dasarnya adalah hasil dari Input (I) dibagi Output
(O). Semakin besar input dan semakin kecil output maka produktivitasnya semakin
besar. Produktivitas juga dapat digambarkan sebagai
berikut :
· Produktivitas
(P) naik apabila Input (I) turun, Output (O) tetap
· Produktivitas
(P) naik apabila Input (I) turun, Output (O) naik
· Produktivitas
(P) naik apabila Input (I) tetap, Output (O) naik
· Produktivitas
(P) naik apabila Input (I) naik, Output (O) naik tetapi jumlah
kenaikan
Output lebih besar daripada kenaikan Input.
· Produktivitas
(P) naik apabila Input (I) turun, Output (O) turun tetapi jumlah
penurunan
Input lebih kecil daripada turunnya Output.
Untuk
pengukuran produktivitas di tingkat perusahaan dapat digunakan penghitungan
Produktivitas Total Faktor perusahaan yang dihasilkan dari penghitungan Nilai
Tambah, labour share dan capital share. Produktivitas Total faktor ini adalah hasil dari Produktivitas dari semua
variabel yang mendukung berjalannya suatu usaha. Berdasarkan
pengalaman Malaysia dalam mengkaji Produktivitas Total Faktor didapat 4 komponen
pendukung yaitu : Quality of labour, Capital structure, Demand Intensity dan
Technical Progres. Dari
kajian tersebut tercermin bahwa Produktivitas total faktor dihasilkan dari
labour dan juga capital.
Didalam
peningkatan produktivitas sendiri terdapat faktor-faktor yang sangat
berpengaruh pada peningkatannya baik itu di tingkat makro, mikro maupun bagi
tiap individu. Di tingkat makro, stabilitas politik dan keamanan, kondisi
Sumber daya (SDM, alam dan Energi), pelaksanaan pemerintah, kondisi infrastruktur
berupa transportasi dan komunikasi dan yang tidak kalah penting adalah
perobahan struktural dalam bidang sosial dan budaya. Di tingkat mikro, faktor
internal meliputi sumber daya manusia, teknologi, manajemen, demand intensity
dan struktur modal. Selain faktor faktor internal terdapat juga faktor
eksternal yang dapat mempengaruhi meliputi produktivitas di tingkat mikro level
diantaranya kebijaksaan pemerintah, kondisi politik, sosial, ekonomi dan hankam
serta tersedianya sumber daya alam. Di tingkat individu faktor-faktor yang
mempengaruhi produktivitas adalah sikap mental (budaya produktif), pendidikan,
ketrampilan, kompetensi dan apresiasi terhadap kinerja.
Apa
keuntungan dari peningkatan produktivitas? Keuntungan peningkatan produktivitas
di tingkat nasional (Makro) dengan peningkatan produktivitas maka kemampuan
bersaing meningkat khususnya dalam perdagangan internasional yang menambah
pendapatan negara, meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga dapat meningkatkan
standar hidup dan martabat bangsa, memperkokoh eksistensi dan potensi bangsa
yang berarti memantapkan ketahanan nasional, sebagai alat untuk membantu
merumuskan kebijaksanaan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dan
tumbuhnya dunia usaha yang membawa pengaruh bertambahnya lapangan kerja.
Di
tingkat perusahaan (mikro) maka dengan peningkatan produktivitas akan
memperkuat daya saing perusahaan karena dapat memproduksi dengan biaya yang
lebih rendah dan mutu produksi lebih baik, menunjang kelestarian dan
perkembangan perusahaan, menunjang terwujudnya hubungan industrial yang lebih
baik dan mendorong terciptanya perluasan lapangan kerja. Di tingkat individu
akan meningkatkan pendapatan, meningkatkan harkat dan martabat serta pengakuan
potensi individu serta meningkatkan motivasi kerja dan keinginan berprestasi.
Secara umum dapat diringkas sebagai berikut :
- Keuntungan atau laba bagi para pemegang saham dan para investor.
- Pekerjaan dan upah bagi para pekerja.
- Barang-barang dan jasa-jasa yang berkualitas untuk para konsumen.
- Pajak dan pendapatan-pendapatan lain untuk Pemerintah Daerah dan Negara
Pengupahan di Iddonesia
Perkembangan penciptaan
lapangan kerja setelah
krisis ekonomi cenderung
kurang sejalan dengan perkembangan indikator ekonomi makro lainnya.
Misalnya, pendapatan per kapita dan tingkat kemiskinan Indonesia telah kembali
ke keadaan sebelum krisis ekonomi,
tetapi indikator ketenagakerjaan menunjukkan
tingkat pengangguran terbuka dan
pengangguran terselubung yang
cenderung meningkat. Elastisitas
penciptaan lapangan kerja untuk setiap satu persen pertumbuhan ekonomi
cenderung mengalami penurunan dibandingkan besaran yang sama pada periode
1980an dan 1990an. Oleh karena itu sesuai dengan Inpres No.3/2006, Pemerintah
telah merencanakan perubahan UU No.13/2003 untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan di atas. Perubahan ini juga menindaklanjuti Forum
Tripartit Summit tanggal 19 Januari 2005 di mana telah disepakati untuk mengkaji
kembali berbagai peraturan
perundangan yang dirasakan
dapat menghalangi penciptaan situasi yang kondusif bagi pemulihan
ekonomi Indonesia.
Definisi
upah pada uu no 13 tahun 2003 pada pasal 1 ayat 30 tentang ketenagakerjaan yang
berbunyi :
“Upah adalah hak
pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan
dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan
dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas
suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan”.
Kontribusi
pekerja kepada perusahaan dengan menjalankan pekerjaannya kemudian dapat
disebut sebagai kinerja atau juga dapat disebut sebagai produktivitas. Semakin
baik kinerja dan produktivitasnya maka sudah selayaknya pekerja / buruh
mendapat upah yang lebih baik dibanding pekerja/buruh yang rendah kinerja dan
produktivitasnya. Hal ini juga sesuai dengan UU No. 13 pasal 92 ayat (2) yang
isinya,
“Pengusaha melakukan
meninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan
produktivitas”.
Dalam
peraturan ketenaga kerjaan, kita juga mengenal Upah Minimum yang diatur
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-01/MEN/ 1999. Pada
pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa
“Upah Minimum adalah Upah Bulanan terendah
yang terdiri dari upah pokok
termasuk tunjangan
tetap”.
Makna dari Upah minimum
ini adalah sebagai jaring pengaman terhadap pekerja/buruh supaya tidak
diekspolitasi dalam bekerja dan mendapat upah yang dapat memenuhi Kebutuhan
Hidup Minimum (KHM). Upah minimum juga hanya diberlakukan untuk pekerja lajang
dengan masa kerja kurang dari 1 tahun.
Terkait
dengan upah dan KHM ada baiknya kita perhatikan pula dari sisi perusahaan yaitu
seberapa mampu perusahaan untuk membayar upah tenaga kerja tanpa menghambat
kegiatan usaha. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan usaha tetap terus berjalan
dan kepentingan pekerja dalam job security, income security dan social security
tetap terjaga. Hal ini penting bila
kita mengingat keadaan rata-rata UKM di Indonesia dimana kemampuannya rata-rata
pada saat ini sangat terbatas. Belum lagi tantangan kedepan UKM harus siap
bersaing dengan investor asing yang lebih memiliki kemampuan modal yang lebih
baik mengingat perdagangan bebas akan berlaku di Indonesia.
Dalam
praktek dilapangan upah minimal kemudian dijadikan standar bagi kenaikan upah
keseluruhan bagi suatu perusahaan dalam regio tertentu karena upah minimum
dijadikan standar bagi setiap perusahaan sebagai upah terendah. Karena nilai upah terendah naik maka akan mendorong upah
pada struktur diatasnya akan naik. Fenomena ini yang kemudian lebih dikenal
dengan upah sundulan. Penentuan upah ini kemudian dirasakan tidak adil bagi
pekerja bila ternyata kenaikan upah minimal ternyata lebih kecil dari naiknya
pendapatan perusahaan yang dihasilkan dari produktifitas pekerja. Atau juga
tidak adil bagi perusahaan bila kenaikan Upah Minimum lebih besar dari
pendapatan perusahaan yang didapat dari produktivitas pekerja.
Di
perusahaan review upah dilaksanakan sesuai dengan kinerja pekerja dan juga kemampuan
perusahaan untuk membayar. Untuk
skema dan struktur upah akan disesuaikan dengan bentuk organisasi dari
perusahaan itu sendiri karena memang setiap perusahaan mempunyai karakteristik
masing-masing. Jadi kenaikan upah yang diberikan pada masing-masing pekerja
akan berbeda-beda sesuai dengan kompetensi, kontribusi, jabatan, masa kerja dan
lain sebagainya.
Kaitan Produktivitas dan
Pengupahan
Produktivitas
dan pengupahan sangat erat sekali hubungannya. Ketika pekerja bekerja secara
produktif sehingga memberikan kontribusi besar pada perusahaan dan menghasilkan
keuntungan yang besar bagi perusahaan maka sudah selayaknya perusahaan
memberikan penghargaan. Namun akan berlaku sebaliknya, jika pekerja tidak
bekerja produktif sehingga kontribusinya rendah terhadap perusahaan maka sudah
selayaknya pula kalau penghargaan yang diberikan perusahaan kepada tenaga kerja
juga rendah.
Selama
ini kita sudah mengenal Produktivitas Total Faktor (PTF) untuk tingkat
perusahaan. Adjustment pada pengupahan ini dapat dihubungkan dengan
pertumbuhan dari PTF. Penghitungan pertumbuhan dari PTF didapat dari
pertumbuhan nilai tambah dan modal serta tenaga kerja. Dari
PTF ini kemudian baru dapat dipecah berapa pertumbuhan dari real labour
productivity dan real capital productivity. Perubahan dari real
labour productivity inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk perencanaan
penghitungan labour cost dimana wage adjustment didalamnya.
Dari labour cost ini baru
kemudian diturunkan kembali berapa besar untuk fix wage, variable wage, training
dan lain-lain sesuai dengan struktur dan skala upahnya dan keadaan pada
perusahaan tersebut. Setiap orang tenaga kerja bisa jadi tidak sama dalam
menerima perubahan upah karena juga dilihat dari kinerja masing-masing dari
setiap orang (absensi, kedisiplinan, kepatuhan, kompetensi dan lain-lain). Dan setiap perusahaan akan berbeda-beda pula struktur dan
skema upahnya karena disesuaikan dengan struktur organisasi, budaya perusahaan,
keadaan perusahaan yang masing-masing mempunyai karakteristik masing.
Dengan
konsep tersebut maka wage adjustment benar-benar didasarkan pada produktivitas.
Bila memang Pendapatan perusahaan besar dan real labour productivity besar
maka wage adjustment dapat dihasilkan secara signifikan. Diharapkan
dengan konsep ini wage adjustment dapat adil bagi pekerja dan pemberi
kerja, sutainability perusahaan terjaga, mendorong pekerja untuk lebih
produktif dan pemberi kerja dapat mengembangkan usahanya yang berarti
terserapnya tenaga kerja dan memperbesar pendapatan daerah.
Untuk
upah minimum ada baiknya kenaikannya tidak hanya didasarkan pada kenaikan
inflasi terkait komponen hidup minimum, namun juga berdasarkan data
produktivitas tenaga kerja nasional. Hal ini dimaksudkan agar kenaikan upah
minimum juga berbanding lurus dengan kenaikan produktivitas tenaga kerja.
Adapun peninjauan upah minimum ditinjau minimal 2 tahun sekali dan dilaksanakan
oleh lembaga independen sehingga bukan berdasarkan hasil dari negosiasi.
Akhir
dari pembahasan Upah dan Produktivitas adalah bagaimana pengupahan diletakaan
dalam kerangka kegiatan usaha yang berkeadilan baik bagi pekerja maupun bagi
pengusaha. Pengupahan yang menjamin keberlangsungan
usaha dengan memperhatikan company ability to pay dan juga menjaga
kepentingan pekerja supaya job security, income security dan social
security tetap terjaga. Pengupahan
dikaitkan dengan produktifitas juga berarti upah yang mencerminkan
produktivitas dan upah yang dapat mendorong produktivitas. Disini tenaga kerja
diletakkan sebagai modal dan bukan biaya untuk mendorong berkembangnya kegiatan
usaha.
Maka
sudah saatnya produktivitas sebagai faktor pendorong bagi semua pihak baik dari
pekerja maupun pemberi kerja untuk pencapaian kehidupan yang lebih baik ke
depan. Upah yang ditentukan oleh data real dari produktivitas dan bukan
semata-mata bukan kemampuan bernegosiasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Pengupahan dikaitkan dengan produktivitas menuju pengupahan yang berkeadilan.
Hubungan Produktivitas,
Upah dan Inflasi
Inflasi
merupakan fenomena ekonomi yang berkaitan dengan dampaknya terhadap makro
ekonomi agregat; pertumbuhan ekonomi, keseimbangan eksternal, daya saing,
tingkat bunga dan bahkan distribusi pendapatan. Inflasi juga sangat barperan
dalam mempengaruhi mobilisasi dana lewat lembaga keuangan formal. Tingkat harga
merupakan opportunity cost bagi masyarakat dalam memegang aset finansial.
Semakin tinggi perubahan tingkat harga maka makin tinggi pula opportunity cost
untuk memegang aset finansial. Artinya masyarakat akan merasa lebih beruntung
jika memegang aset dalam bentuk rill dibandingkan aset finansial jika tngkat
harga tetap tinggi. Jika aset finansial luar negeri dimasukkan sebagai salah
satu pilihan aset, maka perbedaan tingkat inflasi dalam negeri dan
internasional dapat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing
menjadi overvalued dan pada gilirannya akan menghilangkan daya saing komoditas
Indonesia.
Di tengah krisis ekonomi
yang belum pulih, Negara malah memberlakukan kebijakan-kebijakan neoliberal
seperti pencabutan subsidi pada sektor non produktif (BBM, Pupuk, Pendidikan,
Kesehatan, Listrik dll), privatisasi perusahaan milik Negara, pembebasan pasar
untuk barang-barang import dan penetapan undang-undang SDA-SDM yang lebih
berpihak pada kekuasaan modal.
Di bidang urusan
ketenagakerjaan misalnya Negara telah melegalkan buruh diatur oleh pasar
terbuka. UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pada akhirnya memunculkan
istilah outsourcing
yang dimaksudkan sebagai penggunaan tenaga kerja (buruh) dari pihak di luar
perusahaan. Melegalkan praktek outsourcing
terlihat bahwa peran Negara semakin terpinggirkan dalam upaya perlindungan
warganya (buruh).
Strategi labour flexibility sering dibilang menguntungkan buruh karena memberi kesempatan kerja yang lebih luas dengan menciptakan sistem paruh kerja, memudahkan negosiasi antara buruh-majikan yang fleksibel, buruh dapat bernegosiasi langsung dengan perusahaan tanpa perantaraan pihak lain.
Strategi labour flexibility sering dibilang menguntungkan buruh karena memberi kesempatan kerja yang lebih luas dengan menciptakan sistem paruh kerja, memudahkan negosiasi antara buruh-majikan yang fleksibel, buruh dapat bernegosiasi langsung dengan perusahaan tanpa perantaraan pihak lain.
Tetapi kenyataannya jauh
panggang dari api. Meskipun kesempatan kerja terbuka luas, namun dari segi
kualitas justru menyengsarakan buruh. Stategi labour flexibility jelas menguntungkan
perusahaan semata. Salah satu akibat pelonggaran hubungan majikan-buruh
menempatkan posisi tawar yang sangat rendah seperti mudahnya perusahaan
melakukan pemutusan hubungan kerja, dan yang paling terpenting adalah
mempermudah perusahaan dapat mengakumulasi modalnya tanpa terbebani oleh biaya
produksi yang tinggi serta tanggung jawab sosial tenaga kerja (buruh) dengan
cara pemindahan perselisilihan atau konflik perburuhan keluar dari arena
perusahaan. Krisis moneter 1997/1998
telah menuntut perubahan tatanan kelembagaan bangsa Indonesia menjadi Bank
sentral yang independen. Perubahan ini didasari pada munculnya pendapat kuat
yang mengatakan bahwa salah satu penyebab krisis adalah ketidak mampuan bank
Indonesia bertindak objektif karena selama periode praktis kebijakan Bank
Indonesia selalu dianggap terkait dengan kepentingan politik pemerintah.
Perubahan tatanan ini diwujutkan pada penggantian Undang-undang No. 13 Tahun
1968 dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Dengan
disahkannya Undang-Undang No.23 Tahun 1999, kebijakan moneter memasuki suatu
era baru dalam sejarah moneter di Indonesia. Bank Indonesia selain menjadi
lembaga independen juga mempunyai peran tunggal, yaitu mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah. Dengan sistem nilai tukar mengambang, secara implisit
tujuan kebijakan moneter di Indonesia adalah menjaga kestabilan harga, dalam
perkataan lain Bank Indonesia mempunyai sasaran tunggal yaitu Inflasi.
Kondisi
Inflasi di Indonesia sangat berfluktuasi pada sepuluh tahun terakhir, dimana
kondisi ini secara teoritis dipengaruhi oleh berbagai variabel dan indikator
makro ekonomi maupun yang bukan makro ekonomi, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Selain faktor utama
inflasi yaitu tingkat harga, inflasi juga sangat dipengaruhi oleh faktor
produktivitas dan besaran upah yang diterima pekerja. Setelah kita mengetahui
bersama hubungan antara porduktivitas dengan upah, maka dalam kaitannya dengan
inflasi maka produktivitas yang tercermin dari tingkat profitabilitas yang
diperoleh perusahaan maupun secara agregat, akan turut mempengaruhi konsumsi
perusahaan yang akan berpengaruh langsung terhadap jumlah uang beredar dan juga
inflasi. Demikian halnya dengan besaran upah yang diperoleh pekerja, juga akan
menentukan atau berpengaruh terhadap tingkat konsumsi dan saving dari pekerja
tersebut.
Semakin
besar produktivitas maka akan mendorong kenaikan upah dan insentif yang
diterima pekerja, dan selanjutnya akan berpengaruh kepada tingkat besaran
konsumsi dan saving pekerja tersebut, yang pada akhirnya juga akan sangat
mempengaruhi inflasi. Dalam kenyataan yang ada belakangan ini di Indonesia,
dapt kita lihat dan rasakan bahwa kenaikan upah dan gaji pekerja dan pegawai
akan diikuti dengan multiplier efek yang akan mendorong dari naiknya
harga-harga barang konsumsi serta jasa yang ada dipasar, yang selanjutnya akan
berpengaruh langsung pada naiknya tingkat inflasi yang cukup besar, sehingga
dapat kita lihat bahwa target inflasi yang ditargetkan Bank Indonesia sebesar
sebesar 3-4% akan sangat sulit dicapai, yang diperparah lagi dengan kenaikan
harga BBM yang mempunyai efek multiplier yang sangat luas.
Dengan
mencermati kondisi dan gejolak sekarang ini, maka selain faktor harga, maka
besaran upah cukup berpengaruh terhadap laju tingkat inflasi dan tidak bisa
dipungkiri lagi, pemerintah melalui Bank Indonesia sebagai penguasa otoritas
moneter harus dapat menerapkan atau menjalankan kekuasaannya dalam kebijakan
moneter, salah satunya dengan memperhatikan suku bunga Bank Indonesia yang
berlaku, yang tentunya akan mempengaruhi suku bunga pinjaman maupun suku bunga
tabungan, sehingga peningkatan produktivitas yang berdampak pada peningkatan
profitabilitas perusahaan dapat tersalurkan dengan baik, dan juga besaran
tingkat upah pekerja tidak semuanya dipakai untuk konsumsi, tetapi juga dapat
disaving dalam bentuk tabungan atau deposito, yang pada akhirnya akan
mengurangi uang yang beredar dan mungkin bisa berpengaruh bagi penekanan laju
Inflasi.
KESIMPULAN
- Harga bukanlah factor penentu utama Inflasi, melainkan Upah dan produktivitas juga mempunyai andil yang besar dalam mempengaruhi Inflasi.
- Produktivitas sangat dipengaruhi tingkat upah yang diperoleh buruh atau pekerja, dan sebaliknya.
- Disamping produktivitas, penentuan besaran upah dipengaruhi oleh faktor-faktor makroekonomi lainnya, seperti tingkat harga, kebijakan pemerintah, GDP dan lainnya.
- Pertumbungan produktivitas yang diikuti dengan meningkatnya profitabilitas perusahaan akan memberikan ruang bagi perusahaan untuk menambah konsumsi faktor produksi untuk meluaskan usaha atau juga bisa menambah uang perusahaan di Bank.
- Besaran upah akan mendorong orang dalam hal ini pekerja untuk menentukan besaran yang dikonsumsi dan yang akan ditabung.
- Tingkat bunga pinjaman dan tabungan akan mempengaruhi minat dan keinginan organisasi atau perusahaan dan pekerja untuk berinvestasi dan meningkatkan tabungannya.
- Bank Indonesia sebagai penguasa otoritas moneter Indonesia harus bisa menerapkan kebijakan moneter yang dapat menahan laju Inflasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lipsey, Courant, Purvis, Steiner, Pengantar
Makroekonomi, Jilid satu, Edisi Kesepuluh, Binarupa Aksara, Jakarta, 1995.
2. Sadono Sukirno, Makro Ekonomi Teori Pengantar, Edisi
ketiga, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.
3. Samuelson Nordhaus, Ilmu MakroEkonomi, PT Media Global
Edukasi, Jakarta, 2004.
4.
Amit Bhaduri. On the Dynamics of Profit- and Wage-led Growth. wiiw
Working Papers | 42. 2007
5.
Robert C. Feenstra. Globalization and Its Impact on Labour. wiiw
Working Papers | 44. 2007
6. Kazimierz
Laski. Do Increased Private Saving Rates Spur Economic Growth? wiiw
Working Papers | 44. 2007