Anda pengunjung ke :
Tuesday, October 8, 2013
Federal Government Shutdown, Sejarah yang Berulang dalam Praktek Pemerintahan di Amerika Serikat
Saturday, October 5, 2013
Sejarah Pemikiran Ekonomi Aliran Institusional
masyarakat tidak hanya disebabkan oleh motivasi ekonomi tetapi juga karena motivasi lain (seperti motivasi sosial dan kejiwaan), maka Veblen tidak puas terhadap gambaran teoretis tentang perilaku individu dan masyarakat dalam pemikiran ekonomi ortodoks. Dengan demikian, ilmu ekonomi menurut Veblen jauh lebih luas daripada yang ditemukan dalam pandangan ahli-ahli ekonomi ortodoks. Veblen pada intinya mengkritik teori-teori yang digunakan kaum klasik dan neo-klasik yang model-model teoritis dan matematisnya dinilai bias dan cenderung terlalu menyederhanakan fenomena-fenomena ekonomi. Pemikiran-pemikiran ekonomi klasik dan neo klasik juga dikritiknya karena dianggap mengabaikan aspek-aspek non ekonomi seperti kelembagaan dan lingkungan. Padahal Veblen menilai pengaruh keadaan dan lingkungan sangat besar terhadap tingkah laku ekonomi masyarakat. Struktur politik dan sosial yang tidak mendukung dapat meinblokir dan menimbulkan distorsi proses ekonomi.
Sejarah Pemikiran Ekonomi Praklasik, Klasik, Sosialis dan Neoklasik
Uang, Bunga dan Pendapatan dalam Sistem Keynesian
Wage Led Growth
Kritikal Review terhadap Penelitian: GROWTH, PUBLIC POLICY AND THE GOVERNMENT BUDGET CONSTRAINT: EVIDENCE FROM OECD COUNTRIES
by Richard Kneller, Michael Bleaney and Norman Gemmell
KRITIKAL REVIEW TERHADAP PENELITIAN TENTANG GOVERNMENT CONSUMPTION VOLATILITY AND THE SIZE OF NATIONS
TINJAUAN ARAH PEMBANGUNAN INDONESIA
TEORI PERTUMBUHAN EKONOMI
I.DEFINISI PERTUMBUHAN EKONOMI
Saturday, September 28, 2013
Pasar Tradisional dan Pasar Modern
Friday, September 27, 2013
Pendapatan/income
Saturday, September 7, 2013
MENGAIS ASA PADA PERIODE II TONI SUPIT (Sebuah Kado Pelantikan untuk kakaku: Siska Salindeho)
Friday, September 6, 2013
Teori Permintaan
tertentu yang hendak dibeli oleh konsumen pada berbagai kemungkinan harga dalam kurun waktu tertentu. Apabila faktor lainnya tetap, Penentu bagi setiap pembeli untuk membeli barang atau jasa terletak pada harga barang yang bersangkutan. Harga merupakan sinyal utama yang dipakai konsumen untuk mengambil keputusan pembelian suatu barang dan jasa termasuk di dalamnya kemauan membayar. Jumlah barang yang dibeli masyarakat tergantung pada harganya. Semakin tinggi harga dari suatu barang, maka semakin sedikit unit barang tersebut yang dibeli oleh konsumen. Sebaliknya, semakin rendah harga barang maka semakin banyak jumlah barang yang dibeli. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan pasti antara harga pasar dari suatu barang dengan kuantitas barang tersebut.
Wednesday, August 21, 2013
Kebangkrutan Daerah (Mungkinkah?)
Bankrut sering dipersamakan dengan pailit. Failit atau pailit, dari bahasa Belanda failliet, yang mengambilnya dari bahasa Perancis failite yang berarti kemacetan pembayaran. Kepailitan diartikan sebagai suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah. Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan pailit adalah
Tuesday, August 20, 2013
MEMAHAMI OPINI PEMERIKSAAN BPK-RI
Sebagai bagian dari akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, setiap tahun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI melakukan audit terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Opini BPK sendiri merupakan pernyataan atau pendapat profesional BPK yang merupakan kesimpulan pemeriksa mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Berdasarkan UU No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, opini pemeriksaan BPK diberikan berdasarkan kriteria umum sebagai berikut :
1. Kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP),
2. Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku,
3. Efektifitas Sistem Pengendalian Internal (SPI).
Ketiga kriteria pemeriksaan di atas akan mempengaruhi opini yang akan diberikan kepada LKPD
PENGELOLAAN BELANJA DAERAH JENEPONTO (Periode 2008-2013)
1. Kebijakan Umum Keuangan Daerah
Belanja daerah pada periode 2008-2013 diarahkan untuk menjawab permasalahan sebagai berikut :
1) Belanja Pegawai (terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung digunakan untuk membiayai kegiatan aparatur di bidang pelayanan yang hasil, manfaat dan dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat, diarahkan agar lebih efisien, efektif, realistis, dan proporsional terhadap belanja langsung ( urusan wajib dan urusan pilihan);
PENGELOLAAN PENDAPATAN DAERAH KABUPATEN JENEPONTO (2008-2013)
Pengelolaan pendapatan daerah Kabupaten Jeneponto periode 2008-2013 sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Jeneponto Tahun 2008-2013 menekankan hal-hal sebagai berikut:
- Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana lancar sebagai hak pemerintah daerah dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah.
- Seluruh pendapatan daerah dianggarkan dalam APBD secara bruto, mempunyai makna bahwa jumlah pendapatan yang dianggarkan tidak boleh dikurangi dengan belanja yang digunakan dalam rangka menghasilkan pendapatan tersebut dan/atau dikurangi dengan bagian
DASAR-DASAR PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
Walaupun klasik, pemahaman terhadap perencanaan pembangunan daerah dalam tulisan ini akan dimulai dari pemahaman akan definisi perencanaan terlebih dulu. Dalam Bussinies Dictionary (http://www.businessdictionary.com/definition/planning.html) disampaikan dua definisi perencanaan yaitu 1. A basic management function involving formulation of one or more detailed plans to achieve optimum balance of needs or demands with the available resources dan 2. The control of development by a local authority, through regulation and licensing for land use changes and building. Dalam investor words (http://www.investorwords.com/3710/planning.html) perencanaan adalah The process of setting goals, developing strategies, and outlining tasks and schedules to accomplish the goals. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional perencanaan didefinisikan sebagai suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
Jadi menurut penulis, perencanaan adalah kumpulan dari langkah-langkah yang akan diambil untuk mencapai sesuatu pada periode waktu tertentu. Dari definisi tersebut perencanaan pembangunan daerah dapat dipahami sebagai kumpulan langkah-langkah untuk mencapai cita-cita daerah. Untuk itulah kemudian dibutuhkan Bussines process dalam perencanaan daerah. Secara umum the planning process meliputi (1) identifies the goals or objectives to be achieved, (2) formulates strategies to achieve them, (3) arranges or creates the means required, and (4) implements, directs, and monitors all steps in their proper sequence.
(Bersambung………)
Saturday, August 17, 2013
Pendekatan Mikro ekonomi dalam memahami perilaku Konsumen
Saturday, February 9, 2013
PERILAKU KONSUMEN
Perilaku konsumen adalah tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi,dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan ini (engel et al. 1995). Dalam bidang perilaku konsumen (consumer behavior), motif-motif berbelanja konsumen telah menjadi kajian yang signifikan dalam penelitian perilaku konsumen setidaknya pada era 1970-an (misalnyaTauber 1972, dan diterbitkan ulang 1995), 1990an (misalnya Dawson, et al., 1990; Babin, et al., 1994), dan 2000an (misalnya Berman & Evans; 2007,Cottet et.al; 2006; Scarpi, 2006; Jin &Kim, 2003;Park, 2004; Noble, et al., 2006).
Berman dan Evans (2007) mengemukakan adanya enam faktor yang mempengaruhi seorang konsumen berkunjung ke sebuah ritel yaitu demografi, gaya hidup seseorang, kebutuhan dan keinginan konsumen, sikap dan tingkah laku berbelanja, tindakan peritel, dan faktor lain yang tidak kalah penting adalah faktor lingkungan. Faktor demografi terkait dengan ciri-ciri kependudukan seperti Gender, kelompok usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan serta pengeluaran, status pernikahan dan sebagainya. Faktor kedua adalah gaya hidup seseorang yang dirinci menjadi dua bagian yaitu faktor sosial dan faktor psikologis. Faktor sosial diindikasikan dengan budaya, kelas sosial, peran kelompok referensi, siklus kehidupan keluarga dan waktu yang dialokasikan seseorang untuk melakukan sebuah kegiatan. Faktor psikologis sangat berkaitan dengan kepribadian seseorang, kesadaran seseorang akan status sosialnya, keinginan untuk membeli produk baru dan sebagainya.
Faktor kebutuhan dan keinginan konsumen merupakan kebutuhan dasar seseorang sesuai dengan ciri-ciri demografi dan gaya hidupnya serta kegiatan yang mempunyai pengaruh pada sikap dan perilakunya. Sedangkan faktor sikap dan tingkah laku berbelanja meliputi sikap konsumen terhadap kegiatan berbelanja, dimana mereka dapat menikmati kegiatan berbelanja, dapat berganti tempat belanja, melakukan atau tidak melakukan pembelian saat datang ke sebuah toko juga termasuk mengetahui dimana konsumen berbelanja serta bagaimana keputusan beli seorang konsumen, impulse purchases dan kesetiaan konsumen terhadap sebuah toko. Faktor ini diyakini oleh Bloemar dan Schoeder (2002) yang menemukan bahwa konsumen yang pernah berbelanja di sebuah ritel secara menyenangkan akan menimbulkan loyalitas dan komitmen untuk tetap berbelanja di ritel tersebut secara reguler.
Faktor yang dapat mempengaruhi seseorang konsumen berkunjung ke sebuah ritel dapat juga berasal dari tindakan peritel itu sendiri. Peritel dapat melakukan beberapa strategi terkait dengan upaya menarik konsumen seperti strategi pemasaran massal, strategi pemasaran terdiferensiasi dan strategi pemasaran terkonsentrasi. Dan faktor terakhir yang sangat mempengaruhi konsumen adalah faktor lingkungan. Keterkaitan antara konsumen dengan lingkungan menjadi sumber motif-motif berbelanja konsumen. Dalam konteks psikologi lingkungan, pusat perbelanjaan modem diidentifikasi sebagai place (Stewart, 2007). Pusat perbelanjaan modern juga diidentifikasi sebagai lingkungan toko (store environment) dalam konteks perilaku konsumen (Baker & Cameron, 1996; Sherman et al., 1997; Baker, et al., 2002).
Baker dan Cameron (1996), Sherman, et al. (1997), Schlosser (1998), Baker, etal. (2002), dan Laroche, et al. (2005) saling memperkuat pendapat bahwa terdapat keterkaitan antara lingkungan toko dengan perilaku berbelanja konsumen. Baker dan Cameron (1996) serta Baker, et al.(2002) mengkategorikan lingkungan toko menjadi tiga elemen, yaitu elemen-elemen sosial (social elements), elemen-elemen desain (design elements),dan elemen-elemen ambien (ambient elements). Baker dan Cameron (1996) menjelaskan ketiga elemen tersebut sebagai berikut, Social elements: These are the people (customers and employees) in the service setting. We develop propositions about the effects of employee visibility and customer interaction. Design elements: These represent the components of the environment that tend to be visual and more tangible in nature. We develop propositions about the effects of color, furnishings, and spatial layout. Ambient elements: These are intangible background conditions that tend to affect the nonvisual senses and in some cases may have a relatively subconscious effect. We develop propositions about the effects of lighting, temperature,and music.
Menurut Albert Mehrabian dan James A. Russell bahwa secara tradisional, dengan menggunakan paradigma klasik (classic paradigm), yaitu C (cognition) - E (emotion)- B (behavior) paradigm, disingkat CEB paradigm (Laroche, et al., 2005: 157) lingkungan toko tidak secara langsung menyebabkan konsumen berperilaku dengan cara tertentu (Bitner, 1992:62). Sesuai dengan CEB paradigm, kognisi (cognition) mendorong emosi (emotion) yang pada gilirannya berpengaruh terhadap perilaku (behavior) (Laroche, et al., 2005:157).
Lingkungan toko mendatangkan respon-respon kognitif yang mempengaruhi baik keyakinan-keyakinan orang-orang mengenai suatu tempat maupun keyakinan-keyakinan mereka mengenai orang orang dan produk-produk yang ditemukan di tempat tersebut (Bitner, 1992). Suatu contoh, elemen-elemen desain dapat rnengubah keyakinan-keyakinan konsumen mengenai barang dagangan yang dijual di toko (Bitner, 1992). Tata letak dari barang dagangan yang dijual di toko yang rapi, bersih, dan menarik dapat mempengaruhi keyakinan konsumen terhadap kualitas barang dagangan tersebut. Lingkungan toko juga mendatangkan respon respon emosional, yakni arousal dan pleasure, di mana respon-respon tersebut pada gilirannya berpengaruh terhadap perilaku (Bitner, 1992). Menurut Laroche, et al. (2005: 159), "arousal means the degree to which an individual feels stimulated, active or alert; pleasure refers to the degree to which an individual feels good, happy or satisfied in the shopping environment". Suatu contoh, lingkungan toko yang kompleks (mempunyai kesempurnaan visual dan penuh hiasan-hiasan yang menarik) dapat mendatangkan arousal bagi konsumen (Bitner, 1992). Lingkungan toko yang mendatangkan pleasure bagi konsumen juga mendorong konsumen untuk meluangkan waktu dan membelanjakan uangnya di toko tersebut (Bitner, 1992). Ini telah senada dengan temuan Bloemar dan Schoeder (2002) tentang komitmen untuk tetap berbelanja secara regular.
Laroche (2005) menambahkan bahwa terdapat hubungan positif antara arousal dengan pleasure, yakni semakin positif arousal semakin meningkatkan pleasure dari konsumen, demikian pula sebaliknya. Albert Mehrabian dan James A. Russell menambahkan bahwa place (lingkungan) mendorong konsumen berperilaku dalam dua bentuk, yakni approach behavior dan avoidance behavior (Bitner, 1992:60). Menurut Albert Mehrabian dan James A. Russell (Bitner, 1992), "approach behaviors include all positive behaviors that might be directed at aparticular place, such as desire to stay, explore, work, and affiliate; avoidance behaviors reflect the opposite". Dalam konteks lingkungan toko, Robert Donovan dan John Rossiter (Bitner, 1992:60) mengidentifikasi approach behavior yang meliputi shopping enjoyment, returning, attraction and friendliness toward others, spending money, time spent browsing, dan exploration of the store. Dengan demikian, avoidance behavior dalam konteks lingkungan toko adalah lawan dari approach behavior sebagaimana telah diidentifikasi oleh Robert Donovan dan John Rossiter.
Perilaku berbelanja konsumen lebih lanjut telah dikaji mendalam oleh Tauber (1972); Cottet et al (2006); dan Scarpi (2006). Tauber (1972) membagi dua kelompok menurut motif berbelanja konsumen masing-masing kelompok dengan motif manfaat atau kegunaan (Utility) yaitu kelompok yang terkait dengan kegunaan yang diperoleh dari produk yang dibeli dan kelompok dengan motif kepuasan (satisfaction). yakni kelompok yang berbelanja karena terkait dengan kepuasan saat konsumen berbelanja (Tauber, 1972-1995). Secara detail, Tauber (1972) mengatakan bahwa, If the shopping motive is a function of only the buying motive, the decision to shop will occur when a person’s need for particular goods becomessuflciently strong for him to allocate time,money, and effort to visit a store. However, the multiplicity of hypothesized shopping motives suggests that a person may also go shopping when he needs attendion, wants to be with peers, desires to meet people with similar interests, feels a need to exercise, or has leisure time. The foregoing discussion indicates that a person experiences a need and recognizes that shopping activities may satisfL that need.
Pada kelompok motif yang pertama, konsumen melakukan proses pencarian (search process) hingga ia yakin telah membuat keputusan yang benar melalui sekuensi berbelanja (shopping sequence) yang mencakup "see-touch-feel-select sequence" (Sinha & Uniyal, 2005:35). Jin dan Kim (2003) menyebut kelompok motif yang pertama ini sebagai "shopping for product acquisition". Sedangkan Cottet et al (2006) menyebut motif itu karena ada peran dari value of shoping dimana motif yang kegunaan adalah karena utilitarian value dimana tujuan berbelanja adalah untuk keperluan dirinya.
Kelompok motif yang kedua merupakan sejumlah motif yang tidak ada hubungannya dengan produk yang secara nyata dibeli atau dengan kebutuhan terhadap suatu produk (Tauber, 1972), dan disebut oleh Jin dan Kim (2003) sebagai "shopping to enjoy the activity" dan Cottet et al (2006) menyebut sebagai hedonic value yaitu konsumen yang mengunjungi tempat berbelanja karena ingin menikmati suasana di tempat berbelanja. Dengan kata lain, motif berbelanja tidak semata mata ditentukan oleh motif untuk membeli produk (buying motive) (Tauber, 1972). Oleh karena itu. dapat terjadi bahwa konsumen membeli suatu produk, namun produk yang dibeli itu sebenarnya tidak dibutuhkan oleh konsumen yang bersangkutan. Sejumlah peneliti misalnya Tauber (1972), Dawson, et al. (1990), Babin, et al. (1994), Jin dan Kim (2003), Park (2004), serta Noble, et al. (2006) telah melakukan studi empiris terhadap motif-motif berbelanja konsumen. Tauber (1972) merinci kedua kelompok motif di atas menjadi personal motives (misalnya beralih dari rutinitas sehari-hari dan mempelajari tren-tren baru dari produk) dan social motives (misalnya mencari pengalaman-pengalaman sosial di luar rumah dan berkomunikasi dengan orang lain yang mempunyai kepentingan yang sama). Selanjutnya, shopping motives for product acquisition maupun shopping motives to enjoy the activity secara berturut-turut diidentifikasi sebagai product motives dan experiental motives (Dawson, etal., 1990), utilitarian motives dan hedonic motives (Babin et al.,1994; Park, 2004). Lebih lanjut, Jin dan Kim (2003) mengidentifikasi shopping motives to enjoy the activity menjadi diversion motives dan socialization motives. Akhirnya, Noble et al. (2006) berhasil mengkonfimasi tujuh motif berbelanja; di mana lima motif (information attaintment motives, price comparison motives, uniqueness seeking motives,assortment seeking motives, dan convenience seeking motives) merupakan shopping motives for product acquisition, dan dua motif tersisa (social interaction motives dan browsing motives) merupakan shopping motives to enjoy the activity.
Sejumlah penelitian di atas mengidentifikasi motif-motif berbelanja konsumen yang berbeda-beda. Namun, secara keseluruhan temuan penelitian tersebut mempunyai persamaan bahwa konsumen berbelanja didorong baik oleh shopping motives for product acquisition maupun shopping motives to enjoy the activity. Motif-motif berbelanja konsumen sebagai suatu konstruk memegang peranan penting dalan penelitian perilaku konsumen. Segmentasi konsumen yang selama ini didasarkan atas demografi mulai bergeser berdasarkan motif-motif berbelanja (Sinha & Uniyal, 2005:36; Jamal, etal., 2006:67). Motif-motif berbelanja konsumen juga menjadi prediktor signifikan bagi sejumlah konstruk perilaku konsumen, misalnya pilihan ritel dan preferensi ritel (Dawson, et aL, 1990), frekuensi membeli (Park, 2004), dan loyalitas konsumen (Noble, et al., 2006). Atas dasar pentingnya keberadaan motif-motif berbelanja konsumen dalam penelitian perilaku konsumen, maka penting pula untuk dikaji bagaimana melakukan pengukuran terhadap motif-motif berbelanja konsumen. Pengukuran motif-motif berbelanja konsumen yang tidak akurat menyebabkan bias dalam fungsinya baik untuk mensegmentasi konsumen maupun sebagai prediktor sejumlah konstruk perilaku konsumen.
Saturday, January 26, 2013
DANA ASPIRASI DPRD JENEPONTO, KONGKALIKONG?
Biaya politik yang tinggi, itulah kalimat yang pas untuk menggambarkan bagaimana besarnya investasi untuk dapat menduduki kursi DPRD Jeneponto. Pertanyaannya adalah apakah setiap anggota DPRD Jeneponto menganggap itu sebagai biaya untuk mengabdi sebagai wakil rakyat di Kabupaten Jeneponto? Atau itu dianggap sebagai investasi ekonomi di jalur politik?.
Jika 35 anggota DPRD Jeneponto menganggap itu sebagai biaya pengabdian, maka sungguh mulia hati mereka. Kepada Tuhan yang maha esa, akan teriring doa bagi mereka agar kiranya menempati Sorga yang kekal kelak di hari setelah kehidupan yang fana ini. Darimana kita mengetahui niat mereka? Dapatkah kita menggali isi hati mereka satu per satu. Wow..... itu pekerjaan yang tak mungkin. Untuk itu coba kita lihat seberapa besar niat mereka dengan mengamati perilaku para anggota DPRD dari kinerja yang merekantorehkan semenjak tahun 2009 lalu.
DPRD Jeneponto periode 2009-2014 didominasi oleh generasi muda yang enerjik. Hanya kurang lebih 10 orang ketika terpilih berumur di atas 40 tahun. Saat terpilih mereka diperhadapkan dengan kondisi APBD yang mengalami defisit berjalan sebesar kurang lebih 30 Milyar Rupiah. Defisit sebesar itu adalah peninggalan di tahun terakhir DPRD periode sebelumnya.
Kondisi keuangan daerah yang semakin memburuk ternyata terjadi pada DPRD periode 2009-2014. Alih-alih menghapus defisit. Dalam periode ini justru defisit APBD semakin membengkak, bahkan hingga angka yang fantastis yakni 72 Milyar Rupiah pada tahun 2011. Penyebabnya tak lain adalah dimasukannya kegiatan belanja modal yang baru saat pembahasan.
Pemerintah Daerah (baca eksekutif), selalu mencoba mengajukan RAPBD pada posisi Surplus. Ini untuk memberikan ruang bagi DPRD menambahkan kegiatan-kegiatan prioritas dalam APBD yang belum terjangkau dengan perencanaan daerah. Posisi Surplus dalam RAPBD setelah selesai pembahasan kemudian berubah menjadi defisit dengan jumlah yang sangat tinggi. Alasan klasik yang sering dikemukakan adalah untuk manampung aspirasi masyarakat. Betulkah itu?.
Jika ditilik secara detail,setiap anggota DPRD memasukan dana aspirasi minimal sebesar 500 juta Rupiah per orang atau secara total sebesar 17,5 Milyar Rupiah, jauh lebih tinggi dari PAD Kabupaten Jeneponto yang hanya 12 Milyar Rupiah. Lebih lanjut, dana aspirasi itu mayoritas dipecah ke dalam jumlah yang tidak ditenderkan atau hanya dengan metode penunjukan langsung. Siapa yang mengerjakan? Rata-rata mereka sendiri yang mengerjakan dengan bernaung pada perusahaan-perusahaan yang dipinjam (rental) dari orang lain.
Saat pembahasan di DPRD, kalimat paling sering mereka sebut : Eksekutif tugasnya mencari uang, program kegiatan kami yang menentukan. Sungguh menjijikan. Dari uraian tersebut, terindikasi kemungkinan DPRD Jeneponto menganggap biaya yang dikeluarkan untuk kampanye sebagai investasi ekonomi di jalur politik. Saat menduduki kursi DPRD yang empuk, saatnya untukmencapai Break Event Point. Gila.........., kepedulian terhadap pembangunan daerah jadi sirna. Setiap bulan mereka menerima gaji, jalan-jalan dibungkus penganggaran biaya peningkatan SDM dan juga diberikan tunjangan perumahan serta biaya-biaya lain.
Tulisan ini sekedar curahan hati seorang anak bangsa yang merasa frustasi melihat kondisi yang ada. Terjadi kongkalkong antara DPRD dengan SKPD agar biaya- biaya politik tertutupi melalui “Dana Aspirasi”.
Sadarlah wakil rakyatku……. Jeneponto butuh kalian untuk membangun.REDENOMINASI RUPIAH DALAM DEFINISI YANG UTUH
Bank Indonesia selaku institusi yang memiliki otoritas untuk memelihara kestabilan Rupiah terhadap barang dan jasa dan mata uang negara lain (kurs) sering alpha dalam mendefinisikan Redenominasi secara utuh. Pengertian yang partial akan menyebabkan dampak yang sangat fatal bagi kestabilan perekonomian nasional. Dalam berbagai kesempatan utamanya sosialisasi mengenai redenominasi, definisi redenominasi disederhanakan menjadi penyederhanaan nominal rupiah. Hal tersebut menjadi identik (walaupun jelas berbeda) dengan sanering yang didefinisikan sebagai pemotongan nilai uang. Uang sejumlah 1.000 Rupiah menjadi 1 Rupiah, apakah itu sanering atau redenominasi?, tentu hal ini membingungkan. Untuk itu perlu pendefinisian yang tepat terhadap kebijakan redenominasi agar tidak membingungkan utamanya dikalangan awam dan pelaku pasar.
Apabila pengertian redominasi diberikan secara utuh, maka Redenominasi idealnya didefinisikan secara komprehensif sebagai “sebuah kebijakan di mana pecahan mata uang (Denominasi) disederhanakan nilainya dengan diimbangi oleh penyesuaian nilai harga barang dan jasa”. Sebagai contoh apabila uang sejumlah 1.000 Rupiah dan disederhanakan menjadi 1 Rupiah, maka semua barang dan jasa yang berharga 1.000 Rupiah juga disederhanakan menjadi bernilai 1 Rupiah. Jadi redenominasi adalah kebijakan yang dibuat pada dua sisi yaitu nilai mata uang dan nilai barang dan jasa. Nilai mata uang merupakan nilai yang tertulis dalam label pecahan (denominasi) dan nilai barang dan jasa merupakan harga yang disepakati bersama. Pada kebijakan sanering, ketika nilai mata uang disederhanakan, nilai barang dinyatakan tetap sehingga daya beli masyarakat merosot turunkarena harga barang menjadi sangat mahal.
Presepsi yang salah terhadap redenominasi akan membawa dampak yang sangat fatal bagi perekonomian nasional. Dalam perekonomian “kepercayaan pasar” adalah segalanya. Apabila kebijakan redenominasi dipresepsikan negatif oleh pasar, maka minimal dua bahaya sedang menunggu untuk menyerang perekonomian nasional. Pertama: pelaku pasar mungkin akan berbondong-bondong membeli dollar untuk menjaga nilai uangnya. Hal tersebut tentu akan menghantam kestabilan rupiah sehingga bukan tidak mungkin rupiah akan merosot tajam.
Kedua: Harga barang akan naik tanpa terasa oleh masyarakat karena dengan penyederhanaan menaikan harga 2 sen, secara psikologi tidak berpengruh ke masyarakat luas walaupun nilai 2 sen tersebut sebenarnya adalah 2.000 rupiah. Gelombang kenaikan harga dalam jumlah yang tidak mengganggu psikologi masyarakat secara menyeluruh (jumlahnya kecil versi penyederhanaan mata uang) akan memberi dampak inflasi yang luar biasa. Terutama pada masa akhir transisi redenominasi rupiah.
Untuk itu, Bank Indonesia selayaknya menata aspek psikologi pasar sebaik mungkin. Redenominasi yang bertujuan untuk menciptakan efisiensi ekonomi dan martabat bangsa harus disosialisasikan sampai ke grass roots. Pendekatan sosialisasi di hotel-hotel berbintang dan pada kalangan terpelajar kiranya dikurangi dan memberikan porsi yang besar untuk kalangan Usaha Kecil Menengah (UKM).
Friday, January 25, 2013
PROSPEK PASAR TRADISIONAL
Pada era 1980-an dan awal 1990-an supermarket Indonesia hanya melayani masyarakat kelas menengah atas (CPIS, 1994).Walaupun Supermarket lokal telah ada sejak 1970-an namun mereka hanya terkosentrasi di Kota-kota besar (Suryadarma et al, 2007). Hal tersebut mengakibatkan pandangan masyarakat sebagai konsumen bahwa semua produk yang dijual di Supermarket adalah barang bermerk, mahal dan ekslusif. Pandangan tersebut mengakibatkan dalam anggapan masyarakat bahwa supermarket adalah tempat belanja kaum menengah atas.
Anggapan yang demikian berkembang hingga awal 1990an dengan diperkuat oleh lokasi supermarket yang dibangun ditempat-tempat strategis, dekat pusat-pusat pemerintahan dengan disertai desain bangunan yang terlihat mewah baik dari eksterior maupun interior bangunan. Supermarket hanya dikunjungi oleh kaum menengah atas yang ditandai oleh gaya hidup mewah, pakaian yang dikenakan adalah merk-merk ternama, datang dengan mobil, pembayaran melalui kartu baik kredit maupun debit serta penampilan yang rapi. Kondisi tersebut menempatkan Supermarket sebagai sebuah bisnis dengan pangsa pasar yang berbeda dibanding pasar tradisional.
Pasar tradisional memiliki konsumen masyarakat menengah bawah yang gaya belanja menyenangi adanya proses tawar menawar harga secara langsung dengan penjual. Barang yang dibeli pun disesuaikan dengan penghasilan yang mereka dapat, walau kualitas agak rendah yang penting harga terjangkau. Lokasi pasar tradisional tersebar sampai ke pelosok–pelosok daerah.
Lokasi dan harga yang terjangkau serta dapat ditawar menjadi alasan utama masyarakat menengah bawah untuk memilih pasar tradisional sebagai tempat berbelanja. Jumlah masyarakat menengah bawah yang terbanyak tinggal di daerah pedesaan, untuk menjangkau supermarket yang berada di daerah perkotaan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk transportasi. Demikian pula dengan kebiasaan mereka yang puas ketika mampu mendapatkan harga yang lebih murah (dapat ditawar) walaupun dari segi kualitas agak lebih rendah.
Memasuki akhir 1990an, semenjak kebijakan investasi asing langsung dalam sektor usaha ritel dibuka tepatnya tahun 1998, supermarket bermerk asing mulai masuk ke Indonesia. Supermarket mulai melakukan ekspansi hingga kota-kota kecil. Lokasi supermarket dapat menjamur di berbagai daerah. Ini sebagaimana diungkapkan oleh Jones dan Simmons (1993), Three important factors determine a retailer’s success : location and location and location. Karena lokasi yang telah ada dimana-mana, usaha ritel tidak lagi bersaing dengan sesama pengusaha ritel modern, tetapi turut bersaing dengan pengusaha ritel tradisional. Deregulasi sektor usaha ritel yang bertujuan untuk meningkatkan investasi asing langsung (IAL) atau Foreign Direct Investment (FDI) telah berdampak pada pengembangan jaringan supermarket (Readon & Hopkins, 2006). Alasan untuk Peningkatan FDI juga digunakan untuk membuka liberalisasi bisnis ritel di negara lain seperti China pada tahun 1992, Argentina, Brazil dan Meksiko tahun 1994, beberapa negara di Afrika pada pertengahan 1990an, Indonesia tahun 1998 dan India tahun 2000 (Gaiha and Thapa, 2007). Kondisi seperti ini telah digambarkan oleh Reardon et al (2003) bahwa sejak 2003 pasar supermarket di sektor usaha ritel makanan di banyak negara berkembang seperti Korea Selatan, Thailand, Taiwan, Meksiko, Polandia dan Hongaria telah mencapai 50%. Di Brazil dan Argentina, dimana perkembangan supermarket telah lebih dulu dimulai, pangsa pasarnya mencapai 60%. Trail (2006) memprediksi bahwa pada tahun 2015 nanti, pangsa pasar supermarket akan mencapai 61% di Argentina, Meksiko dan polandia; 67% di Hongaria, dan 76% di Brazil.
Dalam memandang persaingan antara pasar tradisional dan pasar modern, Suryadarma et al (2007) mengemukakan empat argumen yang dapat menyebabkan pasar tradisional kalah bersaing dengan pasar modern. Pertama, melalui skala ekonominya, supermarket dapat menjual lebih banyak produk yang lebih berkualitas dengan harga yang lebih murah. Kedua, informasi daftar harga setiap barang tersedia dan dengan mudah diakses publik, Ketiga, supermarket menyediakan lingkungan berbelanja yang lebih nyaman dan bersih, dengan jam buka yang lebih panjang, dan menawarkan aneka pilihan pembayaran seperti kartu kredit dan kartu debit dan menyediakan layanan kredit untuk peralatan rumah tangga berukuran besar. Keempat, produk yang dijual di supermarket, seperti bahan pangan, telah melalui pengawasan mutu dan tidak akan dijual bila telah kadulawarsa.
Sujana (2012) mengatakan keunggulan ritel modern dari pasar tradisional meliputi jaringan gerai, keuangan, sumberdaya manusia, manajemen modern, Teknologi, lebih dekat dengan pelanggan, kekuatan merek, private label (house brand), Citra Gerai/Loyalitas pelanggan, keunggulan omzet, profitabilitas yang lebih tinggi, sentra distribusi (distribution center), peningkatan service level dan keberadaan stok.
Karena keunggulan-keunggulan tersebut, supermarket tumbuh dengan pesat di hampir semua wilayah di Indonesia. data berikut menunjukan perkembangan jumlah outlet ritel modern.
Tabel1. Perkembangan Jumlah Outlet Ritel Modern
FORMAT | CHAIN | AUG’10 | YTD MAR 11 |
Hypermarket/ Large Format | Carrefour | 56 | 58 |
Giant | 39 | 42 | |
Hypermart | 48 | 61 | |
Lotte Hyper/WHS | 20 | 23 | |
Indogrosir | 6 | 8 | |
Hero -Giant | 98 | 101 | |
Ramayana | 95 | 100 | |
FoodMart | 23 | 31 | |
Carrefour Express | 17 | 39 | |
Yogya - Griya | 56 | 62 | |
Superindo | 68 | 77 | |
TOTAL | 526 | 602 | |
Minimarket/ Convinience | Indomaret | 4.490 | 5.270 |
AlfaMart | 4.210 | 5.150 | |
AlfaMidi | 161 | 215 | |
Alfa Express | 65 | 70 | |
CircleK | 269 | 280 | |
StarMart | 123 | 130 | |
YoMart | 231 | 250 | |
TOTAL | 9.549 | 11.365 | |
Modern Drugstores | Century | 211 | 240 |
Guardian | 204 | 230 | |
Boston | 58 | 70 | |
Watson | 4 | 4 | |
TOTAL | 477 | 544 |
Sumber: LeadMAX-Co, 2011 (dalam Sujana, 2012)
Data pada tabel 1.2 memperlihatkan bahwa Pasar modern baik dalam bentuk Hypermarket, minimarket maupun modern drugstores mengalami pertumbuhan yang besar. Hanya dalam jangka waktu kurang lebih tujuh bulan jumlah hypermart bertambah sebesar 76 buah atau 14,45%, minimarket sebesar 1.816 outlet atau 19,02% dan modern Drugstores sebesar 67 outlet atau 14,05% atau secara keseluruhan ritel modern bertambah1.959 outlet (18,57).
Secara teoritik pertumbuhan pasar modern yang demikian pesat akan mengakibatkan kemerosotan pada pasar tradisional. Suryadarma et al (2007) menggambarkan bahwa pengusaha ritel tradisional pertama yang terpaksa menutup bisnisnya umumnya adalah mereka yang menjual barang-barang umum, makanan olahan, produk susu, lalu diikuti oleh toko yang menjual produk segar dan pasar basah. Setelah beberapa tahun bergelut dengan persaingan, pengusaha ritel tradisional yang biasanya masih tetap bertahan berdagang adalah mereka yang menjual satu jenis produk atau mereka yang berjualan di lokasi di mana supermarket secara resmi tidak diperkenankan untuk masuk.
USDRP (2007) mengingatkan bahwa pasar tradisional, jika dikaji secara jernih, memang memiliki beberapa fungsi penting yang tak dapat digantikan begitu saja oleh pasar modern. Setidaknya, ada empat fungsi ekonomi yang sejauh ini bisa diperankan oleh pasar tradisional, Pertama, pasar tradisional merupakan tempat dimana masyarakat berbagai lapisan memperoleh barang terjangkau, karena memang seringkali harga di pasar tradisional lebih dibandingkan harga yang ditawarkan pasar modern. Dengan kata lain pasar tradisional merupakan pilar penyangga ekonomi masyarakat kecil. Kedua, pasar tradisional merupakan tempat yang relative lebih bisa dimasuki oleh pelaku ekonomi lemah yang menempati posisi mayoritas dari sisi jumlah. Pasar tradisional jelas jauh lebih bisa diakses oleh sebagian besar pedagang yang bermodal kecil Ketiga, pasar merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) lewat retribusi yang ditarik dari para pedagang, Keempat, akumulasi aktivitas jual beli di pasar merupakan factor penting dalam perhitungan tingkat pertumbuhan ekonomi baik pada skala local, regional maupun nasional. Hal yang serupa juga disampaikan Mudrajat (2009), ada beberapa keunggulan pasar ritel tradisional. Salah satunya adalah kemudahan akses bagi pemasok kecil termasuk petani. Selain itu di pasar ritel tradisional dapat terjadi tawar menawar, barangnya segar, dan dekat dengan rumah.
Dalam hal penyerapan tenaga kerja, Industri Ritel merupakan sektor kedua terbesar setelah sektor pertanian yaitu menyerap 18,9 juta orang tenaga kerja (Mudrajat, 2006).
Tabel 2 : Jumlah Pedagang, Luas Bangunan dan Pendapatan Pasar Tradisional di Indonesia
Tahun 2012
NO | AREA | JUMLAH | LUAS | PENDAPATAN PASAR | |||
PASAR | PEDAGANG | PKL | LAHAN | BANGUNAN | |||
1 | Sumatera | 3295 | 688.738 | 262.109 | 14.518.324 | 6.953.439 | 54.562.732.666,00 |
2 | Jawa | 2915 | 791.098 | 127.682 | 14.640.300 | 8.295.376 | 39.852.263.077,00 |
3 | Bali Nusa tenggara | 627 | 111.642 | 32.985 | 1.962.514 | 847.968 | 5.655.063.810,00 |
4 | Kalimantan | 718 | 114.477 | 37.580 | 2.618.076 | 1.197.046 | 9.620.964.402,00 |
5 | Sulawesi | 1612 | 192.693 | 65.886 | 4.834.543 | 1.954.572 | 6.880.802.114,00 |
6 | Maluku – Papua | 395 | 29.723 | 7.321 | 864.340 | 369.146 | 2.255.515.100,00 |
9.562 | 1.928.371 | 533.563 | 39.438.097 | 19.617.547 | 118.827.341.169,00 |
Sumber : Kementrian Perdagangan Indonesia, 2012 (diolah)
Data pada tabel di atas menunjukan bahwa terdapat 2,4 juta orang yang berdagang di pasar tradisional termasuk 533.563 orang Pedagang Kaki Lima (PKL). Apabila masing-masing pedagang memiliki 2 orang tenaga kerja, maka setiap pedagang dan tenaga kerjanya akan berjumlah 3,8 juta orang dan ditambah pedagang kaki lima akan berjumlah 4,1 juta jiwa. Dalam menghidupi keluarganya jika 1 jiwa membiayai 3 jiwa dalam satu keluarga, maka dengan kalahnya dalam persaingan di sektor ritel, tutupnya pasar tradisional akan menyebabkan kurang lebih 12,3 juta jiwa kehilangan sumber penghasilan. Jumlah tersebut diluar penghasilan penduduk yang terkait tidak langsung dengan keberadaan pasar tradisional.
Hal serupa juga terjadi di Sulawesi Selatan. Terdapat seratus ribu orang lebih yang berdagang di pasar tradisional atau setara dengan jumlah penduduk di Kabupaten Bantaeng dan Takalar. Apabila pasar tradisional harus tutup karena kalah bersaing dengan ritel modern, maka diperkirakan sejumlah 300 ribu orang akan kehilangan mata pencaharian. Data berikut menunjukan kondisi pasar tradisional di Sulawesi Selatan.
Tabel 3 : Jumlah Pedagang, Luas Bangunan dan Pendapatan Pasar Tradisional di Sulawesi Selatan
Tahun 2012
NO | KABUPATEN/KOTA | JUMLAH | LUAS | |||
PASAR | PEDAGANG | PKL | LAHAN | BANGUNAN | ||
1 | Selayar | 21 | 1353 | 302 | 50125 | 8665 |
2 | Bulukumba | 48 | 5613 | 1648 | 48594 | 21283 |
3 | Bantaeng | 12 | 2204 | 930 | 34492 | 17070 |
4 | Jeneponto | 16 | 1694 | 2060 | 16646 | 10000 |
5 | Takalar | 9 | 852 | 430 | 13375 | 9575 |
6 | Gowa | 16 | 2522 | 755 | 40090 | 24556 |
7 | Sinjai | 20 | 1318 | 1366 | 83400 | 27725 |
8 | Maros | 13 | 2342 | 572 | 105850 | 47430 |
9 | Pangkep | 24 | 4371 | 1135 | 173658 | 20120 |
10 | Barru | 23 | 2662 | 596 | 32250 | 13338 |
11 | Bone | 50 | 12078 | 6737 | 84845 | 60813 |
12 | Soppeng | 18 | 7112 | 1125 | 169700 | 63740 |
13 | Wajo | 38 | 6956 | 2059 | 35300 | 18366 |
14 | Sidrap | 19 | 2270 | 945 | 31080 | 16461 |
15 | Pinrang | 17 | 1003 | 1820 | 38220 | 14366 |
16 | Enrekang | 13 | 2625 | 1396 | 80159 | 63959 |
17 | Luwu | 17 | 4555 | 2365 | 26500 | 16390 |
18 | Tana Toraja | 8 | 1150 | 300 | 14660 | 8670 |
19 | Luwu Utara | 10 | 3011 | 1165 | 23000 | 10097 |
20 | Luwu Timur | 18 | 2380 | 860 | 124615 | 37605 |
21 | Makassar | 17 | 8577 | 4219 | 176775 | 81581 |
22 | Pare-pare | 4 | 1376 | 148 | 15300 | 9080 |
23 | Palopo | 2 | 1620 | 130 | 28000 | 11000 |
TOTAL | 433 | 79644 | 33063 | 1446634 | 611890 |
Sumber : Kementrian Perdagangan Indonesia, 2012 (diolah)
Berdasarkan hal-hal tersebut, timbul pertanyaan: apakah pasar tradisional akan punah?.