pengunjung yg online

Anda pengunjung ke :

Saturday, February 9, 2013

PERILAKU KONSUMEN


Perilaku konsumen adalah tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi,dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan ini (engel et al. 1995). Dalam bidang perilaku konsumen (consumer behavior), motif-motif berbelanja konsumen telah menjadi kajian yang signifikan dalam penelitian perilaku konsumen setidaknya pada era 1970-an (misalnyaTauber 1972, dan diterbitkan ulang 1995),   1990an (misalnya Dawson, et al., 1990; Babin, et al., 1994), dan 2000an (misalnya Berman & Evans; 2007,Cottet et.al; 2006; Scarpi, 2006;  Jin &Kim, 2003;Park, 2004; Noble, et al., 2006).

Berman dan Evans (2007) mengemukakan adanya enam faktor yang mempengaruhi seorang konsumen berkunjung ke sebuah ritel yaitu demografi, gaya hidup seseorang, kebutuhan dan keinginan konsumen, sikap dan tingkah laku berbelanja, tindakan peritel, dan faktor lain yang tidak kalah penting adalah faktor lingkungan. Faktor demografi terkait dengan ciri-ciri kependudukan seperti Gender, kelompok usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan serta pengeluaran, status pernikahan dan sebagainya. Faktor kedua adalah gaya hidup seseorang yang dirinci menjadi dua bagian yaitu faktor sosial dan faktor psikologis. Faktor sosial diindikasikan dengan budaya, kelas sosial, peran kelompok referensi, siklus kehidupan keluarga dan waktu yang dialokasikan seseorang untuk melakukan sebuah kegiatan. Faktor psikologis sangat berkaitan dengan kepribadian seseorang, kesadaran seseorang akan status sosialnya, keinginan untuk membeli produk baru dan sebagainya.

Faktor kebutuhan dan keinginan konsumen merupakan kebutuhan dasar seseorang sesuai dengan ciri-ciri demografi dan gaya hidupnya serta kegiatan yang mempunyai pengaruh pada sikap dan perilakunya. Sedangkan faktor sikap dan tingkah laku berbelanja meliputi sikap konsumen terhadap kegiatan berbelanja, dimana mereka dapat menikmati kegiatan berbelanja, dapat berganti tempat belanja, melakukan atau tidak melakukan pembelian saat datang ke sebuah toko juga termasuk mengetahui dimana konsumen berbelanja serta bagaimana keputusan beli seorang konsumen, impulse purchases dan kesetiaan konsumen terhadap sebuah toko. Faktor ini diyakini oleh Bloemar dan Schoeder (2002) yang menemukan bahwa konsumen yang pernah berbelanja di sebuah ritel secara menyenangkan akan menimbulkan loyalitas dan komitmen untuk tetap berbelanja di ritel tersebut secara reguler.
Faktor yang dapat mempengaruhi seseorang konsumen berkunjung ke sebuah ritel dapat juga berasal dari tindakan peritel itu sendiri. Peritel dapat melakukan beberapa strategi terkait dengan upaya menarik konsumen seperti strategi pemasaran massal, strategi pemasaran terdiferensiasi dan strategi pemasaran terkonsentrasi. Dan faktor terakhir yang sangat mempengaruhi konsumen adalah faktor lingkungan. Keterkaitan antara konsumen dengan lingkungan menjadi sumber motif-motif berbelanja konsumen. Dalam konteks psikologi  lingkungan, pusat perbelanjaan modem diidentifikasi sebagai place (Stewart, 2007). Pusat perbelanjaan modern juga diidentifikasi sebagai lingkungan toko (store environment) dalam konteks perilaku konsumen (Baker & Cameron, 1996; Sherman et al., 1997; Baker, et al., 2002).

Baker dan Cameron (1996), Sherman, et al. (1997), Schlosser (1998), Baker, etal. (2002), dan Laroche, et al. (2005) saling memperkuat pendapat bahwa terdapat keterkaitan antara lingkungan toko dengan perilaku berbelanja konsumen. Baker dan Cameron (1996) serta Baker, et al.(2002) mengkategorikan lingkungan toko menjadi tiga elemen, yaitu elemen-elemen sosial (social elements), elemen-elemen desain (design elements),dan elemen-elemen ambien (ambient elements). Baker dan Cameron (1996) menjelaskan ketiga elemen tersebut sebagai berikut, Social elements: These are the people (customers and employees) in the service setting. We develop propositions about the effects of employee visibility and customer interaction. Design elements: These represent the components of the environment that tend to be visual and more tangible in nature. We develop propositions about the effects of color, furnishings, and spatial layout. Ambient elements: These are intangible background conditions that tend to affect the nonvisual senses and in some cases may have a relatively subconscious effect. We develop propositions about the effects of lighting, temperature,and music.

Menurut Albert Mehrabian dan James A. Russell bahwa secara tradisional, dengan menggunakan paradigma klasik (classic paradigm), yaitu C (cognition) - E (emotion)- B (behavior) paradigm, disingkat CEB paradigm (Laroche, et al., 2005: 157) lingkungan toko tidak secara langsung menyebabkan konsumen berperilaku dengan cara tertentu (Bitner, 1992:62). Sesuai dengan CEB paradigm, kognisi (cognition) mendorong emosi (emotion) yang pada gilirannya berpengaruh terhadap perilaku (behavior) (Laroche, et al., 2005:157).
Lingkungan toko mendatangkan respon-respon kognitif yang mempengaruhi baik keyakinan-keyakinan orang-orang mengenai suatu tempat maupun keyakinan-keyakinan mereka mengenai orang orang dan produk-produk yang ditemukan di tempat  tersebut (Bitner, 1992). Suatu contoh, elemen-elemen desain dapat rnengubah keyakinan-keyakinan konsumen mengenai barang dagangan yang dijual di toko (Bitner, 1992). Tata letak dari barang dagangan yang dijual di toko yang rapi, bersih, dan menarik dapat mempengaruhi keyakinan konsumen terhadap kualitas barang dagangan tersebut. Lingkungan toko juga mendatangkan respon respon emosional, yakni arousal dan pleasure, di mana respon-respon tersebut pada gilirannya berpengaruh terhadap perilaku (Bitner, 1992). Menurut Laroche, et al. (2005: 159), "arousal means the degree to which an individual feels stimulated, active or alert; pleasure refers to the degree to which an individual feels good, happy or satisfied in the shopping environment". Suatu contoh, lingkungan toko yang kompleks (mempunyai kesempurnaan visual dan penuh hiasan-hiasan yang menarik) dapat mendatangkan arousal bagi konsumen (Bitner, 1992). Lingkungan toko yang mendatangkan pleasure bagi konsumen juga mendorong konsumen untuk meluangkan waktu dan membelanjakan uangnya di toko tersebut (Bitner, 1992). Ini telah senada dengan temuan Bloemar dan Schoeder (2002) tentang komitmen untuk tetap berbelanja secara regular.

Laroche (2005) menambahkan bahwa terdapat hubungan positif antara arousal dengan pleasure, yakni semakin positif arousal semakin meningkatkan pleasure dari konsumen, demikian pula sebaliknya. Albert Mehrabian dan James A. Russell menambahkan bahwa place (lingkungan) mendorong konsumen berperilaku dalam dua bentuk, yakni approach behavior dan avoidance behavior (Bitner, 1992:60). Menurut Albert Mehrabian dan James A. Russell (Bitner, 1992), "approach behaviors include all positive behaviors that might be directed at aparticular place, such as desire to stay, explore, work, and affiliate; avoidance behaviors reflect the opposite". Dalam konteks lingkungan toko, Robert Donovan dan John Rossiter (Bitner, 1992:60) mengidentifikasi approach behavior yang meliputi shopping enjoyment, returning, attraction and friendliness toward others, spending money, time spent browsing, dan exploration of the store. Dengan demikian, avoidance behavior dalam konteks lingkungan toko adalah lawan dari approach behavior sebagaimana telah diidentifikasi oleh Robert Donovan dan John Rossiter.
Perilaku berbelanja konsumen lebih lanjut telah dikaji mendalam oleh Tauber (1972); Cottet et al (2006); dan Scarpi (2006). Tauber (1972) membagi dua kelompok menurut motif berbelanja konsumen masing-masing kelompok dengan motif manfaat atau kegunaan (Utility) yaitu kelompok yang terkait dengan kegunaan yang diperoleh dari produk yang dibeli dan kelompok dengan motif kepuasan (satisfaction). yakni kelompok yang berbelanja karena terkait dengan kepuasan saat konsumen berbelanja (Tauber, 1972-1995). Secara detail, Tauber (1972) mengatakan bahwa, If the shopping motive is a function of only the buying motive, the decision to shop will occur when a person’s  need for particular goods becomessuflciently strong for him to allocate time,money, and effort to visit a store. However, the multiplicity of hypothesized shopping motives suggests that a person may also go shopping when he needs attendion, wants to be with peers, desires to meet people with similar interests, feels a need to exercise, or has leisure time. The foregoing discussion indicates that a person experiences a need and recognizes that shopping activities may satisfL that need.

Pada kelompok motif yang pertama, konsumen melakukan proses pencarian (search process) hingga ia yakin telah membuat keputusan yang benar melalui sekuensi berbelanja (shopping sequence) yang mencakup "see-touch-feel-select sequence" (Sinha & Uniyal, 2005:35). Jin dan Kim (2003) menyebut kelompok motif yang pertama ini sebagai "shopping for product acquisition". Sedangkan Cottet et al (2006) menyebut motif itu karena ada peran   dari value of shoping dimana motif yang kegunaan adalah karena utilitarian value dimana tujuan berbelanja adalah untuk keperluan dirinya.
Kelompok motif yang kedua merupakan sejumlah motif yang tidak ada hubungannya dengan produk yang secara nyata dibeli atau dengan kebutuhan terhadap suatu produk (Tauber, 1972), dan disebut oleh Jin dan Kim (2003) sebagai "shopping to enjoy the activity"  dan Cottet et al (2006) menyebut sebagai hedonic value yaitu konsumen yang mengunjungi tempat berbelanja karena ingin menikmati suasana di tempat berbelanja. Dengan kata lain, motif berbelanja tidak semata mata ditentukan oleh motif untuk membeli produk (buying motive) (Tauber, 1972). Oleh karena itu. dapat terjadi bahwa konsumen membeli suatu produk, namun produk yang dibeli itu sebenarnya tidak dibutuhkan oleh konsumen yang bersangkutan. Sejumlah peneliti misalnya Tauber (1972), Dawson, et al. (1990), Babin, et al. (1994), Jin dan Kim (2003), Park (2004), serta Noble, et al. (2006) telah melakukan studi empiris terhadap motif-motif berbelanja konsumen. Tauber (1972) merinci kedua kelompok motif di atas menjadi personal motives (misalnya beralih dari rutinitas sehari-hari dan mempelajari tren-tren baru dari produk) dan social motives (misalnya mencari pengalaman-pengalaman sosial di luar rumah dan berkomunikasi dengan orang lain yang mempunyai kepentingan yang sama). Selanjutnya, shopping motives for product acquisition maupun shopping motives to enjoy the activity secara berturut-turut diidentifikasi sebagai product motives dan experiental motives (Dawson, etal., 1990), utilitarian motives dan hedonic motives (Babin et al.,1994; Park, 2004). Lebih lanjut, Jin dan Kim (2003) mengidentifikasi shopping motives to enjoy the activity menjadi diversion motives dan socialization motives. Akhirnya, Noble et al. (2006) berhasil mengkonfimasi tujuh motif berbelanja; di mana lima motif (information attaintment motives, price comparison motives, uniqueness seeking motives,assortment seeking motives, dan convenience seeking motives) merupakan shopping motives for product acquisition, dan dua motif tersisa (social interaction motives dan browsing motives) merupakan shopping motives to enjoy the activity.

Sejumlah penelitian di atas mengidentifikasi motif-motif berbelanja konsumen yang berbeda-beda. Namun, secara keseluruhan temuan penelitian tersebut mempunyai persamaan bahwa konsumen berbelanja didorong baik oleh shopping motives for product acquisition maupun shopping motives to enjoy the activity. Motif-motif berbelanja konsumen sebagai suatu konstruk memegang peranan penting dalan penelitian perilaku konsumen. Segmentasi konsumen yang selama ini didasarkan atas demografi mulai bergeser berdasarkan motif-motif berbelanja (Sinha & Uniyal, 2005:36; Jamal, etal., 2006:67). Motif-motif berbelanja konsumen juga menjadi prediktor signifikan bagi sejumlah konstruk perilaku konsumen, misalnya pilihan ritel dan preferensi ritel (Dawson, et aL, 1990), frekuensi membeli (Park, 2004), dan loyalitas konsumen (Noble, et al., 2006). Atas dasar pentingnya keberadaan motif-motif berbelanja konsumen dalam penelitian perilaku konsumen, maka penting pula untuk dikaji bagaimana melakukan pengukuran terhadap motif-motif berbelanja konsumen. Pengukuran motif-motif berbelanja konsumen yang tidak akurat menyebabkan bias dalam fungsinya baik untuk mensegmentasi konsumen maupun sebagai prediktor sejumlah konstruk perilaku konsumen.
Saran Anda Akan Menambah Sejuta Ide Saya