pengunjung yg online

Anda pengunjung ke :

Tuesday, September 18, 2012

Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia

 

PENDAHULUAN
Kemiskinan masih adalah tantangan bagi bangsa Indonesia. Sudah banyak upaya  penanggulangan yang di lakukan tetapi masih saja belum dapat menurunkan angka kemiskinan di Indonesia. Kertas kerja ini akan mencoba untuk menguraikan secara sederhana tentang upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia dan beberapa kesimpulan yang didapat.
Pikiran Dasar (Premis)
Kemiskinan merupakan suatu gejala multidimensional yang menunjukan keterbatasan, kekurangan dan ketidakmampuan, yang berdampak pada sulitnya seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar.
Penanggulangan kemiskinan bukan menjadi tanggungjawab pemerintah saja, tetapi menjadi tanggungjawab seluruh stackholders yang ada, dan juga masyarakat lainnya.
Dari premis diatas, maka akan disajikan berbagai  realitas pragmatis di Indonesia berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan, dari realitas-realitas yang ada ditarik kesimpulan tentang penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
Fakta Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia
Pada Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.  Dari Pembukaan UUD 1945 tersebut, menunjukkan bahwa faktor kesejahteraan masyarakat merupakan prioritas didirikannya Negara Indonesia.
Hal tersebut sejalan dengan upaya bangsa Indonesia sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk ikut berpatisipasi dalam upaya penghapusan kemiskinan yang merupakan tantangan global terbesar yang dihadapi dunia dewasa ini.  Hal tersebut telah disepakati pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Millenium di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York tahun 2000 yang menetapkan upaya mengurangi separuh dari kemiskinan di dunia sebagai Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals) yang harus dicapai pada tahun 2015.  Tujuan tersebut dilaksanakan melalui 8 jalur sasaran yang meliputi :
-    Memberantas kemiskinan dan kelaparan
-    Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua
-    Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
-    Menurunkan angka kematian anak
-    Meningkatkan kesehatan ibu
-    Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lain
-    Menjamin kelestarian lingkungan hidup
-    Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan
Komitmen atas sasaran dan target tersebut disepakati juga oleh pemerintah Indoensia yang ikut menandatangani dokumen Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan, yang juga telah ditanda-tangani oleh Presiden RI, untuk menjadi acuan dalam melaksanakan pembangunan di Indonesia pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan, bulan September 2002.  Dengan demikian, konsensus bangsa Indonesia dan maupun komitmen internasional untuk memberantas kemiskinan dalam rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Faktor tersebut membutuhkan peran pemerintah dan semua perangkat negara bersama dengan berbagai unsur masyarakat memikul tanggungjawab utama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan sekaligus pengentasan kemiskinan paling lambat tahun 2015. 
Perjalanan upaya penanggulangan kemiskinan telah tercatat panjang dan berliku dalam sejarah bangsa. Untuk itu fakta yang akan disajikan akan dipersingkat minimal dimulai tahun 1993 dengan keberhasilan munrunkan jumlah penduduk miskin menjadi 11,34 hun 1998 penduduk miskin melonjak i menjadi 21,5 juta jiwa. Selanjutnya Pemerintah Indonesia dengan bantuan Bank Dunia diketahui telah meluncurkan program pemberdayaan ekonomi rakyat, sekaligus menekan jumlah masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan, yang dikenal dengan nama Jaring Pengamanan Sosial. Dengan dukungan dana 8,9 triliun untuk APBN 1998/1999. JPS ditujukan untuk 4 bidang pokok, yaitu food security, social protedtion, employment creation, dan pengembangan industri kecil dan menengah. Puncaknya pada tahun 2008, pemerintah melakukan upaya penanggulangan kemiskinan dengan berbagai upaya seperti Bantuan Langsung Tunai, PNPM Mandiri, Beras Rakyat Miskin, dll.  Selain itu, di tahun 2009 dalam RAPBN pemerintah menyampaikan kebijakan penanggulangan kemiskinan melalui kebijakan-kebijakan subsidi BBM hingga Rp101,4 triliun, termasuk subsidi LPG Rp14,6 triliun, subsidi listrik pemerintah menyediakan Rp60,4 triliun, Pemerintah menyadari pula bahwa kantong kemiskinan berada di daerah perdesaan di mana sektor pertanian menjadi sumber utama penerimaan keluarga miskin. Oleh karena itu, alokasi untuk sektor perdesaan dan pertanian juga terlihat dari peningkatan alokasi anggaran untuk sektor pertanian yaitu Rp13,9 triliun (RAPBN 2009) terdiri dari Rp8,4 triliun anggaran Departemen Pertanian dan Rp5,5 triliun melalui anggaran subfungsi pengairan. Petani juga menikmati berbagai subsidi langsung dan spesifik dalam bentuk subsidi pupuk, subsidi bunga kredit program dan subsidi benih berjumlah Rp21,4 triliun atau meningkat 112,9 persen dibandingkan dalam APBN-P 2008. Proteksi terhadap petani akan bertambah besar jika subsidi raskin yang merupakan bagian dari kebijakan penyangga harga beras diperhitungkan sebagai subsidi tidak langsung kepada petani. 
Penanggulangan kemiskinan dilakukan melalui berbagai upaya untuk menjamin kehormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin, perwujudan keadilan dan kesetaraan gender, serta percepatan pembangunan pedesaan, perkotaan, kawasan pesisir, dan kawasan tertinggal. Masalah kemiskinan bukan hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga masalah kerentanan dan kerawanan orang atau seklompok orang baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin. Masalah kemiskinan juga menyangkut tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat miski untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.

Pemecahan masalah kemiskinan perlu didasarkan pada pemahaman suara masyarakat miskin, dan adanya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar mereka, yaitu hak sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk menegaskan komitmen dalam mengatasi kemiskinan, membangun konsensus bersama untuk melaksanakan penanggulangan kemiskinan melalui pendekatan hak-hak dasar; menegaskan komitmen dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan milenium (Mlilenium Development Goals) terutama tujuan penanggulangan kemiskinan, dan mendorong pengarustamaan kebijakan negara dalam penanggulangan kemiskinan.

Pendekatan hak-hak dasar, relevan dengan perkembangan dan permasalahan yang terjadi di Indonesia. Proses demokratisasi yang berlangsung selama ini diharapkan mempertajam pemahaman dan proses politik akan pentingnya perwujudan hak-hak dasar rakyat. Pendekatan berbasis hak juga memberikan penegasan pentingnya pelaksanaan otonomi daerah sebagai bagian dari upaya pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin. Dengan kewenangan dan sumberdaya yang lebih besar, pemerintah kabupaten dan kota berkewajiban untuk memberikan layanan dasar yang mudah, murah dan bermutu bagi masyarakat miskin, serta memberi ruang yang lebih luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.

Perbaikan tata pemerintahan akan membuka peluang lebih luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan memberdayakan masyarakat miskin, serta memberikan peran yang strategis bagi swasta dan berbagai pihak dalam mengatasi masalah kemiskinan. Perbaikan tata pemerintahan dan perluasan partisipasi harus menjadi bagian integral dari setiap kebijakan yang dilaksanakan untuk memberdayakan masyarakat miskin, dan meningkatkan taraf dan mutu hidup masyarakat miskin.
Dalam era globalisasi yang ditandai oleh persaingan, perubahan teknologi dan informasi yang begitu cepat, dan penerapan pasar bebas, peran negara dalam penyediaan barang dan jasa publik akan makin berkurang. Oleh sebab itu, pendekatan hak dasar mengatur peran minimum yang harus menjadi kewajiban negara dan tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Selain itu, upaya penanggulangan kemiskinan perlu memperhatikan adanya momentum kemitraan global dalam pencapainan tujuan pembangunan milenium. Penangggulangan kemiskinan dengan pendekatan berbasis hak menegaskan kewajiban negara (pemerintah, DPR, DPRD, lembaga tinggi negara, TNI dan lembaga penyelengga negara lainnya) untuk berupaya sekuat tenaga dan secara bertahap mewujudkan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin.


KESIMPULAN
1.    Upaya-upaya penanggulangan kemiskinan belum menyentuh langsung akar permasalahan kemiskinan di Indonesia.
2.    Upaya penanggulangan kemiskinan harus melibatkan masyaraat miskin dalam pembangunan dan penanggulangan kemiskinan di Indonesia
3.    Penanggulangan kemiskinan merupakan upaya bersama, dari pemerintah pusat sampai pemerintah daerah dan juga seluruh stakeholders dan masyarakat dalam menanggulangi dan menciptakan kondisi yang bisa memudahkan masyarakat dalam memenuhi segala kebutuhannya.






DAFTAR PUSTAKA
1. W.I.M. Poli. 2006. Suara Hati yang Memberdayakan, Pustaka Refleksi.
2. W.I.M. Poli. 2007. Modal Sosial Pembangunan, Hasanuddin University Press. Makassar.
3. W.I.M. Poli. 2008. Bahan Kuliah Ekonomi Perencanaan dan Strategi Pembangunan. Makassar.
4. UNDP.2004.Indonesia Human Development Report. The Economis of Democracy. BPS. BAPPENAS.
5. Indonesia Construsting a New Strategy for Proverty Reduction.  East Asia & Pacific Region. World Bank Office Jakarta.
6. United Nation. Laporan Pencapaian Milenium Development Goals Indonesia. 2007.
7. Lembaga Penelitian SMERU.2006. Peningkatan Kapasitas Pemerintah  Daerah Dalam Penanggulangan Kemiskinan Partisipatoris.
8. Badan Pusat Statistik.2007, Tingkat Kemiskinan di Indonesia

INFLASI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI



I.    PENDAHULUAN
Dalam pandangan umum,  Inflasi (Inflation) sering didefinisikan sebagai suatu kecenderungan dari harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus menerus. Definisi seperti itu dapat dijumpai dalam berbagai literature, diantaranya dalam encyclopedia gratis seperti Wikipedia yang mendefinisikan : “Inflation is a rise in the general level of prices of goods and services in an economy over a period of time”. Oleh beberapa ekonom seperti Frank Shostak, inflasi tidak dipandang hanya sebagai suatu kecendrungan dalam perekonomian tanpa melihat adanya campur tangan aktivitas masyarakat (human action). Inflasi tidak dapat dilihat sekedar adanya kenaikan harga melainkan merupakan an increase in the supply of money, which in turns sets in motion a general increase in the prices of goods and services. Pandangan Shostak tersebut ingin mempertajam argument selanjutnya yang akan menggambarkan banyak kerusakan ekonomi yang disebabkan apabila inflasi tidak dapat dikendalikan. Selanjutnya Shostak dengan tegas menyatakan adanya kesalahan Friedman dalam  memandang inflasi. Dimana menurut Friedman  (Dollar and Deficits), iflation is “expected” by producers and consumers, then it produces very little demage. Apapun alasannya, dalam kacamata Shostak inflasi tidak merupakan sesuatu yang dapat diharapkan karena inflasi akan mengakibatkan banyak kerusakan-kerusakan dalam ekonomi.
Pandangan terhadap inflasi dikalangan para ekonom memang banyak menyeret perdebatan-perdebatan intelektual. Namun, umumnya para ekonom sependapat bahwa masalah jangka pendek ekonomi makro yang utama adalah inflasi, pengangguran dan neraca pembayaran.
Inflasi sering dijadikan salah satu indikator stabilitas perekonomian sehingga laju perubahannya selalu diupayakan berada pada tingkat yang rendah dan stabil. Untuk mewujudkan inflasi rendah, pengendaliannya di Indonesia dilakukan dengan menerapkan strategi pentargetan inflasi (inflation targeting). Melalui kebijakan ini, Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter diberikan independensi yang tinggi dalam menetapkan target-target yang ingin dicapai (goal independency) dan kebebasan dalam menggunakan instrumen kebijakan untuk mencapai target tersebut (instrumen independency).
Paper ini akan menguraikan inflasi dan pertumbuhan ekonomi secara sistematis yang disadur dari beberapa sumber dengan diawali dari tinjauan teoritis terhadap inflasi, kemudian menghubungkannya dengan pertumbuhan ekonomi. Pada akhir tulisan akan diuraikan pula fakta yang terjadi di Indonesia utamanya dari sisi inflasi.

II. TINJAUAN TEORITIS TENTANG INFLASI
2.1  Teori Kuantitas
Teori ini adalah teori yang tertua yang membahas tentang inflasi, tetapi dalam perkembangannya teori ini mengalami penyempurnaan oleh para ahli ekonomi  Universitas Chicago, sehingga teori ini juga dikenal sebagai model kaum moneteris (monetarist models). Teori ini menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi.
Inti dari teori ini adalah sebagai berikut :
1.    Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang beredar, baik uang kartal maupun giral.
2.    Laju inflasi juga ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang beredar  dan oleh harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga di masa mendatang.
2.2  Keynesian Model
Dasar pemikiran model inflasi dari Keynes ini, bahwa inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan efektif masyarakat terhadap barang-barang (permintaan agregat) melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (penawaran agregat), akibatnya akan terjadi  inflationary gap. Keterbatasan jumlah persediaan barang (penawaran agregat) ini terjadi karena dalam jangka pendek kapasitas produksi tidak dapat dikembangkan untuk mengimbangi kenaikan permintaan agregat. Oleh karenanya sama seperti pandangan kaum  monetarist,  Keynesian models ini lebih banyak dipakai untuk menerangkan fenomena inflasi dalam jangka pendek.
Dengan keadaan daya beli antara golongan yang ada di masyarakat tidak sama (heretogen), maka selanjutnya akan terjadi realokasi barang-barang yang tersedia dari golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang relatif rendah kepada golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang lebih besar. Kejadian ini akanterus terjadi di masyarakat. Sehingga, laju inflasi akan berhenti hanya apabila salah satu golongan masyarakat tidak bisa lagi memperoleh dana (tidak lagi memiliki daya beli) untuk membiayai pembelian barang pada tingkat harga yang berlaku, sehingga permintaan efektif masyarakat secara keseluruhan tidak lagi melebihi supply barang (inflationary gap menghilang).
2.3  Mark-up Model
Pada teori ini dasar pemikiran model inflasi ditentukan oleh dua komponen, yaitu cost of production dan profit margin. Relasi antara perubahan kedua komponen ini dengan perubahan harga dapat dirumuskan sebagai berikut :
Price = Cost + Profit Margin
Karena besarnya  profit margin ini biasanya telah ditentukan sebagai suatu prosentase tertentu dari jumlah  cost of production, maka rumus tersebut dapat dijabarkan menjadi :
Price = Cost + ( a% x Cost )
Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada komponen-komponen yang menyusun  cost of production dan atau penaikan pada  profit margin akan menyebabkan terjadinya kenaikan pada harga jual komoditi di pasar.

2.4  Teori Struktural : Model Inflasi di Negara Berkembang
Banyak study mengenai inflasi di negara-negara berkembang, menunjukan bahwa inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena struktural atau cost push inflation. Hal ini disebabkan karena struktur ekonomi negara-negara berkembang pada umumnya yang masih bercorak agraris. Sehingga, goncangan ekonomi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen (akibat faktor eksternal pergantian musim yang terlalu cepat, bencana alam, dan sebagainya), atau hal-hal yang memiliki kaitan dengan hubungan luar negeri, misalnya memburuknya  term of trade; utang luar negeri; dan kurs valuta asing, dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik.
Fenomena struktural yang disebabkan oleh kesenjangan atau kendala struktural dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut dengan structural bottlenecks. Strucktural bottleneck terutama terjadi dalam tiga hal, yaitu :
1.    Supply dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis. Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pengerjaan sektor pertanian yang masih menggunakan metode dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi  supply dari sector pertanian domestik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya.
2.    Cadangan valuta asing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor. Keterbatasan cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barang-barang baik bahan baku; input antara; maupun barang modal yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan sektor industri menjadi terbatas pula. Belum lagi ditambah dengan adanya  demonstration effect yang dapat menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat. Akibat dari lambatnya laju pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan laju pertumbuhan  supply barang tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan permintaan.
3.    Pengeluaran pemerintah terbatas. Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan, akibatnya timbul defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkannya pinjaman dari luar negeri ataupun mungkin pada umumnya dibiayai dengan pencetakan uang (printing of money).
Dengan adanya structural bottlenecks ini, dapat memperparah inflasi di Negara berkembang dalam jangka panjang, oleh karenanya fenomena inflasi di negara-negara yang sedang berkembang kadangkala menjadi suatu fenomena jangka panjang, yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek.
Berbeda  dengan kaum monetaris yang memandang inflasi sebagai fenomena moneter, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam sektor moneter akibat dari kspansi jumlah uang beredar, kaum  neo-structuralist menekankan pada struktur Sektor keuangan. Dasar pemikiran kaum neo-structuralist ini adalah pengaruh uang terhadap perekonomian terutama ditransmisikan dari  supply side atau produksi. Menurut pemikiran kaum  neo-structuralist, uang merupakan salah satu factor penentu investasi dan produksi. Bila jumlah uang yang tersedia untuk investasi melimpah, menyebabkan harga uang (suku bunga) akan murah, maka volume investasi akan meningkat. Dengan meningkatnya volume investasi, volume produksi juga akan meningkat. Sehingga, penawaran barang meningkat, yang pada gilirannya akan menekan tingkat inflasi. Dengan dasar pemikiran yang seperti ini, timbul pendapat bahwa deregulasi di sektor finansial dan peningkatan jumlah uang beredar akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi seraya menekan inflasi.
Kaum strukturalis berpendapat, bahwa selain harga komoditi pangan, penyebab utama terjadinya inflasi di negara-negara berkembang adalah akibat inflasi dari luar negeri (imported inflation). Hal ini disebabkan antara lain oleh harga barang-barang impor yang meningkat di daerah asalnya, atau terjadinya devaluasi atau depresiasi mata uang di negara pengimpor. Menurut kesimpulan dari penelitian M.N. Dalal dan G. Schachter (1988), bila kontribusi impor terhadap pembentukan output domestik sangat besar, yang artinya sifat barang impor tersebut sangat penting terhadap price behaviour di negara importir, maka kenaikan harga barang impor akan menyebabkan tekanan inflasi di dalam negeri yang cukup besar. Selain itu, semakin rendah derajat kompetisi yang dimiliki oleh barang impor  (price inelastic)  terhadap produk dalam negeri, akan semakin besar pula dampak perubahan harga barang impor tersebut terhadap inflasi domestik.
2.5  Jenis Inflasi
Dalam ilmu ekonomi, inflasi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis dalam pengelompokan tertentu, dan pengelompokan yang akan dipakai akan sangat bergantung pada tujuan yang hendak dicapai.
 Jenis inflasi :
1.  Menurut Derajatnya
Inflasi ringan di bawah  10% (single digit)
Inflasi sedang 10% - 30%.
Inflasi tinggi 30% - 100%.
Hyperinflasion di atas 100%.
Laju inflasi tersebut bukanlah suatu standar yang secara mutlak dapat mengindikasikan parah tidaknya dampak inflasi bagi perekonomian di suatu wilayah tertentu, sebab hal itu sangat bergantung pada berapa bagian dan golongan masyarakat manakah yang terkena imbas ( yang menderita ) dari inflasi yang sedang terjadi.
2. Menurut Penyebabnya
Demand pull inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh terlalu kuatnya peningkatan  aggregate demand masyarakat terhadap  komoditi-komoditi hasil produksi di pasar barang. Akibatnya, akan  menarik (pull) kurva permintaan agregat ke arah kanan atas, sehingga terjadi  excess demand  ,  yang merupakan inflationary gap.  Dan dalam kasus inflasi jenis ini, kenaikan harga-harga barang biasanya akan selalu diikuti dengan peningkatan  output (GNP riil) dengan asumsi bila perekonomian masih belum mencapai kondisi  full-employment. Pengertian kenaikkan aggregate demand seringkali ditafsirkan berbeda oleh para ahli ekonomi. Golongan  moneterist menganggap  aggregate demand mengalami kenaikkan akibat dari ekspansi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Sedangkan, menurut golongan Keynesian kenaikkan  aggregate demand dapat disebabkan oleh meningkatnya pengeluaran konsumsi; investasi;  government expenditures; atau  net export, walaupun tidak terjadi ekspansi jumlah uang beredar.
Cost push inflation, yaitu inflasi yang dikarenakan bergesernya  aggregate supply curve ke arah kiri atas. Faktor-faktor yang menyebabkan aggregate supply curve bergeser tersebut adalah meningkatnya harga faktor-faktor produksi (baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri) di pasar faktor produksi, sehingga menyebabkan kenaikkan harga komoditi di pasar komoditi. Dalam kasus cost push inflation kenaikan harga seringkali diikuti oleh kelesuan usaha.
3.    Menurut Asalnya
Domestic inflation, yaitu inflasi yang sepenuhnya disebabkan oleh kesalahan pengelolaan perekonomian baik di sektor riil ataupun di sektor moneter di dalam negeri oleh para pelaku ekonomi dan masyarakat.
Imported inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh adanya kenaikan harga-harga komoditi di luar negeri (di negara asing yang memiliki hubungan perdagangan dengan negara yang bersangkutan). Inflasi ini hanya dapat terjadi pada negara yang menganut sistem perekonomian terbuka (open economy system).Dan, inflasi ini dapat ‘menular’ baik melalui harga barang-barang impor maupun harga barang-barang ekspor.
Terlepas dari pengelompokan-pengelompokan tersebut, pada kenyataannya inflasi yang terjadi di suatu negara sangat jarang (jika tidak boleh dikatakan tidak ada) yang disebabkan oleh satu macam / jenis inflasi, tetapi acapkali karena kombinasi dari beberapa jenis inflasi. Hal ini dikarenakan tidak ada faktor-faktor ekonomi maupun pelaku-pelaku ekonomi yang benar-benar memiliki hubungan yang independen dalam suatu sistem perekonomian negara. Contoh : imported inflation seringkali diikuti oleh cost push inflation, domestic inflation diikuti dengan demand pull inflation, dsb.



III  INFLASI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI
Pengaruh inflasi dalam pertumbuhan ekonomi telah menjadi salah satu isu utama yang terus diuji dalam makroekonomi. Model-model teori dalam literature pertumbuhan dan uang menganalisa dampak inflasi dan pertumbuhan. Pada tahun 1950an dan 1960an , pertumbuhan dan inflasi belum menjadi isu yang serius diperdebatkan.
Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang bila terjadi pertumbuhan outputriil. Definisi pertumbuhan ekonomi yang lain adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi bila ada kenaikan output perkapita. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output riil per orang.
Sementara negara-negara miskin berpenduduk padat dan banyak hidup pada taraf batas hidup dan mengalami kesulitan menaikkannya, beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan Kanada, negara-negara Eropa Barat, Australia, Selandia Baru, dan Jepang menikmati taraf hidup tinggi dan terus bertambah.Pertambahan penduduk berarti pertambahan tenaga kerja serta berlakunya hukum Pertambahan Hasil yang Berkurang mengakibatkan kenaikan output semakin kecil, penurunan produk rata-rata serta penurunan taraf hidup. Sebaliknya kenaikan jumlah barang-barang kapital, kemajuan teknologi, serta kenaikan kualitas dan keterampilan tenaga kerja cenderung mengimbangi berlakunya hukum Pertambahan Hasil yang Berkurang. Penyebab rendahnya pendapatan di negara-negara sedang berkembang adalah berlakunya hukum penambahan hasil yang semakin berkurang akibat pertambahan penduduk sangat cepat, sementara tak ada kekuatan yang mendorong pertumbuhan ekonomi berupa pertambahan kuantitas dan kualitas sumber alam, kapital, dan kemajuan teknologi.
Dalam zaman ahli ekonomi klasik, seperti Adam Smith dalam buku karangannya yang berjudul An Inguiry into the Nature and Causes of the Wealt Nations, menganalisis sebab berlakunya pertumbuhan ekonomidan factor yang menentukan pertumbuhan ekonomi. Setelah Adam Smith, beberapa ahli ekonomi klasik lainnya seperti Ricardo, Malthus, Stuart Mill, juga membahas masalah perkembangan ekonomi. Namun dari sekian banyak ekonom, ada beberapa teori yang dapat dikemukakan mengenai teori pertumbuhan yakni.    
A.Teori Inovasi Schum Peter
Pada teori ini menekankan pada faktor inovasi enterpreneur sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi kapitalilstik.Dinamika persaingan akan mendorong hal ini.
B.Model Pertumbuhan Harrot-Domar
Teori ini menekankan konsep tingkat pertumbuhan natural.Selain kuantitas faktor produksi tenaga kerja diperhitungkan juga kenaikan efisiensi karena pendidikan dan latihan.Model ini dapat menentukan berapa besarnya tabungan atau investasi yang diperlukan untuk memelihar tingkat laju pertumbuhan ekonomi natural yaitu angka laju pertumbuhan ekonomi natural dikalikan dengan nisbah kapital-output.
C.Model Input-Output Leontief.
Model ini merupakan gambaran menyeluruh tentang aliran dan hubungan antarindustri. Dengan menggunakan tabel ini maka perencanaan pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan secara konsisten karena dapat diketahui gambaran hubungan aliran input-output antarindustri. Hubungan tersebut diukur dengan koefisien input-output dan dalam jangka pendek/menengah dianggap konstan tak berubah .

D.Model Pertumbuhan Lewis
Model ini merupakan model yang khusus menerangkan kasus negara sedang berkembang banyak(padat)penduduknya.Tekanannya adalah pada perpindahan kelebihan penduduk disektor pertanian ke sektor modern kapitalis industri yang dibiayai dari surplus keuntungan.
E.Model Pertumbuhan Ekonomi Rostow
Model ini menekankan tinjauannya pada sejarah tahp-tahap pertumbuhan ekonomi serta ciri dan syarat masing-masing. Tahap-tahap tersebut adalah tahap masyarakat tradisional, tahap prasyarat lepas landas, tahap lepas landas, tahap gerakan ke arah kedewasaan, dan akhirnya tahap konsimsi tinggi.
Apakah inflasi dan pertumbuhan saling terkait, terkait langsung atau tidak? Apakah hubungan empiris pertumbuhan - inflasi terutama hubungan jangka panjang lintas negara, hubungan jangka pendek lintas waktu, atau keduanya? Seperti pada pasangan yang bertengkar, inflasi dan pertumbuhan sepertinya tidak bisa  disimpulkan bagaimana seharusnya hubungannya.
Dalam tulisan ini, kita menggolongkan literatur dalam inflasi dan pertumbuhan. Menyadari keterbatasan dari perbandingan keuntungan, kita tidak berniat melakukan survey besar dari literatur. Sebagai gantinya, kita melihat pada aspek dari literatur yang memotivasi kita untuk mengejar  satu sudut tertentu pekerjaan terbaru kita: tingkah laku dari pertumbuhan sebelumnya, yang sedang berjalan, dan setelah terbebas dari krisis inflasi tingkat tinggi.
Inflasi dan pertumbuhan: Perjalanan melintasi Dekade
    Pengamatan terhadap inflasi ekstrim meyakinkan bahwa inflasi adalah buruk untuk perekonomian. Keynes, seperti biasa, memberikan penyataan yang paling baik, "Sebagai proses inflasi dan nilai sebenarnya dari fluktuasi mata uang yang ramai dari bulan kebulan, semua hubungan permanen antara debitur dan kreditur, yang mana merupakan pondasi terakhir dari kapitalisme, menjadi begitu dikacaukan sehingga menjadi hampir tidak berarti; dan proses dari medapatkan kekayaan merosot jadi perjudian dan lotere. Penekanan informasi dan sistem finansial telah dikembalikan ke dalam literatur hari ini. Tapi hubungan inflasi dan perkembangan bisa dilihat sangat berbeda saat ini. Kita bisa menebak literatur pada tahun 1960 samapai dengan 1980an.
Pandangan dari tahun 1960an.
Pada pertumbuhan tinggi, inflasi rendah tahun 1960an, kaum tradisional memandang bahwa inflasi adalah destruktif tidak lagi tampak sangat memaksa. Ini adalah masa keemasan dari Phillips curve, dimana inflasi dan perkembangan secara positif terkait untuk sementara waktu. Bahkan pada akhirnya, Tobin dan Sidrauski menyarankan satu efek positif pada perkembangan inflasi yang lebih tinggi. Ketika inflasi tinggi, kekayaan akan direalokasikan dari uang ke dalam bentuk modal fisik.
    Dengan cara yang sama, beberapa teori pembangunan menyarankan bahwa inflasi adalah satu cara untuk mengerahkan semua sumber daya bergerak untuk akumulasi modal. Pada awal mulanya pengalaman dari perkembangan suatu negara dibantah dengan melihat perekonomian Israel misalnya, berkembang sekitar 10% per tahun antara tahun 1948 dan 1973, dengan nilai inflasi sekitar 6% sampai 7% per tahunnya. kedua figur ini merupakan Organisasi dobel untuk Ekonomi Koperasi dan Developmen untuk periode yang sama. Yang lebih tinggi sebagian besar inflasi diantisipasi untuk mempertimbangkan dengan baik untuk membayar baraang berharga, terutama sebagai indeks yang tersebar luas dari upah, nilai tukar, dan meminimalkan penyimpangan biaya penyimpanan dari inflasi. Israek bukan pengecualian- berbagai ekonomi berkembang di amerika Latin dan Asia kelihatannya memiliki strategi yang sama.
    Studi empiris awal pada perkembangan inflasi dan ekonomi diragukan sebagai teori dalam paragraf sebelumnya. Harry G. Johnson pada tahun 1967 menyarankan bahwa tidak ada bukti konklusi satu arah dari yang lainnya. IMF pasti tidak menyemaikan inflasi, namun studi pada Staff IMF Paper pada saat itu menemukan tidak ada hubungan antara pertumbuhan dan inflasi. Amerika latin punya dua digit angka pada tahun 1950an dan 1960an, tapi pertumbuhan ekonomi dapat diprediksi. Brazil sering dikutip sebagai inflasi tingkat tinggi, pertumbuhan tingkat tinggi menuju dugaan masa lalu yang mana inflasi dianggap tidak baik bagi perekonomian.
Satu pengecualian yang menarik terhadap kekurangan yang ditemukan pada literatur ini disatukan oleh Wallichs (1969), studi seksi silang (43 negara), membutuhkan rata-rata 5 tahun pada periode 1956-65. Tipikal dari literatur saat itu, yakni memiliki dalil hubungan yang positif antara inflasi dan pertumbuhan. Namun hal tersebut menemukan gantinya sebuah hubungan signifikan yang negatif.
    Kita dapat melihat mengapa pada tahun 1950an dan 1960an  menghasilkan penemuan yang rancu ketika kita melihat data pada periode tersebut. Figur satu menunjukkan bahwa pertumbuhan rata-rata perkapita sebenarnya berkembang sebagai satu satuan dari satu digit menuju dua digit inflasi. Hanya ketika tingkat inflasi tahunan mencapai 20 % hubungan tampaknya menjadi negatif. Sejak saat  itu tidak banyak hasil pengamatan tingkat inflasi lebih besar dari 20%, perkiraan hubungan menjadi sesitif dengan pengamatan yang dimasukkan, permasalahan terselesaikan pada tahun 80an.
    Secara keseluruhan, pandangan dari tahun 60an terhadap inflasi dan pertumbuhan sangat membingungkan. Teori yang diperkirakan sebagai hubungan jangka pendek sebenarnya positif, dimana hubungan jangka panjang dapat masuk. Studi empiris sering tidak menemukan apa-apa.
  
  
Pandangan pada tahun 1980an
    Karena penelitian pada pertumbuhan mengarah kepada hibernasi pada tahun 70an, kita lompat menuju tahun 80an dan penelitian gelombang baru.
    Pada tahun 70an dan 80an memberikan pengalaman inflasi ekstrim baru, dimana diinfestigasi oleh studi literatur yang menarik setelah tahun 80an. Literatur ini memulihkan output fokus prilaku umum terhadap biaya output jangka pendek dari stabilitas inflasi tingkat tinggi. Konsensus tentang stabilisasi hiper inflasi menghasilkan biaya output yang sedikit bahkan tidak ada, dimana stabilisasi inflasi tingkat tinggi semata-mata membutuhka biaya.
    Dengan demikian anggapan terakhir pada tahun 80an bahwasanya saat itu ada hubungan positif jangka pendek antara pertumbuhan dan inflasi. Anggapan ini dalam studi kasus inflasi tingkat tinggi dalam mengembangkan suatu negara mungkin diilhami pada bagian literatur negara industri, dimana berlanjut menuju konfirmasi bahwa stabilisasi inflasi tigkat rendah sebenarnya membutuhkan biaya. Ball (1993), untuk mengambil satu contoh baru, menghitung rasio kerugian besar terhadap pertumbuhan yang batal dalam stabilitas inflasi terhadap negara-negara OECD.
    Literatur studi kasus menekankan bahwa inflasi tingkat tinggi sebenarnya tidak stabil. Ketika inflasi mencapai diatas Range tertentu, maka ia mudah mendapatkan akselerasi. Indeks peningkatan dari melemahnya ekonomi tingkat harga nominalnya menuriun derasris. Negara tidak dapat menoleransi inflasi tingkat tinggi dan inflasi yang tidak stabil, jadi negara mengejar stabilisasi secara adil dan tepat setelah inflasi di kembabangkan.. Karena itu inflasi tingkat tinggi tidak begitu memiliki fenomena keadaan yang kokoh sebagai bagian terpisah dari inflasi yang diikuti oleh stabilisasi.
    Sebaliknya, studi kasus menekankan bahwa Range pertengahan dari inflasi moderat sekitar 15% - 30%. Inflasi moderat ini dapat mendukung periode yang panjang tanpa mengalami masalah. Kolombia adalah contoh yang sempurna.
    Inflasi adalah lambat dalam menarik perhatian sebagai satu variabel kebijakan kunci pada literatur pertumbuhan yang baru. Survey dari Barro dan Sala I martins 1995 tentang literatur pertumbuhan empiris membahas 10 fariabel untuk penurunan pertumbuhan. Inflasi tidak termasuk diantaranya. Kemudian mereka menyebutkan 14 kemungkinan fariabel yang lain. Inflasi tidak termasuk diantaranya. Inflasi tidak termasuk dimana teks dari Barro dan Sala I kecuali pada satu problem pada bab terakhir.
    Namun inflasi secara berangsur-angsur menarik perhatian dari teori pertumbuhan baru. Teori mendalilkan mekanisme dimana inflasi bisa saja mempegaruhi pertumbuhan dengan kurang baik. Pengarang seperti James dan Manuelli (1993) dan De gregorio (1993) menekankan bahwa inflasi merupakan pajak dari model kapital dengan kebutuhan akan kas untuk investasi.
    Studi empiris dalam literatur pertumbuhan baru menamukan sebuah pertumbuhan inflasi yang negatif. Sebuah studi literatur sebelum pertumbuhan pada tahun 1985 melaporkan tentang penemuan pertumbuhan GDP yang negatif sejalan dengan tigkat pertumbuhan inflasi. Fischer (1993) menemukan bahwa pertumbuhan itu sejalan dengan kebalikan dari inflasi. Pada studi lain pertumbuhan baru empiris melaporkan penemuan yang sama.
    Model pertumbuhan baru tentu saja fokus pada jangka panjang. Kebijakan kolektif dari literatur seharusnya dibuat konsisten dengan mengatakan bahwa inflasi secara positif sejalan dengan pertumbuhan dalam jangka pendek, frekuensi siklus, namun secara negatif berhubungan kepada perkembangan jangka panjang, frekuensi kuat.
    Hanya ada satu masalah dalam rekonsiliasi ini terhadap jangka panjang- tidak ada jangka panjang yang kokoh, hubungan seksi silang antara inflasi dan pertumbuhan. Statistik hubungan signifikan negatif pada literatur pertumbuhan baru yang disatukan dalam gugus berkala, contoh-contoh seksi silang menggunakan dekade rata-rata, rata-rata lima tahun, atau bahakan data tahunan.
    Inflasi seksi silang dan pertumbuhan seksi silang penyamaannya tidak bekerja. Levine dan Renelt (1992) dan Levine dan Zevros (1993) menggunakan menggunakan batasan ekstrim Leamer untuk mempelajari bagaimana inflasi masuk kedalam kemunduran pertumbuhan seksi silang. Tidak hanya inflasi tidak kokoh secara signifikan pada Levine dan Renelt (1992), ini tidak pernah signifikan pada banyak kombinasi variabel regresi pertumbuhan. Levine dan Zevros (1993) menemukan bahwa hubungan seksi silang manapun yang tidak menunjukkan kesesuaian pada pasangan poin yang berpengaruh. Nicaragua dan Uganda. Pada tes kami menggunakan data kami, dan kami menemukan hubungan seksi silang signifikan untuk menyesuaikan seluruhnya di Nicaragua. Nicaragua dan Uganda, keduanya dimana memiliki ledakan inflasi yang terpisah selama perang sipil, jangan membentuk banyak basis penasehat anti inflasi, kata bank Canada.
Hubungan seksi silang tidak bekerja sebagian karena memiliki angka inflasi yang tinggi, pertumbuhan tinggi yang asing menghentikan pengaturan di Uganda dan Nikaragua. Kemudian Brazil mulai asing, dengan hanya sedikit contoh lain seperti Indonesia dan Israel.
Problem kesulitan juga sulit menyelesaikan dua masalah ekonomi tentang hubungan pertumbuhan inflasi. Problem kausalitas pertama. Sulit untuk memikirkan secara masuk akal instrumen eksogenus untuk inflasi yang bisa mengeluarakan dari regresi pertumbuhan. Kandidat yang memimpin untuk instrumen tersebut adalah ukuran dari institusi sejarah yang berefek pada kecendrungan, seperti bank sentral independen atau warisan masa lalu. Sayangnya, instrumen ini hanya bisa pada dimensi seksi silang, jadi ada kerapuhan yang sama yang yang mengganggu sedikitnya regresi pertumbuhan inflasi.
    Kedua,masalah nonlinier : Tampaknya tidak masuk akal bahwa tambahan poin 100% berarti sama dengan 0(nol) sebagaimana berarti pada 1000. Tapi mencoba untuk menyelesaikan regresi adalah sangat sensitif terhadap satu atau dua poin pada range pertengahan yang relevan, seperti yang ditunjukkan oleh levine dan zervos.
Masalah non linear sejalan terhadap dimensi lain dari kekurangan kekokohan regresi pertumbuhan inflasi. Ketergantungan dari hasil pada pengamatan inflasi tinmgkat tinggi. Artikel yang dikeluarkan oleh Barro menemukan bahwa tiada hubungan antara kelompok dekade rata-rata dan inflasi ekonomi dengan inflasi tahunan kurang dari 15%. Kami menemukan yang lebih umum bahwa hubungan pertumbuhan inflasi sangat jauh bahkan pada kelompok time series, data dari berbagai negara dapat diset jika kita menghilangkan semua negara yang pernah mengalami inflasi lebih besar dari 40% (sebuah break point akan dikembalikan padanya pada suatu waktu). Bahkan pada hubungan yang kuat kelompok data yang diset berasal pada pengamatan inflasi ekstrim.
KRISIS INFLASI TINGKAT TINGGI DAN PERTUMBUHAN INFLASI TINGKAT TINGGI
Dengan menggunakan kegagalan hubungan seksi silang, muncul teka-teki dimana hubungan kuat pertumbuhan inflasi dalam kelompok data berasal. Kita mempelajari teka-teki ini dengan melihat sudut lain dari persoalan tersebut berasal. Apa yang jadi pola dari pertumbuhan sebelum, sedang berlangsung, dan setelah krisis inflasi tingkat tinggi ? Literatur studi kasus telah menyelesaikan episode tersebut dalam ivent dimana inflasi tingkat tinggi terjadi. Inflasi tingkat tingi sedikit mirip dengan aliran steady state seperti sungai atau lebih mirip pada banjir sekejap. Dan ini adalah infl;asi tingkat tinggi lain ini kelihatannya memberikan hasil kelompok regresi pertumbuhan inflasi.
Kami mendefinisikan krisis inflasi tingkat tinggi sebagai inflasi tahunan yang lebih besar dari 40% untuk 2 tahun atau lebih. Kami memeilih diambang 40% karena literatur inflasi moderat menyarankan bahwa inflasi antara 15% hingga 30% dapat didukung pada waktu yang lama tanpa mengalami gangguan. Kriteria kami mengambil 32 krisis inflasi dari 26 negara. Rata-rata inflasi yang berlangsung pada periode krisis adalah 3 digit, sekitar 20% pada periode non krisis.
Kami menemukan pola kokoh yang sederhana. Tabel satu menunjukkan pola pertumbuhan sebelumnnya, yang sedang berlangsung dan setelah krisis inflasi ini. Kita menggunakan 2 alternatif ukuran dari pertumbuhan : 1. Petumbuhan perkapital dan, 2. dan pertumbuhan relatif perkapital berdasarkan rata-rata dunia. Kita juga mencoba menghilangkan pegamatan ekstrim, sadar akan problem dari Nikaragua- Uganda bahwa akan mengganggu hubungan seksi silang. Polanya sederhan. Pertumbuhan menurun tajam selama krisis inflasi. Pertumbuhan meningkat melebihi pertumbuhan rata-rata sebelum krisis setelah krisis selesai. (Ada indikasi bahwa pertumbuhan berada di bawah rata-rata sebelum krisis, namun ini tidak kokoh untuk menghilangkan pengamatan ekstrim).
Tabel dua menunjukkan 7 negara dengan periode panjang sebelum, selama, dan setelah krisis. Ini tidak dicatat bahwa beberapa negara yang asing dalam hubungan seksi silang, sebagai contoh, Brazil, Indonesia, dan Israel- mencocokkan pola keruntuhan dan pemulihan dengan baik.
    Jadi, mengapa tidak pernah bekerja hubungan saling silang? Kami memeriksa apakah keruntuhan dan penyembuhan merata-ratakan seperti tidak ada tanda tertinggal pada pertumbuhan setelah krisis inflasi.
    Ide kami adalah sebagai berikut. Misalkan negara A dan negara B adalah identik kecuali jika negara A memiliki ciri krisis inflasi tersendiri dan negara B tidak memilikinya. Pada periode pertama, Negara A dan B memiliki tingkat pertumbuhan yang identik (g1) dan dan tingkat inflasi yang identik. Pada periode kedua, negara A memiliki krisis inflasi-inflasi naik menjadi tiga digit nomor- dan pertumbuhan turun mejadi g2g1, sedangkan negara B tetap pada g1. Andaikan bahwa rata-rata dari g2 dan g3 (bobot oleh panjang periode) adalah g1. Kemudian negara A telah tepat pada trendnya, dan pertumbuhan rata-ratanya melebihi negara B pada periode yang sama yaitu g1. Tingkat inflasi rata-rata negara A pada sisa periode lebih tinggi dari negara B namun pertumbuhan periode rata-ratanya adalah sama. Seksi silang pemulihan berdasarkan pada kedua negeri ini tidak akan mendeteksi efek pertumbuhan terkait dengan inflasi.
    Beginilah kira-kira situasi yang kita temukan dengan ciri krisis inflasi tinggi. Kita gunakan Regresi Investasi Pertumbuhan Levine-Renelt (1992) yang terkenal, populasi pertumbuhan, pemasukan awal, dan pengetahuan kedua (variabel inti set mereka yang kuat) untuk mengontrol karakteristik negara yang tidak sama. Kemudian   
kami memeriksa di sisa regresi ini untuk sebelum, sedang berlangsung, dan setelah sub periode dari negara tersebut dengan krisis inflasi tinggi. Kami menemukan bahwa negatif selama krisis dan sisa positif setelah krisis residual cenderung keluar rata-rata yang akan sama dengan sisa sebelum krisis. sebelum krisis yang sisa itu sendiri tidak negatis secara sistematis di negara-negara krisis inflasi.
    Kami melihat bahwa hubungan jangka panjang antara inflasi dan pertumbuhan tidak dalam dasar yang sangat kuat. Bagaimana dengan hubungan positif jangka pendek antara inflasi dan pertumbuhan? Literatur studi kasus mencatat bahwa fenomena yang mengejutkan dari asosiasi ekspansi output jangka pendek dengan stabilisasi dari inflaisi tinggi. LiteRATUR ini memiliki atribut ekspansi output ke (tidak sering) menggunakan tingkat pemekaran sebagai sebuah tingkat nominal, yang mana mungkin menimbulkan suatu konsumsi siklus hidup perkembangan perdagangan yang pendek. Penemuan kami, betapapun, mengusulkan bahwa ekspansi output setelah pengurangan dari inflasi tinggi mungkin memberikan fenomena umum yang lebih.
    Dalam buku selanjutnya, Easterly(1996) membahas pola dari tahun ketahun dari kemerosotan dan pemulihan selama disinflasi dari level awal yang tinggi. Segara meningkatkan pertumbuhan pada tahun partama dari penurunan inflasi setelah puncak dan akselerasi menuju pertumbuhan positif yang tinggi.
    Ironisnya, kesanggupan dari hubungan pertumbuhan inflasi dalam pertumbuhan literatur empiris jangka panjang kelihatannya datang dari jangka pendek dari pada jangka panjang. Pada inflasi tinggi, ada hubungan negatif antara inflasi dan pertumbuhan bahkan pada jangka pendek.Tidak ada yang nampak dalam hubungan jangka panjang, suatu negara bisa pulih setelah negara itu menyelesaikan krisis inflasi.

IV FAKTA DI INDONESIA
Semua negara di dunia selalu menghadapi permasalahan inflasi ini. Oleh karena itu, tingkat inflasi yang terjadi dalam suatu negara merupakan salah satu ukuran untuk mengukur baik buruknya masalah ekonomi yang dihadapi suatu negara. Bagi negara yang perekonomiannya baik, tingkat inflasi yang terjadi berkisar antara 2 sampai 4 persen per tahun. Sebagai gejala historis, tingkat inflasi di Indonesia lebih tinggi daripada di negara tetangga ASEAN seperti Thailand dan Malaysia. Mengapa?  Dan Apakah ini menguntungkan kehidupan serta pembangunan ekonomi?   Pada umumnya tidak.  Kinerja ekonomi dan laju pertumbuhan PDB di Thailand dan Malaysia lebih tinggi daripada di Indonesia.  Di Asia Tenggara Indonesia lebih mirip Filipina.  Inflasi di Filipina juga lebih tinggi (sedikit) daripada di Thailand dan Malaysia, dan laju pertumbuhan ekonomi Filipina juga di bawah Thailand dan Malaysia.

Kinerja ekonomi mana lebih baik, di Indonesia atau di Filipina?  Ini agak susah dijawab.  Mungkin Filipina lebih baik sedikit.  Filipina sesudah perang dunia kedua sudah mempunyai pendapatan per kapita yang lebih tinggi daripada kebanyakan negara ASEAN, akan tetapi sesudah itu di lampaui oleh Thailand dan Malaysia.  Sekarang pendapatan orang di Filipina mungkin masih lebih tinggi sedikit daripada di Indonesia, akan tetapi perbedaannya tidak banyak.  Filipina sering disebut “the sick man of Asia”, dan akar penyakitnya ada di struktur sosialnya.  Tetapi struktur sosial di Indonesia lain daripada di Filipina, yang dikuasai oleh sekelompok tuan tanah yang besar. Mungkin kelebihan di Malaysia dan Thailand (dibandingkan Indonesia) adalah peran unsur penduduk Tionghoanya di perekonomiannya lebih besar.  Di Indonesia penduduk etnis Tionghoa juga menguasai ekonomi tetapi tidak punya pengaruh politik.  Di Indonesia politik ada di tangan penduduk golongan pribumi yang mayoritas.  Mungkin perbedaan ini menyebabkan kualitas politik ekonomi di Indonesia lain daripada di Thailand dan Malaysia. Maka mungkin juga akar inflasi yang tinggi ada di keadaan sosial-politik ini.  Golongan pribumi adalah mayoritas akan tetapi yang berpendapatannya lebih rendah,  Salah suatu ciri orang miskin adalah punya nafsu mengkonsumsi lebih banyak dibandingkan pendapatan riilnya.  Kalau masyarakat mau mengeluarkan uang lebih banyak daripada nilai produksinya maka harga-harga akan naik. Inilah sumber inflasi di Indonesia.
Inflasi di Indonesia di zaman Suharto pun lebih tinggi daripada di Malaysia dan Thailand, walaupun tingkat inflasi di zaman Suharto sudah jauh lebih rendah daripada di zaman Bung Karno.  Itu akibat perubahan policy dari team ekonomi yang dikendalikan oleh Prof. Widjojo dan Ali Wardhana.  Mereka berhasil mengurangi inflasi yang sebelumnya ratusan persen setahun dan merupakan runaway inflation.  Senjatanmya adalah balanced budget, anggaran pemerintah yang berimbang.  Rumus ini cukup berhasil.
Di zaman Orde Baru belum ada ketentuan bahwa Bank Indonesia mempunyai misi utama menjaga nilai rupiah, alias pengekangan inflasi.  Baru setelah Reformasi tahun 1998 ketentuan demikian dituangkan dalam undang-undang yang menjaga independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral.  Ini banyak membantu untuk mengurangi inflasi.
Apakah lalu kebijakan anggaran belanja pemerintah menjadi sumber inflasi?  In prinsip, tidak.  Karena prinsip anggaran belanja yang berimbang masih dipertahankan.  Akan tetapi, dalam praktek ini belum merupakan jaminan. APBN yang meningkat, walaupun tetap berimbang, dampaknya inflator. Prinsip anggaran berimbang tidak boleh dipegang terlalu kaku. Misalnya, akhir tahun 2005 ada kelebihan penerimaan besar karena sebagian subsidi BBM dihapus.  Jumlah ini lalu “dipaksakan” menjadi pengeluaran pemerintah atas nama anggaran yang berimbang.  Policy demikian ikut meniup inflasi.  Sebetulnya anggaran belanja pemerintah harus diperbolehkan mengumpulkan surplus yang dampaknya akan deflator.

Akan tetapi, selalu ada tekanan dari masyarakat agar pemerintah mengeluarkan uang lebih banyak untuk pembangunan, atau untuk membantu sektor pendidikan dan kesehatan.  Di sinilah pemerintah terjebak “gejala orang miskin” yang selalu mau hidup di atas kemampuan penghasilannya. Idée fix masyarakat adalah kalau pemerintah meningkatkan pengeluaranya untuk pembangunan maka laju pertumbuhan ekonomi akan naik. Ini salah pikir.  Yang lebih menentukan tingkat laju pertumbuhan ekonomi adalah total investasi di masyarakat, termasuk dari swasta dalam dan luar negeri. Jumlah ini tidak akan optimal kalau iklim moneternya serba inflator, yang mengganggu stabilitas ekonomi dan menambah resiko.Kemakmuran yang dibawa oleh inflasi adalah semu. Orang merasa lebih kaya oleh karena pegang uang lebih banyak.  Akan tetapi nilai uang merosot sehingga akhirnya orang atau masyarakat itu menjadi lebih miskin.
Inflasi di Indonesia bak penyakit endemis (seperti malaria) dan berakar di sejarah. Tingkat inflasi di Malaysia dan Thailand senantiasa lebih rendah. Inflasi di Indonesia tinggi sekali di zaman Presiden Sukarno, karena kebijakan fiskal dan moneter sama sekali tidak prudent (“kalau perlu uang, cetak saja”). Di zaman Suharto pemerintah berusaha menekan inflasi akan tetapi tidak bisa di bawah 10% setahun rata-rata, antara lain oleh karena Bank Indonesia masih punya misi ganda, antara lain sebagai agent of development, yang bisa mengucurkan kredit likuiditas tanpa batas. Baru di zaman reformasi, mulai di zaman Presiden Habibie maka fungsi Bank Indonesia mengutamakan penjagaan nilai rupiah. Tetapi karena sejarah dan karena inflationary expectations masyarakat (yang bertolak ke belakang, artinya bercermin kepada sejarah) maka “inflasi inti” masih lebih besar daripada 5% setahun. Bank Indonesia sekarang punya sasaran untuk menekan angka inflasi ini. Di level teknis sudah ada kesepakatan antara Pemerintah dan Bank Indonesia untuk membawa tingkat inflasi jangka panjang ke kisaran 3% setahun. Untuk tahun 2005 sasaran BI adalah 6% plus-minus 1%, untuk tahun 2006 5,5% plus-minus 1% dan untuk tahun 2007 5% plus-minus 1%. Maka yang menjadi tarohan adalah inflasi tahun 2005 ini yang dibayangi oleh kenaikan harga BBM. Menurut LPEM-FEUI akan ada tambahan inflasi sekitar 1%, tetapi ada pakar ekonomi lainnya yang memperkirakan 3%, bahkan pakar BPS memasang angka 12%. Pengalaman sejarah menujukkan pengaruh kenaikan harga BBM kepada inflasi dalam kisaran 1-2% setahun.
Pengendalian inflasi masih menghadapi resiko intern dan ekstern yang cukup besar. Dari dalam negeri ada pengaruh politik untuk mengucurkan dana perbankan yang lebih besar ke sektor riil, terutama ke sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), dengan suku bunga yang rendah. BI juga tidak dapat mengendalikan perkembangan M-zero secara sempurna, karena perbankan komersial harus melayani keperluan uang para nasabanya, yang bisa dipengaruhi oleh inflationary expectations. Resiko dari sektor ekstern timbul kalau harga minyak bumi masih terus naik, atau nilai rupiah mengalami depresiasi. Belakangan ini bahkan beberapa komoditi pertanian, seperti beras dan gula, mengalami kenaikan harga internasional, yang semuanya akan menjadi imported inflation bagi Indonesia. Beberapa “fundamental ekonomi” yang belum baik sebagai penghalang tercapainya laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Pertama, masih tingginya pengangguran dan kerentanan pasar tenaga kerja. Kedua, lemahnya kegiatan investasi dan permasalahan fundamental terkait. Ketiga, tingginya potensi tekanan inflasi secara struktural. Pengangguran yang tinggi terkait kepada pertambahan penduduk dan kualitas pendidikan dan skill sebagian terbesar SDM kita. Di lain fihak pasar tenaga kerja juga kurang fleksibel, artinya, amat mahal bagi perusahaan untuk mengurangi tenaga kerjanya kalau pasarnya menciut. Biaya pesangon untuk pemutusan hubungan kerja amat tingginya. Karena hubungan industrial di Indonesia kurang menguntungkan perusahaan maka banyak bakal investor internasional memilih lokasi Cina dan Vietnam ketimbang Indonesia.

Lemahnya kegiatan investasi baru juga oleh karena bagi pengusaha kepastian hukum sejak reformasi telah berkurang. Pelaksanaan otonomi daerah menambah ketidak pastian. Indonesia sekarang terkenal sebagai high-cost economy. Salah satu sumber ekonomi biaya tinggi adalah kurang memadainya infra-struktur, karena sejak 1998 praktis tidak ada investasi pemerintah di bidang infra-struktur ini.

Sebetulnya masih ada suatu rintangan fundamental, yakni intermediasi sistim perbankan belum bisa bekerja secara normal, karena ketatnya prudential rules yang baru dan masih ada trauma kredit macet.
Sejak tahun 2004 sudah ada tanda-tanda positip kenaikan investasi dan ekspor akan tetapi belum cukup untuk mengembalikan kinerja zaman sebelum krisis. Waktu itu jumlah investasi nasional (gross) sekitar 30% dari PDB. Di tahun 2004 baru melintasi 20% dari PDB. Statistik impor barang modal juga mulai naik. Akan tetapi, kebanyakan investasi yang masuk belakangan ini ditujukan ke sektor-sektor yang lebih konsumtip, seperti real estate dan shopping malls. Investor asing, misalnya Jepang, juga masih ragu-ragu masuknya, walaupun sudah cukup banyak investor dari negara tetangga Asean (Singapura, Malaysia) dan dari Cina yang mulai masuk. Tetapi, yang dibutuhkan adalah investasi di bidang industri yang menopang ekspor. Daya saing ekspor Indonesia telah melemah, antara lain oleh karena sejak krisis tidak ada investasi baru untuk meningkatkan teknologi. Maka bisa diadakan kesimpulan bahwa kebijakan fiskal dan moneter adalah sangat penting dan diperlukan akan tetapi belum cukup untuk meraih pertumbuhan tinggi bagi ekonomi Indonesia. Yang masih diperlukan adalah kebijakan-kebijakan untuk mengimbangi kelemahan struktural, seperti penegakan hukum untuk menjamin kepastian usaha dan perubahan dalam hubungan perburuhan. Pelaksanaan otonomi daerah harus dibenahi agar kepastian usaha bagi perusahaan lebih besar. Administrasi perpajakan juga harus dirombak karena ketidak pastian dan KKN dalam perkiraan serta pungutan pajak mengganggu banyak perusahaan besar.
Pada umumnya kebijaksanaan pemerintah sekarang untuk mencapai laju pertumbuhan lebih tinggi adalah cukup konservatip (prudent), menyadari bahwa banyak tergantung dari jumlah investasi, yang sebagian besar harus datang dari sektor swasta. Maka yang paling penting adalah membangun iklim investasi yang menarik. Sesudahnya, kita harus sabar menunggu investasi ini datang. Baru sesudah itu laju pertumbuhan akan PDB naik.
Pemerintah sendiri harus memaksimalkan investasi lewat anggaran belanjanya, misalnya untuk membangun infra-struktur yang tidak menguntungkan bagi investor swasta. Tetapi, pengelolaan APBN ini masih mengandung permasalahan sendiri, yang juga terkait dengan prinsip kehati-hatian (prudence). Sasaran Presiden SBY yang dikumandangkan di masa kampanye sebetulnya terlalu ambisius (misalnya mencapai laju pertumbuhan rata-rata 6,6% dalam lima tahun). Laju pertumbuhan di tahun pertama (2005) mungkin sekali (baru) 5,5%. Apa laju pertumbuhan tahun 2009 bisa mencapai 7,6%? Potensinya ada, akan tetapi apakah bisa “dipaksakan”?

Ada yang mau memaksakan dengan memperbesar defisit APBN (menjadi lebih besar dari 1% PDB). Masalahnya adalah bagaimana membiayainya? Dengan menambah utang luar negeri? Bisa dengan menambah utang dalam negeri akan tetapi harus dijaga jangan crowding out pasar kredit bagi sektor swasta. Ada yang menganjurkan jangan takut inflasi naik. Ini main dengan api. Sekali inflasi tertiup maka masyarakat ingat zaman yang lalu, sedangkan BI mau mengusahakan agar expectations ini forward looking.

3.2  Sumber-sumber Inflasi di Indonesia
Apabila ditelaah lebih lanjut, terdapat beberapa faktor utama yang menjadi penyebab timbulnya inflasi di Indonesia, yaitu :
3.2.1  Jumlah uang beredar
Menurut sudut pandang kaum moneteris jumlah uang beredar adalah factor utama yang dituding sebagai penyebab timbulnya inflasi di setiap negara, tidak terkecuali di Indonesia. Di Indonesia jumlah uang beredar ini lebih banyak diterjemahkan dalam konsep  narrow money ( M1 ). Hal ini terjadi karena masih adanya anggapan, bahwa uang kuasi hanya merupakan bagian dari likuiditas perbankan. Sejak tahun 1976 presentase uang kartal yang beredar (48,7%) lebih kecil dari pada presentase jumlah uang giral yang beredar (51,3%). Sehingga, mengindikasikan bahwa telah terjadi proses modernisasi di sektor moneter Indonesia. Juga, mengindikasikan bahwa semakin sulitnya proses pengendalian jumlah uang beredar di Indonesia, dan semakin meluasnya monetisasi dalam kegiatan perekonomian subsistence, akibatnya memberikan kecenderungan meningkatnya laju inflasi. Menurut data yang dihimpun dalam Laporan Bank Dunia, menunjukan laju pertumbuhan rata-rata jumlah uang beredar di Indonesia pada periode tahun 1980-1992 relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Dan,tingkat inflasi Indonesia juga relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya (kecuali Filipina). Kenaikkan jumlah uang beredar di Indonesia pada tahun 1970-an sampai awal tahun 1980-an lebih disebabkan oleh pertumbuhan kredit likuiditas dan defisit anggaran belanja pemerintah. Pertumbuhan ini dapat merupakan efek langsung dari kebijaksanaan Bank Indonesia dalam sector keuangan (terutama dalam hal penurunan reserve requirement).
3.2.1  Defisit Anggaran Belanja Pemerintah
Seperti halnya yang umum terjadi pada negara berkembang, anggaran belanja pemerintah Indonesia pun sebenarnya mengalami defisit, meskipun Indonesia menganut prinsip anggaran berimbang. Defisitnya anggaran belanja ini banyak kali disebabkan oleh hal-hal yang menyangkut ketegaran struktural ekonomi Indonesia, yang acapkali menimbulkan kesenjangan antara kemauan dan kemampuan untuk membangun. Selama pemerintahan Orde Lama  defisit anggaran belanja ini acapkali dibiayai dari dalam negeri dengan cara melakukan pencetakan uang baru, mengingat orientasi kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang inward looking policy, sehingga menyebabkan tekanan inflasi yang hebat. Tetapi sejak era Orde Baru, deficit anggaran belanja ini ditutup dengan pinjaman luar negeri yang nampaknya relative aman terhadap tekanan inflasi. Dalam era pemerintahan Orde Baru, kebutuhan terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi yang telah dicanangkan sejak Pembangunan Jangka Panjang I, menyebabkan kebutuhan dana untuk melakukan pembangunan sangat besar. Dengan mengingat bahwa potensi memobilisasi dana pembangunan dari masyarakat baik dari sektor tabungan masyarakat maupun pendapatan pajak) di dalam negeri pada saat itu yang sangat terbatas (belum berkembang), juga kemampuan sector swasta yang terbatas dalam melakukan pembangunan, menyebabkan pemerintah harus berperan sebagai motor pembangunan. Hal ini menyebabkan pos pengeluaran APBN menjadi lebih besar daripada penerimaan rutin. Artinya, peran pengeluaran pemerintah dalam investasi tidak dapat diimbangi dengan penerimaan, sehingga menimbulkan kesenjangan antara pengeluaran dan penerimaan negara, atau dapat dikatakan telah terjadi defisit struktural dalam keuangan negara. Pada saat terjadinya  oil booming, era tahun 1970-an, pendapatan pemerintah di sektor migas meningkat pesat, sehingga jumlah uang primer pun semakin meningkat. Hal ini menyebabkan kemampuan pemerintah untuk berekspansi investasi di dalam negeri semakin meningkat. Dengan kondisi tingkat pertumbuhan produksi domestik yang relatif lebih lambat, akibat kapasitas produksi nasional yang masih berada dalam keadaan  under-employment, peningkatan permintaan (investasi) pemerintah menyebabkan terjadi realokasi sumberdaya dari masyarakat ke pemerintah., seperti yang terkonsep dalam analisis Keynes tentang nflasi. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya tekanan inflasi. Tetapi, sejak berubahnya orientasi ekspor Indonesia ke komoditi non migas, sejalan dengan merosotnya harga minyak bumi di pasar ekspor (sejak tahun 1982), menyebabkan kemampuan pemerintah untuk membiayai pembangunan nasional semakin berkurang pula, sehingga pemerintah tidak dapat lagi mempertahankan posisinya sebagai penggerak (motor) pembangunan. Dengan kondisi seperti ini, menyebabkan secara bertahap peran sebagai penggerak utama pembangunan nasional beralih ke pihak swasta nasional, dengan demikian sumber tekanan inflasi pun beralih dari pemerintah beralih ke non pemerintah (swasta).  Tekanan inflasi pada periode ini lebih disebabkan oleh meningkatnya tingkat agresifitas sektor swasta dalam melakukan ekspansi usaha, yang didukung oleh perkembangan sektor perbankan yang semakin ekspansif pula. Dengan kondisi sumberdaya modal domestik yang masih saja relatif terbatas, maka pinjaman luar negeri yang sifatnya non komersial maupun komersial pun semakin meningkat. Akibatnya, tetap saja terjadi defisit anggaran belanja negara dan neraca pembayaran, salah satu sebabnya karena pemerintah tetap saja harus menyediakan nfrastruktur dan suprastruktur pembangunan ekonomi yang kebutuhannya semakin meningkat. Peran pemerintah ini dapat dimaklumi karena kemampuan swasta nasional dalam pembangunan infrastruktur ekonomi masih sangat terbatas.
3.2.3  Faktor-faktor dalam Penawaran Agregat dan Luar Negeri
Kelambanan penyesuaian dari faktor-faktor penawaran agregat terhadap peningkatan permintaan agregat ini lebih banyak disebabkan oleh adanya hambatan-hambatan struktural (structural bottleneck) yang ada di Indonesia.Harga bahan pangan merupakan salah satu penyumbang terbesar terhadap tingkat inflasi di Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan oleh ketegaran structural yang terjadi di sektor pertanian sehingga menyebabkan inelastisnya penawaran bahan pangan. Ketergantungan perekonomian Indonesia yang besar terhadap sector pertanian, yang tercermin oleh peranan nilai tambahnya yang relatif besar dan daya serap tenaga kerjanya yang sedemikian tinggi serta beban penduduk yang cukup tinggi, mengakibatkan harga bahan pangan meningkat pesat. Umumnya, laju penawaran bahan pangan tidak dapat mengimbangi laju permintaannya, sehingga sering terjadi excess demand yang selanjutnya dapat memunculkan  inflationary gap. Timbulnya excess demand ini disebabkan oleh percepatan pertambahan penduduk yang membutuhkan bahan pangan tidak dapat diimbangi dengan pertambahan output pertanian, khususnya pangan. Di sisi lain, kelambanan produksi bahan pangan disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya adalah tingkat modernisasi teknologi dan metode pertanian yang kurang maksimal; adanya faktor-faktor eksternal dalam pertanian seperti, perubahan iklim dan bencana alam; perpindahan tenaga kerja pertanian ke sektor non pertanian akibat industrialisasi; juga semakin sempitnya luas lahan yang digunakan untuk pertanian, yang disebabkan semakin banyaknya lahan pertanian yang beralih fungsi sebagai lokasi perumahan; industri; dan pengembangan kota Lebih lanjut, menurut hasil study empiris yang pernah dilakukan oleh Sri Mulyani Indrawati (1996), selain harga bahan pangan, kontributor inflasi di Indonesia lainnya dari sisi penawaran agregat adalah  imported inflation, administrated goods, output gap, dan interest rate. Pertama, imported inflation ini terjadi akibat tingginya derajat ketergantungan sektor riil di Indonesia terhadap barang-barang impor, baik  capital goods; intermediated good; maupun row material. Transmisi imported inflation di Indonesiaini terjadi melalui dua hal, yaitu depresiasi rupiah terhadap mata uang asing dan perubahan harga barang impor di negara asalnya. Bila suatu ketika terjadi depresiasi rupiah yang cukup tajam terhadap mata uang asing, maka akan menyebabkan bertambah beratnya beban biaya yang harus ditanggung oleh produsen, baik itu untuk pembayaran bahan baku dan barang perantara ataupun beban hutang luar negeri akibat ekspansi usaha yang telah dilakukan. Hal ini menyebabkan harga jual output di dalam negeri (khususnya untuk industri subtitusi impor) akan meningkat tajam, sehingga potensial meningkatkan derajat inflasi di dalam negeri. Tetapi, untuk industri yang bersifat promosi ekspor, depresiasi tersebut tidak akan membawa dampak buruk yang signifikan. Berkaitan dengan posisi hutang luar negeri Indonesia, pada periode tahun 1990-an, telah membengkak dengan tingkat debt service ratio yang semakin tinggi, yaitu lebih dari 40 %, dan presentase tingkat hutang yang bersifat komersial telah melampaui hutang non komersial. Menyebabkan, timbulnya hal yang sangat membahayakan ketahanan ekonomi nasional, terutama pada sektor finansial, apabila terjadi fluktuasi (memburuknya) nilai tukar (kurs), disamping dapat mengakibatkan tekanan inflasi yang berat, khususnya imported inflation. Kedua, administrated goods adalah barang-barang yang harganya diatur dan ditetapkan oleh pemerintah. Meskipun pengaruhnya secara langsung sangat kecil dalam mempengaruhi tingkat inflasi, tetapi secara situasional dan tidak langsung pengaruhnya dapat menjadi signifikan. Contoh, apabila terjadi kenaikan BBM, maka bukan saja harga BBM yang naik, harga barang atau tarif jasa yang terkait dengan BBM juga akan ikut dinaikan oleh masyarakat. Akibatnya, dapat memperberat tekanan inflasi. Ketiga,  output gap adalah perbedaan antara  actual output (output yang diproduksi) dengan  potential output (output yang seharusnya dapat diproduksi dalam keadaan  full employment). Adanya kesenjangan  (gap) ini terjadi karena faktor-faktor produksi yang dipakai dalam proses produksi belum maksimal dan atau efisien. Keempat, interest rate juga merupakan faktor penting yang menyumbang angka inflasi di Indonesia. Memang pada awalnya merupakan hal yang cukup membingungkan dalam menentukan manakah yang menjadi  independent variable atau dependent, antara inflasi dan suku bunga. Tetapi, bila ditilik dari sisi biaya produksi dan investasi (sisi penawaran), maka jelaslah bahwa suku bunga dapat dikatagorikan dalam komponen biaya-biaya tersebut. Dengan relatif tingginya tingkat suku bunga perbankan di Indonesia, menyebabkan biaya produksi dan investasi di Indonesia, yang dibiayai melalui kredit perbankan, akan tinggi juga. Jadi, apabila tingkat suku bunga meningkat, maka biaya produksi akan meningkat, selanjutnya akan meningkatkan pula harga output di pasar, akibatnya terjadi tekanan inflasi. Akhirnya, relasi antara tingkat suku bunga dan inflasi ini bisa menjadi interest rate-price spiral.
3.3  Pengendalian Inflasi di  Indonesia
Sebagaimana halnya yang umum terjadi pada negara – negara berkembang, inflasi di Indonesia relatif lebih banyak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat struktural ekonomi bila dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat  monetary policies. Sehingga bisa dikatakan, bahwa pengaruh dari  cosh push inflation lebih besar dari pada demand pull inflation.  Memang dalam periode tahun-tahun tertentu, misalnya pada saat terjadinya oil booming, tekanan inflasi di Indonesia disebabkan meningkatnya jumlah uang beredar. Tetapi hal tersebut tidak dapat mengabaikan adanya pengaruh yang bersifat struktural ekonomi, sebab pada periode tersebut, masih terjadi kesenjangan antara penawaran agregat dengan permintaan agregat, contohnya di sub sector pertanian, yang dapat meningkatkan derajat inflasi.
Pada umumnya pemerintah Indonesia lebih banyak menggunakan pendekatan moneter dalam upaya mengendalikan tingkat harga umum. Pemerintah Indonesia lebih senang menggunakan instrumen moneter sebagai alat untuk meredam inflasi, misalnya dengan  open market mechanism  atau reserve requirement. Tetapi perlu diingat, bahwa pendekatan moneter lebih banyak dipakai untuk mengatasi inflasi dalam jangka pendek, dan sangat baik diterapkan peda negara-negara yang telah maju perekonomiannya, bukan pada negara berkembang yang masih memiliki structural bottleneck. Jadi, apabila pendekatan moneter ini dipakai sebagai alat utama dalam mengendalikan inflasi di negara berkembang, maka tidak akan dapat menyelesaikan problem inflasi di negara berkembang yang umumnya berkarakteristik jangka panjang. Seperti halnya yang terjadi di Indonesia pada saat krisis moneter yang selanjutnya menjadi krisis ekonomi, inflasi di Indonesia dipicu oleh kenaikan harga komoditi impor (imported inflation) dan membengkaknya hutang luar negeri akibat dari terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika dan mata uang asing lainnya. Akibatnya, untuk mengendalikan tekanan inflasi, maka terlebih dahulu harus dilakukan penstabilan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dolar Amerika. Dalam menstabilkan nilai kurs, pemerintah Indonesia cenderung lebih banyak memainkan instrumen moneter melalui otoritas moneter dengan tight money policy yang diharapkan selain dapat menarik minat para pemegang valuta asing untuk menginvestasikan modalnya ke Indonesia melalui deposito, juga dapat menstabilkan tingkat harga umum. Tight money policy yang dilakukan dengan cara menaikkan tingkat suku bunga SBI (melalui  open market mechanism) sangat tinggi, pada satu sisi akan efektif untuk mengurangi money suplly, tetapi di sisi lain akan meningkatkan suku bunga kredit untuk sektor riil. Akibatnya, akan menyebabkan timbulnya cost push inflation karena adanya  interest rate-price spiral. Apabila tingkat suku bunga (deposito) perbankan sudah terlalu tinggi, sehingga dana produktif (dana untuk berproduksi atau berusaha) yang ada di masyarakat ikut terserap ke perbankan, maka akan dapat menyebabkan timbulnya stagnasi atau bahkan penurunan output produksi nasional (disebut dengan Cavallo effect). Lebih lagi bila sampai terjadi negatif spread pada dunia perbankan nasional, maka bukan saja menimbulkan kerusakan pada sektor riil, tetapi juga kerusakan pada industri perbankan nasional (sektor moneter). Jika kebijaksanaan ini terus dilakukan oleh pemerintah dalam jangka waktu menengah atau panjang, maka akan terjadi depresi ekonomi, akibatnya struktur perekonomian nasional akan rusak. Jika demikian halnya, maka sebaiknya kebijaksanaan pengendalian inflasi bukan hanya dilakukan melalui konsep kaum  moneterist saja, tetapi juga dengan memperhatikan cara pandang kaum  structuralist, yang lebih memandang perlunya mengatasi hambatan-hambatan struktural yang ada.
Dengan berpedoman pada berbagai hambatan dalam pembangunan perekonomian Indonesia yang telah disebutkan di atas, maka perlu berbagai upaya pembenahan, yaitu :
3.3.1  Meningkatkan Supply  Bahan Pangan
Meningkatkan supply bahan pangan dapat dilakukan dengan lebih memberikan perhatian pada pembangunan di sektor pertanian, khususnya sub sektor pertanian pangan. Modernisasi teknologi dan metode pengolahan lahan, serta penambahan luas lahan pertanian perlu dilakukan untuk meningkatkan laju produksi bahan pangan agar tercipta swasembada pangan.
3.3.2  Mengurangi Defisit APBN
Mungkin dalam masa krisis ekonomi mengurangi defisit APBN tidak dapat dilaksanakan, tetapi dalam jangka panjang (setelah krisis berlalu) perlu dilakukan. Untuk mengurangi defisit anggaran belanja, pemerintah harus dapat meningkatkan penerimaan rutinnya, terutama dari sektor pajak dengan benar dan tepat karena hal ini juga dapat menekan excess demand. Dengan semakin naiknya penerimaan dalam negeri, diharapkan pemerintah dapat mengurangi ketergantungannya terhadap pinjaman dana dari luar negeri. Dengan demikian anggaran belanja pemerintah nantinya akan lebih mencerminkan sifat yang relative independent.
3.3.3  Meningkatkan Cadangan Devisa
Pertama, perlu memperbaiki posisi neraca perdagangan luar negeri  (current account), terutama pada perdagangan jasa, agar tidak terus menerus defisit. Dengan demikian diharapkan cadangan devisa nasional akan dapat ditingkatkan. Juga, diusahakan untuk meningkatkan kinerja ekspor, sehingga net export harus semakin meningkat.
Kedua, diusahakan agar dapat mengurangi ketergantungan industri domestic terhadap barang-barang luar negeri, misalnya dengan lebih banyak memfokuskan pembangunan pada industri hulu yang mengolah sumberdaya alam yang tersedia di dalam negeri untuk dipakai sebagai bahan baku bagi industri hilir. Selain itu juga perlu dikembangkan industri yang mampu memproduksi barang-barang modal untuk industri di dalam negeri.
Ketiga, mengubah sifat industri dari yang bersifat substitusi impor kepada yang lebih bersifat promosi ekspor, agar terjadi efisiensi di sektor harga dan meningkatkan net export.
Keempat, membangun industri yang mampu menghasilkan nilai tambah yang tinggi dan memiliki kandungan komponen lokal yang relatif tinggi pula.
3.3.4  Memperbaiki dan Meningkatkan Kemampuan Sisi Penawaran Agregat
Pertama, mengurangi kesenjangan output  (output gap) dengan cara meningkatkan kualitas sumberdaya pekerja, modernisasi teknologi produksi, serta pembangunan industri manufaktur nasional agar kinerjanya meningkat. Kedua, memperlancar jalur  distribusi barang nasional, supaya tidak terjadi kesenjangan penawaran dan permintaan di tingkat regional (daerah). Ketiga, menstabilkan tingkat suku bunga dan menyehatkan perbankan nasional, tujuannya untuk mendukung laju proses industrialisasi nasional. Keempat, menciptakan kondisi yang sehat dalam perekonomian agar  market mechanism dapat berjalan dengan benar, dan mengurangi atau bahkan menghilangkan segala bentuk faktor yang dapat menyebabkan distorsi pasar. Kelima, melakukan program deregulasi dan debirokrasi di sektor riil karena acapkali birokrasi yang berbelit dapat menyebabkan  high cost economy.
Dengan menggunakan dua pendekatan  (moneterist  dan strukturalist) pada komposisi yang tepat, maka diharapkan bukan saja dalam jangka pendek inflasi dapat dikendalikan, tetapi juga dalam jangka panjang. Dan, bila ada upaya yang serius untuk memperkecil atau bahkan menghilangkan hambatan-hambatan struktural yang ada, maka akan berakibat pada membaiknya fundamental ekonomi Indonesia.


DAFTAR BACAAN

Adwin S Atmadja(1999), jurnal akuntansi dan keuangan vol1 ;no.1 halaman 54-67
Boediono (1997), Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No: 2 ; Ekonomi Makro, edisi keempat; Yogyakarta, BPFE.
Bruno, M.,  Easterly.W, Inflation and growth, in the search stable relationship
Cavanese, A. J.,  The Structuralist Explanation in the Theory of Inflation, Word Development, No. 10 halaman 523-529.
Dalal, M.N., Schacher, G. (July 1988),  Transmission of International Inflation to India : A Structural Analisis, The Journal of Developing Areas, No. 23, halaman 85-104.
Friedman, Milton (March 1984),  The Role of Monetary Policy, American Economic Review, halaman 57-71.
Fry, M.J., (Maret 1971),  Money and Capital or Financial Deepening in Economic Development ?, Journal of Money, Credit and Banking, No. 1, halaman 22-45.
Gunawan, Anton H. (Januari 1991), Anggaran Pemerintah dan Inflasi di Indonesia, PAU-Ekonomi-UI, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.
Indrawati, Sri Mulyani (1996), Sumber-Sumber Inflasi di Indonesia, Makalah dalam Seminar ISEI dan PERHEPI, Jakarta.
Lim, J. (September 1987), The New Structuralist Critique of The Monetarist Theory of Inflation, Journal of Development Economic, No. 25.
McKinnon, R.I (1973)., Money and Capital in Economic Development, Washinton DC : Brooking.
Tambunan, Tulus T.H. (1996), Perekonomian Indonesia, Jakarta, Galia Indonesia.
Van Wijnbergen, S. (September 1982),  Credit Policy, Inflation and Growth in  a Financially Repressed Economy, Journal of Development Economics, No. 13, halaman 45-65
http://en.wikipedia.org/wiki/inflation

Monday, September 3, 2012

PENGANGGURAN

Pengangguran merupakan suatu ukuran yang dilakukan jika seseorang tidak memiliki pekerjaan tetapi mereka sedang melakukan usaha secara aktif dalam empat minggu terakhir untuk mencari pekerjaan (Kaufman dan Hotchkiss,1999). Pengangguran merupakan suatu keadaan di mana seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi mereka belum dapat memperoleh pekerjaan tersebut (Sadono Sukirno, 1994). Seseorang yang tidak bekerja, tetapi tidak secara aktif mencari pekerjaan tidak tergolong sebagai penganggur. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), seseorang dikategorikan sebagai menganggur atau mencari pekerjaan apabila termasuk penduduk usia kerja yang (1) tidak bekerja, atau (2) sedang mencari pekerjaan baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah pernah berkerja, atau (3) sedang mempersiapkan suatu usaha, atau (4) yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan, atau (5) yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. BPS mendefinisikan penduduk usia kerja adalah penduduk yang berusia diatas 15 tahun. Penduduk usia kerja dibagi menjadi dua kelompok besar, yakni angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja yang masih sekolah, ibu rumah tangga atau pensiunan. Angkatan kerja terbagi menjadi dua yakni bekerja dan menganggur atau mencari pekerjaan. Bekerja didefinisikan sebagai kegiatan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan selama paling sedikit satu jam dalam seminggu yang lalu dan tidak boleh terputus. Kegiatan tersebut termasuk pula kegiatan pekerja tidak dibayar yang membantu dalam suatu usaha atau kegiatan ekonomi (Badan Pusat Statistik, 2007). Perubahan definisi seputar pengukuran untuk usia angkatan kerja dan pengangguran menyebabkan perubahan data pengangguran. Untuk periode sebelum tahun 2000, sumber data yang berbeda dapat mempublikasikan data yang berbeda tergantung pada penyesuaian dengan definisi yang baru atau tidak
                                  Tabel 1.  Perubahan Definisi Usia Kerja dan Pengangguran

Menurut Lipsey, et al. (1997), pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu pengangguran siklis, pengangguran friksional, dan pengangguran struktural. Pengangguran siklis mengacu kepada pengangguran yang terjadi jika permintaan total tidak memadai untuk membeli semua keluaran potensial ekonomi, sehingga menyebabkan senjang resesi dimana keluaran aktual lebih kecil daripada keluaran potensial. Orang-orang yang menganggur secara siklis dikatakan sebagai orang yang menganggur terpaksa (involuntary unemployed), dalam arti mereka ingin bekerja dengan tingkat upah yang berlaku tetapi pekerjaan tidak tersedia. Pengangguran struktural dapat didefinisikan sebagai pengangguran yang disebabkan ketidaksesuaian antara struktur angkatan kerja berdasarkan keterampilan, pekerjaan, industri atau lokasi geografis dan juga struktur permintaan akan tenaga kerja. Sedangkan pengangguran friksional diakibatkan oleh perputaran (turn-over) normal tenaga kerja. Sumber penting pengangguran friksional adalah orang-orang muda yang memasuki angkatan kerja dan mencari pekerjaan. Sumber lainnya adalah orang-orang yang keluar dari pekerjaannya, baik karena tidak puas dengan kondisi pekerjaan yang sekarang maupun karena diberhentikan.
Selain itu, menurut  Moore dan Elkin (1987), pengangguran friksional merupakan akibat dari fluktuasi jangka pendek di dalam pasar tenaga kerja, informasi yang tidak sempurna dan tenaga kerja yang tidak bergerak. Sedangkan, pengangguran struktural merupakan karakteristik jangka panjang, dimana terjadi persistensi ketidaksesuaian (mismatch) antara permintaan dan penawaran tenaga kerja dengan skill dan atau lokasi kerja.
Faktor utama yang menimbulkan pengangguran dalam pandangan Sadono Sukirno (1994) adalah kekurangan pengeluaran agregat. Para pengusaha memproduksi barang dan jasa dengan maksud untuk mencari keuntungan. Keuntungan tersebut hanya akan diperoleh apabila para pengusaha dapat menjual barang yang mereka produksikan. Semakin besar permintaan, semakin besar pula barang dan jasa yang akan mereka wujudkan. Kenaikan produksi yang dilakukan akan menambah penggunaaan tenaga kerja. Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat diantara tingkat pendapatan nasional yang dicapai (GDP) dengan penggunaan tenaga kerja yang dilakukan; semakin tinggi pendapatan nasional (GDP), semakin banyak penggunaan tenaga kerja dalam perekonomian.
Pengangguran dapat terjadi disebabkan oleh ketidakseimbangan pada pasar tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja yang ditawarkan melebihi jumlah tenaga kerja yang diminta. Secara umum dalam teori ekonomi, pengangguran dipandang sebagai ketidakseimbangan pasar tenaga kerja. Keseimbangan pasar tenaga kerja mengacu pada kondisi yang menggambarkan adanya kesesuaian antara permintaan dan penawaran tenaga kerja, yang berarti pula bahwa tidak terdapat pengangguran dalam perekonomian, karena setiap tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan dengan segera mendapatkan pekerjaan baru.
Untuk memahami pengangguran, perlu pemahaman akan pasar tenaga kerja baik pada sisi penawaran tenaga kerja maupun pada sisi Permintaan tenaga kerja. Ruby (2003) menyebutkan bahwa model dari penawaran tenaga kerja dimulai dengan asumsi bahwa pekerja akan memilih kombinasi jam-kerja dan pendapatan dengan tujuan untuk memaksimumkan kepuasan (utility) mereka dengan kendala jumlah jam yang tersedia dalam sehari. Model penawaran tenaga kerja menganggap bahwa jam bekerja adalah merupakan barang yang tidak disukai, tetapi dengan bekerja akan memberikan pendapatan. Sedangkan jam tidak bekerja atau yang disebut waktu luang (leisure time) merupakan barang yang disukai.
Dengan demikian maksimisasi kepuasan akan ditentukan dari pendapatan dan waktu luang :  Maximaze U = f (pendapatan, waktu luang). Dengan menggunakan analisa kurva indeferen (indifference curve) kita dapat menguji efek dari perubahan tingkat upah terhadap jumlah penawaran jam kerja, yang dilukiskan pada gambar-1. Dimana kurva indiferen (IC) menggambarkan berbagai titik kombinasi antara pendapatan dan waktu luang yang menghasilkan tingkat kepuasan sama. Selanjutnya garis pendapatan (budget constraint) seperti garis XY, menggambarkan tingkat pendapatan berdasarkan jumlah jam bekerja dalam sehari. Semakin banyak jam bekerja (semakin kecil waktu senggang) yang digunakan maka semakin tinggi pendapatan. Kepuasan maksimal terjadi apabila kurva indeferen bersentuhan dengan garis pendapatan. Kombinasi optimal tersebut akan berubah apabila tingkat upah mengalami perubahan, seperti ditunjukkan bahwa peningkatan upah merubah slop dari garis anggaran menjadi X’Y, sehingga kombinasi optimal berubah dari titik R ke titik T, yang mencerminkan perubahan jam kerja yang ditawarkan.













Menurut Bellente dan Jacson (1990) besarnya waktu yang disediakan atau dialokasikan untuk bekerja merupakan fungsi tingkat upah tertentu. Setelah mencapai tingkat upah tertentu pertambahan upah justru akan mengurangi waktu yang disediakan untuk bekerja, penomena ini akan menghasilkan apa yang disebut backward-bending supply curve, atau kurva penawaran yang berbelok. Kasliwal (1995) mengatakan phenomena tersebut banyak terjadi terutama pada kelompok perempuan dari keluarga kaya, sementara sesungguhnya mereka tergolong dalam angkatan kerja (labor force), sehingga tentu memiliki relevansi dengan pembangunan.
Pengaruh tingkat upah terhadap penawaran tenaga kerja sesungguhnya ditentukan oleh dua kekuatan yang saling berlawanan yakni pengaruh efek pendapatan (income effect) dan efek substitusi (substitution effect). Apabila efek pendapatan yang positif terhadap tingkat upah lebih kecil dari kekuatan efek substitusi yang negatif, maka efek total akan menjadi negatif yang berarti bahwa pekerja akan mengurangi konsumsi waktu luang (leisure) dan menambah waktu jam kerjanya sehingga kurva penawaran akan memiliki kemiringan positif (upward sloping). Sebaliknya jika efek total positif maka akan terjadi “bacwardbending”pada kurva penawaran tenaga kerja yang berarti bahwa pekerja justru akan mengurangi jam kerjanya dengan peningkatan upah (McConnell dan Brue,1995). Selanjutnya Ruby (2003) mengatakan bahwa dalam analisa agregat, penawaran tenaga kerja, selain ditentukan oleh tingkat upah, juga sangat dipengaruhi oleh perubahan populasi, tingkat partisipasi angkatan kerja (demographic changes) dan arus immigrasi (immigration flows).
Permintaan tenaga kerja di dasarkan dari permintaan produsen (pengusaha) terhadap input tenaga kerja sebagai salah satu input dalam proses produksi. Produsen mempekerjakan seseorang dalam rangka untuk membantu memproduksi barang atau jasa untuk dijual kepada konsumen. Apabila permintaan konsumen terhadap barang atau jasa yang diproduksi meningkat, maka, pengusaha terdorong untuk meningkatkan produksinya melalui penambahan input, termasuk input tenaga kerja, selama manfaat dari penambahan produksi tersebut lebih tinggi dari tambahan biaya karena penambahan input. Dengan kata lain, pertambahan permintaan pengusaha terhadap tenaga kerja, tergantung dari pertambahan permintaan konsumen dari barang dan jasa yang dihasilkannya. Oleh karena itu permintaan tenaga kerja merupakan permintaan turunan (derived demand) dari permintaan konsumen. Hal ini mengindikasikan  bahwa kekuatan permintaan untuk tenaga kerja akan tergantung pada : (1) tingkat produktifitas tenaga kerja dalam membantu menghasilkan barang atau jasa, dan (2) nilai pasar dari barang atau jasa tersebut. (Swastika dan Kuastiari, 2000).
Menurut Ruby (2003), bahwa permintaan tenaga kerja di turunkan dari fungsi produksi yang merupakan fungsi dari tenaga kerja (L) dan modal (K). Fungsi produksinya adalah sebagai berikut :
TP (Y) = f(L,K)
Dimana : TP = Produksi total (output)
L = Tenaga kerja
K = Modal
Dengan asumsi bahwa pengusaha senangtiasa ingin memaksimumkan pendapatannya, maka dalam jangka pendek, produksi optimal (profit maximizing) terjadi pada saat produktivitas marginal tenaga kerja (MPL) sama dengan ratio upah (wt) terhadap harga produk (wt/Px) atau kondisi dimana nilai produk marginal tenaga kerja (VMPL) = wt. Upah (wt) tidak lain adalah jumlah tambahan biaya yang diperlukan untuk mempekerjakan tambahan seorang pekerja. Apabila MPL lebih besar dari wt/Px, maka perusahaan akan menambah permintaan tenaga kerjanya. Secara umum, dalam jangka pendek permintaan tenaga kerja berkorelasi negatif dengan tingkat upah (wt). Akan tetapi terdapat hubungan positif antara harga produk (Px) dengan permintaan tenaga kerja jangka pendek, karena kurva MPL (kurva permintaan tenaga kerja), akan bergeser keluar (outwards) jika harga output menjadi lebih mahal (Borjas, 1996).




Dalam jangka panjang, semua faktor produksi akan mengalami perubahan. Penentuan faktor produksi mana yang digunakan di dasarkan pada daya substitusi  (marginal rate of technical substitution) dari faktor produksi tersebut. Perusahaan akan meningkatkan penggunaan tenaga kerja jika tenaga kerja relatif lebih murah  dibandingkan dengan modal. Dikatakan tenaga kerja lebih murah secara relatif dibandingkan modal, jika produktivitas tenaga kerja lebih tinggi dari produktivitas modal. Menurut Ruby (2003) bahwa peningkatan produktifitas tenaga kerja ini dapat disebabkan oleh penambahan kemajuan teknologi atau penambahan modal per tenaga kerja. Peningkatan produktifitas ini akan menyebabkan bergesernya fungsi produksi ke atas (output per tenaga kerja lebih tinggi) dan menggeser keluar kurva MPL, yang mencirikan permintaan tenaga kerja bertambah. Atau dengan kata lain peningkatan produktivitas tenaga kerja, bukan hanya meningkatkan output, tetapi juga mendorong perluasan kesempatan kerja.
Akan tetapi Menurut Mankiw (2003) pada kenyataannya para pekerja mempunyai preferensi dan kemampuan yang berbeda dan pekerjaan memerlukan spesifikasi keahlian yang berbeda serta upah yang berbeda. Selain itu, karena adanya informasi tentang calon karyawan dan lowongan kerja yang tidak sempurna, dan mobilitas geografis pekerja tidak instant, sehingga calon karyawan dalam mencari pekerjaan yang tepat membutuhkan waktu dan usaha dan hal ini tentu mengurangi tingkat penemuan pekerjaan. Karena setiap calon karyawan membutuhkan waktu untuk mencari pekerjaan, maka pengangguran pasti selalu terjadi. Pengangguran yang disebabkan oleh waktu yang dibutuhkan orang untuk mencari pekerjaan di sebut sebagai pengangguran friksional. Lebih lanjut Mankiw (2003) menjelaskan bahwa pengangguran friksional selalu terjadi pada perekonomian yang selalu berubah. Ketika terjadi perubahan pada komponen permintaan masyarakat akan berdampak pada perubahan struktur produksi (pergeseran sektoral) pula sehingga juga mempengaruhi permintaan tenaga kerja. Pergeseran sektoral ini mencirikan bahwa ada sektor produksi lama yang mengalami kemunduran dan kebangkrutan, tetapi ada pula sektor produksi baru yang muncul dan berkembang. Dalam kondisi seperti itu, maka selalu ada pemutusan hubungan kerja dan ada pula lowongan kerja baru, karena informasi tidak sempurna sehingga pencari kerja selalu membutuhkan waktu untuk menemukan pekerjaan yang sesuai, karena itu pengangguran friksional selalu terjadi.
Alasan kedua untuk pengangguran menurut Mankiw (2003) adalah karena kekakuan upah (wage rigidity) yakni gagalnya upah melakukan penyesuaian sampai penawaran tenaga kerja sama dengan permintaannya. Upah tidak selalu fleksibel menyeimbangkan penawaran dan permintaan tenaga kerja, kadang-kadang upah riil tertahan di atas tingkat kliring-pasar. Ketika upah riil di atas tingkat yang menyeimbangkan penawaran dan permintaan, jumlah tenaga kerja yang ditawarkan melebih jumlah yang diminta sehingga terjadi pengangguran. Hal senada juga diungkapkan oleh ahli ekonomi structuralist (seperti Taylor dan Chenery) ketika mengkritik teori pertumbuhan Solow yang mengatakan bahwa ketidak sempurnaan pasar tenaga kerja terjadi secara kritis di negara berkembang yang ditunjukkan bahwa tenaga kerja menerima upahnya lebih besar dari upah pasar bebasnya (Kasliwal, 1995), atau dengan kata lain PML < w / p (upah riil lebih tinggi dari produksi marginal tenaga kerja). Menurut Taylor dan Chenery, bahwa kegagalan pasar yang terjadi di negara berkembang ini berkaitan dengan: (1) Harga (upah) tidak melakukan penyesuaian secara bebas, dan (2) agen ekonomi merespon secara lambat terhadap perubahan harga (upah) yang terjadi. Dengan demikian pandangan ini sudah sejalan dengan pendapat Mankiw tentang kekakuan upah (wage rigidity) atau gagalnya upah melakukan penyesuaian ke arah keseimbangan pasar ketika terjadi shock (perubahan) pada sisi permintaan maupun pada sisi penawaran tenaga kerja. Menurut Kasliwal (1995) bahwa kegagalan pasar yang telah tersebar luas berkaitan dengan keterbatasan informasi, eksternalitas, skala peningkatan hasil yang semakin meningkat, dan cara alokasi yang tidak melalui pasar (non-market), yang lebih muda diterapkan. Lebih lanjut, ketika pemerintah campurtangan, mereka sering menciptakan yang bahkan lebih penyimpangan. Karena itu distorsi pasar dapat terjadi secara serius di negara berkembang. Sedangkan menurut Mankiw (2003) bahwa hal yang menyebabkan kekakuan upah adalah undang-undang upah minimum, kekuatan monopoli serikat pekerja dan efisiensi upah.
Karena itu semakin kuat faktor-faktor tersebut berpengaruh maka tentu upah semakin kaku dan agen ekonomi semakin lamban merespon perubahan upah, yang berarti pula semakin lama waktu yang dibutuhkan oleh upah untuk melakukan penyesuaian, demikian pula semakin lama waktu yang dibutuhkan oleh agen ekonomi untuk merespon perubahan upah. Dengan demikian lamanya waktu yang dibutuhkan oleh upah untuk melakukan penyesuaian serta waktu yang dibutuhkan agen ekonomi untuk merespon perubahan upah dapat dijadikan indikator tingkat distorsi pasar tenaga kerja.


DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik, 2007, Laporan Badan Pusat Statistik. Berbagai Edisi. BPS, Jakarta.

Bellante, D., dan M. Jackson, 1990, Ekonomi Ketenagakerjaan. Lembaga Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta

Borjas, G.J., 1996, Labor Economis, The McGraw-Hill Companies, Inc, Printed in Singapore.

Kasliwal, P., 1995, Development Economics, South-Western Publishing, Cincinnati-Ohio, United States of America.

Kaufman, Bruce E and Julie L Hotchkiss. 1999. The Economic Labor Markets. USA: Georgia State University.
   
Lipsey, R. G., P. N. Courant, D. D. Purvis, dan P. Steiner. 1997. Pengantar Makroekonomi. Agus Maulana [penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta.


Mankiw, N.G., 2003, Teori Makro Ekonomi, Edisi Kelima, Alih Bahasa : Imam Nurmawan,  Penerbit Erlangga, Jakarta

McConnell, C.R., and Brue, S.L., 1995, Contemporary Labor Economics, International Edition, 1995, McGraw-Hill Companies Inc, Printed in Singapore.

Moore, G. A. dan R. D. Elkin. 1987. Labor and The Economy. South-Western Publishing Co, Cincinnati, Ohio.

Ruby, D.A., 2003, Labor Supply Decisions and Labor Market Equilibrum. http://www.digitaleconomist.com/Is_4020.html.

Sadono Sukirno. 1994. Pengantar Teori Ekonomi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.




















Saran Anda Akan Menambah Sejuta Ide Saya