pengunjung yg online

Anda pengunjung ke :

Saturday, January 26, 2013

DANA ASPIRASI DPRD JENEPONTO, KONGKALIKONG?

Biaya politik yang tinggi, itulah kalimat yang pas untuk menggambarkan bagaimana besarnya investasi untuk dapat menduduki kursi DPRD Jeneponto. Pertanyaannya adalah apakah setiap anggota DPRD Jeneponto menganggap itu sebagai biaya untuk mengabdi sebagai wakil rakyat di Kabupaten Jeneponto? Atau itu dianggap sebagai investasi ekonomi di jalur politik?.

Jika 35 anggota DPRD Jeneponto menganggap itu sebagai biaya pengabdian, maka sungguh mulia hati mereka. Kepada Tuhan yang maha esa, akan teriring doa bagi mereka agar kiranya menempati Sorga yang kekal kelak di hari setelah kehidupan yang fana ini. Darimana kita mengetahui niat mereka? Dapatkah kita menggali isi hati mereka satu per satu. Wow..... itu pekerjaan yang tak mungkin. Untuk itu coba kita lihat seberapa besar niat mereka dengan mengamati perilaku para anggota DPRD dari kinerja yang merekantorehkan semenjak tahun 2009 lalu.

DPRD Jeneponto periode 2009-2014 didominasi oleh generasi muda yang enerjik. Hanya kurang lebih 10 orang ketika terpilih berumur di atas 40 tahun. Saat terpilih mereka diperhadapkan dengan kondisi APBD yang mengalami defisit berjalan sebesar kurang lebih 30 Milyar Rupiah. Defisit sebesar itu adalah peninggalan di tahun terakhir DPRD periode sebelumnya.

Kondisi keuangan daerah yang semakin memburuk ternyata terjadi pada DPRD periode 2009-2014. Alih-alih menghapus defisit. Dalam periode ini justru defisit APBD semakin membengkak, bahkan hingga angka yang fantastis yakni 72 Milyar Rupiah pada tahun 2011. Penyebabnya tak lain adalah dimasukannya kegiatan belanja modal yang baru saat pembahasan.

Pemerintah Daerah (baca eksekutif), selalu mencoba mengajukan RAPBD pada posisi Surplus. Ini untuk memberikan ruang bagi DPRD menambahkan kegiatan-kegiatan prioritas dalam APBD yang belum terjangkau dengan perencanaan daerah. Posisi Surplus dalam RAPBD setelah selesai pembahasan kemudian berubah menjadi defisit dengan jumlah yang sangat tinggi. Alasan klasik yang sering dikemukakan adalah untuk manampung aspirasi masyarakat. Betulkah itu?.

Jika ditilik secara detail,setiap anggota DPRD memasukan dana aspirasi minimal sebesar 500 juta Rupiah per orang atau secara total sebesar 17,5 Milyar Rupiah, jauh lebih tinggi dari PAD Kabupaten Jeneponto yang hanya 12 Milyar Rupiah. Lebih lanjut, dana aspirasi itu mayoritas dipecah ke dalam jumlah yang tidak ditenderkan atau hanya dengan metode penunjukan langsung. Siapa yang mengerjakan? Rata-rata mereka sendiri yang mengerjakan dengan bernaung pada perusahaan-perusahaan yang dipinjam (rental) dari orang lain.

Saat pembahasan di DPRD, kalimat paling sering mereka sebut : Eksekutif tugasnya mencari uang, program kegiatan kami yang menentukan. Sungguh menjijikan. Dari uraian tersebut, terindikasi kemungkinan DPRD Jeneponto menganggap biaya yang dikeluarkan untuk kampanye sebagai investasi ekonomi di jalur politik. Saat menduduki kursi DPRD yang empuk, saatnya untukmencapai Break Event Point. Gila.........., kepedulian terhadap pembangunan daerah jadi sirna. Setiap bulan mereka menerima gaji, jalan-jalan dibungkus penganggaran biaya peningkatan SDM dan juga diberikan tunjangan perumahan serta biaya-biaya lain.

Tulisan ini sekedar curahan hati seorang anak bangsa yang merasa frustasi melihat kondisi yang ada. Terjadi kongkalkong antara DPRD dengan SKPD agar biaya- biaya politik tertutupi melalui “Dana Aspirasi”.

Sadarlah wakil rakyatku……. Jeneponto butuh kalian untuk membangun.

REDENOMINASI RUPIAH DALAM DEFINISI YANG UTUH

Bank Indonesia selaku institusi yang memiliki otoritas untuk memelihara kestabilan Rupiah terhadap barang dan jasa dan mata uang negara lain (kurs) sering alpha dalam mendefinisikan Redenominasi secara utuh. Pengertian yang partial akan menyebabkan dampak yang sangat fatal bagi kestabilan perekonomian nasional. Dalam berbagai kesempatan utamanya sosialisasi mengenai redenominasi, definisi redenominasi disederhanakan menjadi penyederhanaan nominal rupiah. Hal tersebut menjadi identik (walaupun jelas berbeda) dengan sanering yang didefinisikan sebagai pemotongan nilai uang. Uang sejumlah 1.000 Rupiah menjadi 1 Rupiah, apakah itu sanering atau redenominasi?, tentu hal ini membingungkan. Untuk itu perlu pendefinisian yang tepat terhadap kebijakan redenominasi agar tidak membingungkan utamanya dikalangan awam dan pelaku pasar.

Apabila pengertian redominasi diberikan secara utuh, maka Redenominasi idealnya didefinisikan secara komprehensif sebagai “sebuah kebijakan di mana pecahan mata uang (Denominasi) disederhanakan nilainya dengan diimbangi oleh penyesuaian nilai harga barang dan jasa”. Sebagai contoh apabila uang sejumlah 1.000 Rupiah dan disederhanakan menjadi 1 Rupiah, maka semua barang dan jasa yang berharga 1.000 Rupiah juga disederhanakan menjadi bernilai 1 Rupiah. Jadi redenominasi adalah kebijakan yang dibuat pada dua sisi yaitu nilai mata uang dan nilai barang dan jasa. Nilai mata uang merupakan nilai yang tertulis dalam label pecahan (denominasi) dan nilai barang dan jasa merupakan harga yang disepakati bersama. Pada kebijakan sanering, ketika nilai mata uang disederhanakan, nilai barang dinyatakan tetap sehingga daya beli masyarakat merosot turunkarena harga barang menjadi sangat mahal.

Presepsi yang salah terhadap redenominasi akan membawa dampak yang sangat fatal bagi perekonomian nasional. Dalam perekonomian “kepercayaan pasar” adalah segalanya. Apabila kebijakan redenominasi dipresepsikan negatif oleh pasar, maka minimal dua bahaya sedang menunggu untuk menyerang perekonomian nasional. Pertama: pelaku pasar mungkin akan berbondong-bondong membeli dollar untuk menjaga nilai uangnya. Hal tersebut tentu akan menghantam kestabilan rupiah sehingga bukan tidak mungkin rupiah akan merosot tajam.

Kedua: Harga barang akan naik tanpa terasa oleh masyarakat karena dengan penyederhanaan menaikan harga 2 sen, secara psikologi tidak berpengruh ke masyarakat luas walaupun nilai 2 sen tersebut sebenarnya adalah 2.000 rupiah. Gelombang kenaikan harga dalam jumlah yang tidak mengganggu psikologi masyarakat secara menyeluruh (jumlahnya kecil versi penyederhanaan mata uang) akan memberi dampak inflasi yang luar biasa. Terutama pada masa akhir transisi redenominasi rupiah.

Untuk itu, Bank Indonesia selayaknya menata aspek psikologi pasar sebaik mungkin. Redenominasi yang bertujuan untuk menciptakan efisiensi ekonomi dan martabat bangsa harus disosialisasikan sampai ke grass roots. Pendekatan sosialisasi di hotel-hotel berbintang dan pada kalangan terpelajar kiranya dikurangi dan memberikan porsi yang besar untuk kalangan Usaha Kecil Menengah (UKM).

Friday, January 25, 2013

PROSPEK PASAR TRADISIONAL

Pada era 1980-an dan awal 1990-an supermarket Indonesia hanya melayani masyarakat kelas menengah atas (CPIS, 1994).Walaupun Supermarket lokal telah ada sejak 1970-an namun mereka hanya terkosentrasi di Kota-kota besar (Suryadarma et al, 2007). Hal tersebut mengakibatkan pandangan masyarakat sebagai konsumen bahwa semua produk yang dijual di Supermarket adalah barang bermerk, mahal dan ekslusif. Pandangan tersebut mengakibatkan dalam anggapan masyarakat bahwa supermarket adalah tempat belanja kaum menengah atas.

Anggapan yang demikian berkembang hingga awal 1990an dengan diperkuat oleh lokasi supermarket yang dibangun ditempat-tempat strategis, dekat pusat-pusat pemerintahan dengan disertai desain bangunan yang terlihat mewah baik dari eksterior maupun interior bangunan. Supermarket hanya dikunjungi oleh kaum menengah atas yang ditandai oleh gaya hidup mewah, pakaian yang dikenakan adalah merk-merk ternama, datang dengan mobil, pembayaran melalui kartu baik kredit maupun debit serta penampilan yang rapi. Kondisi tersebut menempatkan Supermarket sebagai sebuah bisnis dengan pangsa pasar yang berbeda dibanding pasar tradisional.

Pasar tradisional memiliki konsumen masyarakat menengah bawah yang gaya belanja menyenangi adanya proses tawar menawar harga secara langsung dengan penjual. Barang yang dibeli pun disesuaikan dengan penghasilan yang mereka dapat, walau kualitas agak rendah yang penting harga terjangkau. Lokasi pasar tradisional tersebar sampai ke pelosok–pelosok daerah.

Lokasi dan harga yang terjangkau serta dapat ditawar menjadi alasan utama masyarakat menengah bawah untuk memilih pasar tradisional sebagai tempat berbelanja. Jumlah masyarakat menengah bawah yang terbanyak tinggal di daerah pedesaan, untuk menjangkau supermarket yang berada di daerah perkotaan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk transportasi. Demikian pula dengan kebiasaan mereka yang puas ketika mampu mendapatkan harga yang lebih murah (dapat ditawar) walaupun dari segi kualitas agak lebih rendah.

Memasuki akhir 1990an, semenjak kebijakan investasi asing langsung dalam sektor usaha ritel dibuka tepatnya tahun 1998, supermarket bermerk asing mulai masuk ke Indonesia. Supermarket mulai melakukan ekspansi hingga kota-kota kecil. Lokasi supermarket dapat menjamur di berbagai daerah. Ini sebagaimana diungkapkan oleh Jones dan Simmons (1993), Three important factors determine a retailer’s success : location and location and location. Karena lokasi yang telah ada dimana-mana, usaha ritel tidak lagi bersaing dengan sesama pengusaha ritel modern, tetapi turut bersaing dengan pengusaha ritel tradisional. Deregulasi sektor usaha ritel yang bertujuan untuk meningkatkan investasi asing langsung (IAL) atau Foreign Direct Investment (FDI) telah berdampak pada pengembangan jaringan supermarket (Readon & Hopkins, 2006). Alasan untuk Peningkatan FDI juga digunakan untuk membuka liberalisasi bisnis ritel di negara lain seperti China pada tahun 1992, Argentina, Brazil dan Meksiko tahun 1994, beberapa negara di Afrika pada pertengahan 1990an, Indonesia tahun 1998 dan India tahun 2000 (Gaiha and Thapa, 2007). Kondisi seperti ini telah digambarkan oleh Reardon et al (2003) bahwa sejak 2003 pasar supermarket di sektor usaha ritel makanan di banyak negara berkembang seperti Korea Selatan, Thailand, Taiwan, Meksiko, Polandia dan Hongaria telah mencapai 50%. Di Brazil dan Argentina, dimana perkembangan supermarket telah lebih dulu dimulai, pangsa pasarnya mencapai 60%. Trail (2006) memprediksi bahwa pada tahun 2015 nanti, pangsa pasar supermarket akan mencapai 61% di Argentina, Meksiko dan polandia; 67% di Hongaria, dan 76% di Brazil.

Dalam memandang persaingan antara pasar tradisional dan pasar modern, Suryadarma et al (2007) mengemukakan empat argumen yang dapat menyebabkan pasar tradisional kalah bersaing dengan pasar modern. Pertama, melalui skala ekonominya, supermarket dapat menjual lebih banyak produk yang lebih berkualitas dengan harga yang lebih murah. Kedua, informasi daftar harga setiap barang tersedia dan dengan mudah diakses publik, Ketiga, supermarket menyediakan lingkungan berbelanja yang lebih nyaman dan bersih, dengan jam buka yang lebih panjang, dan menawarkan aneka pilihan pembayaran seperti kartu kredit dan kartu debit dan menyediakan layanan kredit untuk peralatan rumah tangga berukuran besar. Keempat, produk yang dijual di supermarket, seperti bahan pangan, telah melalui pengawasan mutu dan tidak akan dijual bila telah kadulawarsa.

Sujana (2012) mengatakan keunggulan ritel modern dari pasar tradisional meliputi jaringan gerai, keuangan, sumberdaya manusia, manajemen modern, Teknologi, lebih dekat dengan pelanggan, kekuatan merek, private label (house brand), Citra Gerai/Loyalitas pelanggan, keunggulan omzet, profitabilitas yang lebih tinggi, sentra distribusi (distribution center), peningkatan service level dan keberadaan stok.

Karena keunggulan-keunggulan tersebut, supermarket tumbuh dengan pesat di hampir semua wilayah di Indonesia. data berikut menunjukan perkembangan jumlah outlet ritel modern.

Tabel1. Perkembangan Jumlah Outlet Ritel Modern

FORMAT

CHAIN

AUG’10

YTD MAR 11

Hypermarket/ Large Format

Carrefour

56

58

Giant

39

42

Hypermart

48

61

Lotte Hyper/WHS

20

23

Indogrosir

6

8

Hero -Giant

98

101

Ramayana

95

100

FoodMart

23

31

Carrefour Express

17

39

Yogya - Griya

56

62

Superindo

68

77

TOTAL

526

602

Minimarket/ Convinience

Indomaret

4.490

5.270

AlfaMart

4.210

5.150

AlfaMidi

161

215

Alfa Express

65

70

CircleK

269

280

StarMart

123

130

YoMart

231

250

TOTAL

9.549

11.365

Modern Drugstores

Century

211

240

Guardian

204

230

Boston

58

70

Watson

4

4

TOTAL

477

544

Sumber: LeadMAX-Co, 2011 (dalam Sujana, 2012)

Data pada tabel 1.2 memperlihatkan bahwa Pasar modern baik dalam bentuk Hypermarket, minimarket maupun modern drugstores mengalami pertumbuhan yang besar. Hanya dalam jangka waktu kurang lebih tujuh bulan jumlah hypermart bertambah sebesar 76 buah atau 14,45%, minimarket sebesar 1.816 outlet atau 19,02% dan modern Drugstores sebesar 67 outlet atau 14,05% atau secara keseluruhan ritel modern bertambah1.959 outlet (18,57).

Secara teoritik pertumbuhan pasar modern yang demikian pesat akan mengakibatkan kemerosotan pada pasar tradisional. Suryadarma et al (2007) menggambarkan bahwa pengusaha ritel tradisional pertama yang terpaksa menutup bisnisnya umumnya adalah mereka yang menjual barang-barang umum, makanan olahan, produk susu, lalu diikuti oleh toko yang menjual produk segar dan pasar basah. Setelah beberapa tahun bergelut dengan persaingan, pengusaha ritel tradisional yang biasanya masih tetap bertahan berdagang adalah mereka yang menjual satu jenis produk atau mereka yang berjualan di lokasi di mana supermarket secara resmi tidak diperkenankan untuk masuk.

USDRP (2007) mengingatkan bahwa pasar tradisional, jika dikaji secara jernih, memang memiliki beberapa fungsi penting yang tak dapat digantikan begitu saja oleh pasar modern. Setidaknya, ada empat fungsi ekonomi yang sejauh ini bisa diperankan oleh pasar tradisional, Pertama, pasar tradisional merupakan tempat dimana masyarakat berbagai lapisan memperoleh barang terjangkau, karena memang seringkali harga di pasar tradisional lebih dibandingkan harga yang ditawarkan pasar modern. Dengan kata lain pasar tradisional merupakan pilar penyangga ekonomi masyarakat kecil. Kedua, pasar tradisional merupakan tempat yang relative lebih bisa dimasuki oleh pelaku ekonomi lemah yang menempati posisi mayoritas dari sisi jumlah. Pasar tradisional jelas jauh lebih bisa diakses oleh sebagian besar pedagang yang bermodal kecil Ketiga, pasar merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) lewat retribusi yang ditarik dari para pedagang, Keempat, akumulasi aktivitas jual beli di pasar merupakan factor penting dalam perhitungan tingkat pertumbuhan ekonomi baik pada skala local, regional maupun nasional. Hal yang serupa juga disampaikan Mudrajat (2009), ada beberapa keunggulan pasar ritel tradisional. Salah satunya adalah kemudahan akses bagi pemasok kecil termasuk petani. Selain itu di pasar ritel tradisional dapat terjadi tawar menawar, barangnya segar, dan dekat dengan rumah.

Dalam hal penyerapan tenaga kerja, Industri Ritel merupakan sektor kedua terbesar setelah sektor pertanian yaitu menyerap 18,9 juta orang tenaga kerja (Mudrajat, 2006).

Tabel 2 : Jumlah Pedagang, Luas Bangunan dan Pendapatan Pasar Tradisional di Indonesia

Tahun 2012

NO

AREA

JUMLAH

LUAS

PENDAPATAN PASAR

PASAR

PEDAGANG

PKL

LAHAN

BANGUNAN

1

Sumatera

3295

688.738

262.109

14.518.324

6.953.439

54.562.732.666,00

2

Jawa

2915

791.098

127.682

14.640.300

8.295.376

39.852.263.077,00

3

Bali Nusa tenggara

627

111.642

32.985

1.962.514

847.968

5.655.063.810,00

4

Kalimantan

718

114.477

37.580

2.618.076

1.197.046

9.620.964.402,00

5

Sulawesi

1612

192.693

65.886

4.834.543

1.954.572

6.880.802.114,00

6

Maluku – Papua

395

29.723

7.321

864.340

369.146

2.255.515.100,00

9.562

1.928.371

533.563

39.438.097

19.617.547

118.827.341.169,00

Sumber : Kementrian Perdagangan Indonesia, 2012 (diolah)

Data pada tabel di atas menunjukan bahwa terdapat 2,4 juta orang yang berdagang di pasar tradisional termasuk 533.563 orang Pedagang Kaki Lima (PKL). Apabila masing-masing pedagang memiliki 2 orang tenaga kerja, maka setiap pedagang dan tenaga kerjanya akan berjumlah 3,8 juta orang dan ditambah pedagang kaki lima akan berjumlah 4,1 juta jiwa. Dalam menghidupi keluarganya jika 1 jiwa membiayai 3 jiwa dalam satu keluarga, maka dengan kalahnya dalam persaingan di sektor ritel, tutupnya pasar tradisional akan menyebabkan kurang lebih 12,3 juta jiwa kehilangan sumber penghasilan. Jumlah tersebut diluar penghasilan penduduk yang terkait tidak langsung dengan keberadaan pasar tradisional.

Hal serupa juga terjadi di Sulawesi Selatan. Terdapat seratus ribu orang lebih yang berdagang di pasar tradisional atau setara dengan jumlah penduduk di Kabupaten Bantaeng dan Takalar. Apabila pasar tradisional harus tutup karena kalah bersaing dengan ritel modern, maka diperkirakan sejumlah 300 ribu orang akan kehilangan mata pencaharian. Data berikut menunjukan kondisi pasar tradisional di Sulawesi Selatan.

Tabel 3 : Jumlah Pedagang, Luas Bangunan dan Pendapatan Pasar Tradisional di Sulawesi Selatan

Tahun 2012

NO

KABUPATEN/KOTA

JUMLAH

LUAS

PASAR

PEDAGANG

PKL

LAHAN

BANGUNAN

1

Selayar

21

1353

302

50125

8665

2

Bulukumba

48

5613

1648

48594

21283

3

Bantaeng

12

2204

930

34492

17070

4

Jeneponto

16

1694

2060

16646

10000

5

Takalar

9

852

430

13375

9575

6

Gowa

16

2522

755

40090

24556

7

Sinjai

20

1318

1366

83400

27725

8

Maros

13

2342

572

105850

47430

9

Pangkep

24

4371

1135

173658

20120

10

Barru

23

2662

596

32250

13338

11

Bone

50

12078

6737

84845

60813

12

Soppeng

18

7112

1125

169700

63740

13

Wajo

38

6956

2059

35300

18366

14

Sidrap

19

2270

945

31080

16461

15

Pinrang

17

1003

1820

38220

14366

16

Enrekang

13

2625

1396

80159

63959

17

Luwu

17

4555

2365

26500

16390

18

Tana Toraja

8

1150

300

14660

8670

19

Luwu Utara

10

3011

1165

23000

10097

20

Luwu Timur

18

2380

860

124615

37605

21

Makassar

17

8577

4219

176775

81581

22

Pare-pare

4

1376

148

15300

9080

23

Palopo

2

1620

130

28000

11000

TOTAL

433

79644

33063

1446634

611890

Sumber : Kementrian Perdagangan Indonesia, 2012 (diolah)

Berdasarkan hal-hal tersebut, timbul pertanyaan: apakah pasar tradisional akan punah?.

Saran Anda Akan Menambah Sejuta Ide Saya