pengunjung yg online

Anda pengunjung ke :

Wednesday, December 17, 2008

OBJEKTIVITAS PENELITIAN


A. PENDAHULUAN

Pada Oktober 2008 yang lalu, beberapa harian yang beredar di Kota Makassar mengangkat “Headline News” mengenai hasil penelitian dari sebuah lembaga riset nasional yakni “Lingkaran Survey Indonesia” (LSI) tentang prediksi hasil Pemilihan Walikota yang akan dilangsungkan seminggu kemudian. Hasil survey yang dilakukan secara mencolok menjagokan salah satu kontestan (calon Walikota) akan memenangi pemilihan walikota secara mencolok dengan persentase suara diatas 70%. Apabila hal itu terjadi maka kontestan tersebut memenangi pemilihan secara mutlak dan jauh mengungguli kontestan-kontestan lainnya.
Pemilihan Walikota Makassar diikuti oleh tujuh kontestan atau tujuh pasang calon Walikota dan Wakil Walikota. Selama enam bulan sebelum Pemilihan Walikota Makassar dilangsungkan, ketujuh kontestan tersebut sama-sama melakukan kampanye dan sosialisasi diri yang kurang lebih sama intensitasnya. Hampir semua pojok kota dihiasi dengan sarana pencitraandiri para kontestan seperti spanduk, baliho, stiker dll.
Walaupun LSI telah melaksanakan survey di banyak daerah, hasil yang diangkat di berbagai media masa mengundang ragu dari sejumlah kalangan. Berbagai pihakpun angkat bicara menyoroti objektivitas survey yang dilakukan LSI. Kubu lain menganggap LSI dalam melaksanakan survey tidak netral sehingga hasil yang mereka dapatkan hanya merupakan salah satu kampaye politik untuk mempengaruhi sikap para pemilih yang belum menentukan pilihannya.LSI digunakan sebagai alat politik oleh salah satu kontestan. Keakuratan hasil survey yang dilakukan LSI dalam Pemilihan Kepala Daerah di berbagai daerah pada waktu lalu, terlupakan oleh mereka ketika mereka melihat hasil yang diumumkan media cetak di Makassar.
Setelah Pemilihan Walikota selesai dilaksanakan dan dilakukan penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasil hitungan KPU tidak berbeda jauh dengan hasil yang diumumkan LSI seminggu sebelumnya. Berbagai pihak yang tadinya meragukan objektifitas penelitian yang dilakukan LSI menjadi diam tanpa komentar.
Mengapa kemudian LSI dicurigai tidak objektif? Hal tersebut karena LSI sendiri bekerja sebagai konsultan politik kontestan yang sedang unggul dalam jajak pendapat. Hal itu mengakibatkan independensi mereka sangat diragukan untuk memaparkan hasil penelitian yang benar. Kemudian, pengalaman mereka di daerah lain yang secara karakteristik budaya sangat berbeda apabila dipakai sebagai tolok ukur referensi pemilih di Makassar akan membawa kesalahan pengambilan sampel dengan akibat tentunya pada kesimpulan akhir hasil survey tersebut.
Demikianlah objektivitas penelitian selalu diperdebatkan. Pemilihan Walikota Makassar adalah salah satu dari berbagai kejadian yang sudah terjadi diberbagai penjuru dunia. Objektifitas penelitian selalu dipertanyakan. Hanya Tuhan dan si Peneliti yang tahu objektivitas penelitain, demikian banyak komentar yang sering didengar jika ada keraguan tentang hasil sebuah penelitian.
Penelitian sendiri merupakan sarana yang dipakai untuk mengembangkan pengetahuan atau memprediksi sebuah realita yang akan terjadi. Dalam penelitian-penelitian sosial terlalu banyak faktor yang harus diperhitungkan. Untuk itu, desain sebuah penelitian haruslah dibuat sebaik mungkin untuk menghasilkan kesimpulan yang bermanfaat untuk pengembangan ilmu maupun berfaedah bagi kemaslahatan manusia.

B. ILUSTRASI MONYET KE 100


“Monyet Ke-Seratus” (The Hundreth Monkey) pertama kali penulis dengar pada saat mengikuti perkuliahan filsafat ilmu ekonomi di program doktoral Universitas Hasanuddin yang diasuh oleh Prof. W.I.M. Poli. Ketertarikan penulis akan cerita tentang The Hundreth Monkey (THM) menggerakan penulis untuk menelusuri lebih lanjut kisah tersebut melalui browsing internet. Setelah diteliti, ternyata ada ribuan entries di Google yang membahas tentang THM. Prof.W.I.M.Poli sendiri telah panjang lebar menceritakan tentang fenomena THM. Kisah tentang THM secara ringkas diawali dari penelitian sejumlah ilmuwan Jepang selama 30 tahun tentang prilaku sekelompok monyet (macaca fuscata) di pulau Koshima. Penelitian tentang THM berorientasi pada perubahan perilaku macaca fuscata dengan serangkaian perlakuan penelitian terhadapnya.
Lazimnya sebuah penelitian, publikasi hasil akan mengundang banyak tanggapan. Tanggapan-tanggapan terhadap penelitian sering menjadi acuan untuk melakukan penelitan dengan maksud mendalami hasil yang didapat, atau menggunakan penelitian yang ada untuk selanjutnya ditafsirkan menjadi sebuah kesimpulan baru. Dalam kasus penelitian tentang THM, ternyata adapula yang menggunakannya tanpa mengacu pada publikasi asli para peneliti. Hal tersebut mengundang beberapa hasil yang sulit dipisahkan antara fakta dan pendapat yang simpang-siur. Beberapa kesimpulan ditafsirkan secara ilmiah, yaitu dapat dibuktikan kebenaran atau ketidak-benarannya, karena didasarkan pada data yang obyektif. Dan ada yang bersifat non-ilmiah, yaitu tidak dapat dibuktikan kebenaran atau ketidak-benarannya, karena telah memasuki wilayah “kepercayaan” yang subyektif.
Penelitian tentang THM dimulai dari sejumlah peneliti Jepang yang memantau perilaku sekelompok monyet di pulau Koshima. Apabila dalam penelitian-penelitan ilmu eksata dilakukan dalam laboratorium, maka para peneliti Jepang tersebut membuat suatu area terbuka yang memudahkan mereka memantau perilaku monyet-monyet sebagai objek penelitian. Area terbuka tersebut dikondisikan layaknya sebuah laboratorium penelitian dengan tujuan memudahkan mereka memantau perilaku monyet yang telah diarahkan turun dari hutan. Para peneliti menebarkan ubi jalar sepanjang area sampai ke pantai. Setelah itu semua monyet yang ada diberi nama untuk keperluan pemantauan perilaku. Hal ini dapat dilakukan karena setiap kelompok monyet yang hidup terpisah dari kelompok lainnya hanya terdiri atas 20 hingga 30 ekor. Penebaran ubi jalar di pantai Koshima dimulai pada tahun 1952.
Dari pemantauan terhadap perilaku sejumlah monyet, tercatat ada seekor monyet betina yang masih berada di sekitar ibu mereka (usianya + 18 bulan) mencuci ubi jalarnya di sungai sehingga menjadi bersih dan terasa lebih lezat kalau dimakan. Monyet tersebut (dalam bahasa Jepang monyet disebut ”Imo”) kemudian menularkan pola makan ubi dengan dicuci terlebih dulu kepada induknya, saudara-saudaranya serta ke monyet sepermainannya.
Pemantauan terhadap perilaku monyet telah terlebih dahulu didapat bahwa monyet muda selalu berkumpul hanya dengan monyet muda lainnya dan tidak dengan monyet dewasa lainnya kecuali induk dan saudara-saudara lainnya. Proses interaksi sesama monyet kemudian menghantarkan monyet-monyet muda menularkan pula pola makan cuci terlebih dahulu kepada induknya masing-masing. Sehingga pola tersebut kemudian menyebar ke seluruh monyet yang ada.
Penemuan tersebut kemudian dihadapkan lagi pada kenyataan bahwa ternyata populasi monyet lain, yang berada di pulau-pulau yang terpisah dari Koshima, juga berubah prilakunya, menjadi sama dengan prilaku populasi monyet di Koshima. Fakta tersebut kemudian melahirkan berbagai pendapat yang berbeda-beda dan bahkan tidak ilmiah yang diantaranya oleh peneliti Watson dan Keyes, yang melahirkan istilah “ The Hundreth Monkey”. Istilah itu tidak diperkenalkan oleh para peneliti Jepang. melainkan dipublikasikan oleh orang-orang yang tidak terlibat dalam penelitian di pulau Koshima. Adanya perilaku yang sama pada monyet-monyet disekitar pulau khosima menurut Keyes karena ada kekuatan supra natural yang menghubungkan monyet di pulau koshima dengan pulau-pulau disekitarnya.
“The Hundreth Monkey” adalah produk dari tafsiran-tafsiran dari penelitian di pulau Koshima oleh orang-orang yang justru tidak terlibat saat itu. Mereka hanya menggunakan informasi-informasi tertulis dan menulis kembali dengan daya nalar yang ada (pada mereka) untuk kemudian mengklaim sebagai suatu penemuan baru.
Ilustrasi di atas adalah gambaran bagaimana suatu hasil penelitian dapat membuka peluang menjadi sangat subjektif apabila tidak sekedar diambil dan ditafsirkan oleh orang lain yang tidak tekun mengamati fenomena namun berani mengambil kesimpulan terhadap fenomena sosial yang ada. Data dan realita yang tertulis di atas kertas, tidak dapat serta merta menjadi acuan untuk menyimpulkan sesuatu. Objektifitas penelitian akan dipertanyakan apabila peneliti tidak memasuki ruang penelitian secara totalitas.

C. ANOMALI PARA ILMUWAN DARI THOMAS S. KUHN

Kesimpangsiuran pendapat seperti dalam penemuan “The Hundreth Monkey” oleh Watson dan Keyes sesungguhnya oleh Thomas Samuel Kuhn disebut sebagai anomali. Kuhn menyebut kegiatan ilmiah dalam masa sains normal, dimana para ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkannya secara terperinci dan mendalam, karena tidak sibuk dengan hal-hal yang mendasar. Dalam tahap ini menurut kuhn, ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktifitas ilmiahnya, dan selama menjalankan riset ini, ilmuwan bisa menjumpai berbagai fenomnea yang tidak bisa diterangkan dengan teorinya. Itulah yang kemudian Kuhn namakan anomali.
Jika anomali-anomali semakin menumpuk, maka sebenarnya para ilmuwan telah keluar dari sains normal. Untuk itu, kuhn menawarkan cara mengatasi hal tersebut dengan cara kembali agi ke cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan suatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Itulah yang Kuhn sebut sebagai Revolusi Ilmiah. Revolusi ilmiah akan mengganti semua atau sebagian paradigma lama ke paradigma baru yang bertentangan.
Kuhn lebih lanjut mengatakan data anomali-lah yang berperan besar memunculkan sebuah penemuan baru yang diawali dengan kegiatan ilmiah. Betulkah ada kekuatan supra natural yang mengubungkan monyet-monyet di pulau Koshima dengan pulau-pulau lain? Pertanyaan tersebut adalah sebuah anomali. Ketika Orang hanya terpaku dengan perilaku Imo di pulau Koshima dan pada kenyataannya ada hal yang sama terjadi di pulau sekitarnya yang tidak dapat dijelaskan dengan teori, maka Keyes dan Watson menyimpulkannya sendiri tanpa melakukan kegiatan ilmiah. Hal tersebut menyebabkan anomali dan cenderung tidak ilmiah.Mereka tidak melakukan kegiatan ilmiah yang mengakibatkan kesimpangsiuran pendapat. Kuhn sendiri menjelaskan bahwa kegiatan ilmiah dapat berupa dua macam kegiatan yaitu puzzle solving dan penemuan paradigma baru.
Puzzle solving ditandai dengan para ilmuwan membuat percobaan dan mengadakan observasi yang tujuannya untuk memecahkan teka-teki, bukan mencari kebenaran. Apabila dengan puzzle solving tidak dapat memecahkan persoalan penting, maka dilakukan kegiatan ilmiah berikutnya yaitu penemuan paradigma baru. Penemuan paradigma baru diawali dengan kesadaran akan anomali, yakni dengan pengakuan bahwa alam, dengan suatu cara, telah melanggara pengharapan yang didorong oleh paradigma yang menguasai paradigma normal. Dalam penemuan paradigma baru harus ada penyesuaian antara fakta dengan teori yang baru.

D. PENUTUP
Objektivitas penelitian adalah hal mendasar dari sebuah pengembangan teori. Karakteristik dari penelitian adalah saling pengaruh-memengaruhi antara peneliti dengan subjek penelitian, walaupun secara teori dapat dikatakan penelitian harus diusahakan senon reaktif mungkin. Seiring lamanya waktu di lapangan, objektivitas peneliti dapat saja meluntur disertai hilangnya sikap keasingan. Peneliti menjadi kehilangan jati dirinya sebagai peneliti dan berubah menjadi “orang dalam”. Lebih jauh seperti yang dialami oleh Keyes dan Watson, mereka teradopsi oleh nilai-nilai lokal secara berlebihan oleh peneliti sehingga menjadi pribadi yang sama sekali berbeda, termasuk di antaranya hal-hal yang tidak logis. Bila hal ini terjadi tentu kurang menguntungkan. Untuk mengatasinya, Kuhn menawarkan untuk kembali ke kegiatan-kegiatan ilmiah. Dengan kegiatan ilmiah, objektivitas peneliti dapat dengan cepat dikoreksi atau dipulihkan bila terjadi ketidakakuratan.

Sunday, December 14, 2008

SELAMAT JALAN MONG OWANG


Sampai detik ini, saya tidak tahu siapa namanya, sedari kecil yang keluar dari mulutku hanya : "Mong Owang", seorang lelaki kekar, pendirian tegar, dan wajahnya selalu segar.
Sampai suatu malam, tepatnya di awal Desember ketika HP ku berbunyi yang isinya singkat : "Teng....! Mong So Meninggal,.............
Refleks HP O2 Sinc kesayanganku terlempar dari tangan, jatuh (untung jatuhnya di kasur).
Perpisahan adalah suatu yang biasa. Namun kadang perpisahan tidak rela dilangsungkan ketika kita belum siap berpisah. apalagi dengan orang-orang yang di mata kita : "baik" dan penuh perhatian. itulah hidup.
Mong Owang, adalah kakak laki-laki dari mamiku. dalam keadaan penuh kesederhanaan dia pergi dengan satu paling menonjol di mataku : keteguhan pendirian. Mong Owang sangat pantang untuk mengubah pendiriannya. dia mampu mengalahkan diri sendiri (apalagi orang lain). Gambaran itu dibuktikannya dengan bagaimana dia meninggalkan gaya hidup alkoholik (paminung) yang tiada hari tanpa alkohol. Semenjak muda hampir sulit ditemui Mong Owang tidak mabuk dalam sehari. Hidup demikian dia jalani selama puluhan tahun. Hingga suatu ketika di tahun 2000an dengan mantap Mong Owang menyatakan tidak akan menengguk alkohol lagi. semua orang yg mendengarnya tidak akan percaya. tapi dia membuktikannya hingga Tuhan memanggilnya di usia yang ke 59 tahun.
Mong Owang bukanlah petinggi negeri yang kematiannya dijadikan hari berkabung nasional.
Mong Owang juga bukan selebriti yang senyumannya mengisi infoteiment TV
Mong Owang juga bukan pendeta yang khotbahnya disimak para jemaat
Mong Owang juga bukan konglomerat yang hidupnya meninggalkan banyak warisan
tapi dimataku.......
Mong Owang adalah petinggi negeri yang kematiannya membuatku dirudung duka.
Mong Owang juga adalah selebriti yang senyumannya mengisi infoteiment pikiranku.
Mong Owang juga adalah pendeta yang komitmennya kusimak secara bijak
Mong Owang juga adalah konglomerat yang hidupnya meninggalkan warisan luhur, bahwa kesederhanaan adalah kemewahan bagi mereka yang bersyukur.
Selamat jalan Mong Owang......
Kesederhanaan Hidupmu adalah inspirasi kerjaku
Komitmen hidupmu adalah pelajaran bagi karyaku
Cinta dan sayangmu adalah pelajaran dan dedikasiku
selamat jalan Mong Owang....
selamat jalan pamanku....
selamat jalan.....
selamat ..........
Dari Negeri Anging Mamiri, terkirim duka untuk kepergianmu

Tuesday, October 21, 2008

Campur tangan Pemerintah dalam ekonomi


Adam Smith melalui bukunya "Welfare of Nation" meyakinkan banyak orang bahwa ekonomi akan berkembang melalui "invisible hand" (tangan tersembunyi) bukan melalui campur tangan pemerintah. faham Adam Smith melahirkan apa yang sekarang dinamakan ekonomi kapitalis (leizzes faire). Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang paling sedikit memerintah. Ekonomi akan berkembang dengan sendirinya mengikuti dinamika pasar. Demikian pemahaman dasar dari Adam Smith yang dikenal sebagai bapak ekonomi.


Disaat ekonomi dunia sedang bergejolak saat ini, para ekonom banyak yang mempertanyakan keberadaan sistem ekonomi kapitalis. Hal tersebut banyak disebabkan oleh anggapan bahwa gejolak ekonomi yang dialami berjamaah oleh seantero negara di dunia ini karena ada sesuatu yang salah dalam penataan ekonomi mengikuti paham kapitalis.


Pertanyaan yang menggelitik untuk kita semua adalah : apakah ada alternatif lain selain sistem kapitalis yang tahan terhadap kemungkinan kebangkrutan ekonomi dunia? apakah itu ekonomi pancasila? ekonomi syariah? atau apa?


Jhon Meyard Keynes, melalui bukunya yang terkenal "The General Theory" sebenarnya sudah menawarkan varian baru dalam sistem ekonomi. Keynes pada intinya menawarkan sistem ekonomi dengan campur tangan tertentu dalam mengatur ekonomi oleh pemerintah. Pengikut aliran berpikir Keynes yakni Paul Krugman turut pula menyumbangkan ide mengenai campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Paul Krugman kemudian dinobatkan sebagai penerima nobel tahun 2008 ini.


Mari kita tunggu bersama, apa yang akan terjadi di waktu mendatang. apakah kapitalis akan terus dipertahankan sebagai satu-satunya sistem ekonomi yang dipakai, ataukah sistem ekonomi dengan campur tangan pemerintah (keynessian) yang akan tampil menggantikannya.

Saturday, October 18, 2008

Life is not VCD player

Cerita ini adalah "kisah nyata" yang pernah terjadi di Amerika..Seorang pria membawa pulang truk baru kebanggaannya, kemudian ia meninggalkan truk tersebut sejenak untuk melakukan kegiatan lain.Anak lelakinya yang berumur 3 tahun sangat gembira melihat ada truk baru, ia memukul-mukulkan palu ke truk baru tersebut.Akibatnya truk baru tersebut penyok dan catnya tergores. Pria tersebut berlari menghampiri anaknya dan memukulnya, memukul tangan anaknya dengan palu sebagai hukuman.Setelah sang ayah tenang kembali, dia segera membawa anaknya ke rumah sakit.. Walaupun dokter telah mencoba segala usaha untuk menyelamatkan jari- jari anak yang hancur tersebut, tetapi ia tetap gagal. Akhirnya dokter memutuskan untuk melakukan amputasi semua jari pada kedua tangan anak kecil tersebut.Ketika anak kecil itu sadar dari operasi amputasi dan jarinya telah tidak ada dan dibungkus perban, dengan polos ia berkata, "Papa, aku minta maaf tentang trukmu." Kemudian, ia bertanya, "tetapi kapan jari-jariku akan tumbuh kembali?" Ayahnya pulang ke rumah dan bunuh diri.
Renungkan cerita di atas!Berpikirlah dahulu sebelum kau kehilangan kesabaran kepada seseorang yang kau cintai. Truk dapat diperbaiki. Tulang yang hancur dan hati yang disakiti seringkali tidak dapat diperbaiki.Terlalu sering kita gagal untuk membedakan antara orang dan perbuatannya, kita seringkali lupa bahwa mengampuni lebih besar daripada membalas dendam.Orang dapat berbuat salah. Tetapi, tindakan yang kita ambil dalam kemarahan akan menghantui kita selamanya. Tahan, tunda dan pikirkan sebelum mengambil tindakan. Mengampuni dan melupakan, mengasihi satu dengan lainnya.Ingatlah, jika kau menghakimi orang, kau tidak akan ada waktu untuk mencintainya. Waktu tidak dapat kembali.....
Hidup bukanlah sebuah VCD PLAYER, yang dapat di Backward dan Forward..... ..HIDUP hanya ada tombol PLAY dan STOP saja....Jangan sampai kita melakukan kesalahan yang dapat membayangi kehidupan kita kelak....... ..yang menjadi sebuah inti hidup adalah "HATI". Hati yang dihiasi belas kasih dan cinta kasih.....CINTA KASIH merupakan nafas kehidupan kita yang sesungguhnya. ........

Monday, October 6, 2008

PEMIKIRAN FILSAFAT BERTRAND RUSSELL

I. PENDAHULUAN
Kehidupan memaksa kita untuk mengadakan pilihan, mengukur sesuatu dari segi lebih baik atau lebih jelek dan untuk memberi formulasi tentang ukuran nilai. Kita memuji atau mencela, mengatakan bahwa suatu tindakan itu benar atau salah dan menyatakan pemandangan di muka kita itu “indah” atau “buruk”. Setiap individu mempunyai perasaan tentang nilai. Jika kita tidak melakukan pilihan kita sendiri, maka waktu atau teman-teman kita atau kekuatan-kekuatan luar lainnya akan menetapkan pilihan itu untuk kita, dan ini berarti penetapan kita juga. Oleh karena itu, maka soalnya bukan apakah kita harus atau tidak perlu mempunyai ukuran, keyakinan, kesetiaan atau idealism yang atas dasar-dasarnya kita mengatur kehidupan. Soalnya adalah apakah ukuran-ukuran tersebut harus konsisten atau tidak konsisten, harus mengembangkan kehidupan atau merusaknya. Menganggap sepi peran nilai berarti mempunyai gambaran yang keliru atau dari segi tentang manusia dan alam. Kebanyakan orang suka melihat kesopanan, keadilan, cinta dan pengabdian untuk tambahnya kebenaran serta berkurangnya kekejaman, kezaliman, kebencian, keburukan dan kepalsuan (Titus, 1984).
Pada kesempatan ini penulis akan membahas pemikiran Bertrand Russel. Mengkaji dan menulis secara lengkap tentang pemikiran Bertrand Russel tidak cukup dengan sebuah makalah sederhana dan waktu yang sangat terbatas. Penulis menyadari akan hal itu, sehingga penulis mencoba mengambil beberapa tulisan yang sekiranya mungkin dapat memberikan gambaran pemikiran-pemikiran Bertrand Russel. Dalam penelusuran, penulis mendapat banyak artikel, makalah, dan berbagai tulisan yang berkenaan dengan itu. Dalam proses penulusuran itu maka penulis mendapat sebuah artikel yang sangat menarik dengan judul nilai dalam prespektif Bertrand Russel. Tulisan ini sepenuhnya penulis ambil dari artikel tersebut dengan beberapa edit yang dilakukan tanpa mengurangi substansi tulisan.
Bertrand Russel hidup di tengah kecamuk perang dunia pertama dan kedua, perang dingin, dan merasakan pertempuran nilai pada abad XX. Situasi psikologis ini menjadikan pemikiran Bertrand Russel layak untuk kita kaji, karena begitu erat relevansinya dengan kehidupan kita pada awal dasawarsa abad XXI ini.
Tugas filsafat adalah memberikan pertimbangan dan kritik teoritis atas suatu pandangan/hal. Ada perbedaan mendasar antara filsafat dengan psikologi (Mudhofir, 2005). Meskipun demikian, ketika membahas pemikiran seorang filsuf, kita tidak bisa melepaskan diri dari aspek-aspek psikologis-sosiologis yang melatarbelakangi kehidupan sang filsuf. Oleh karena itu, sebelum memulai pembahasan inti makalah ini (sebagaimana yang tersirat di judul makalah), penulis akan menyajikan secara ringkas profil dari Bertrand Russel.


II. PROFIL BERTRAND RUSSEL
Profil Bertrand Russel ini, dikutip dari kata pengantar yang disampaikan oleh Michael Ruse, dalam pendahuluan buku Religion dan Sains, karangan Bertrand Russel. Berikut akan diulas secara singkat kehidupan filsuf sekaligus matematikawan Inggris ini.
Bertrand Arthur William Russel, cucu dari negarawan Victorian Lord John Russel, dilahirkan di Inggris pada 1872. Setelah dididik secara privat pada masa kanak-kanak, Russel kemudian dikirim sebagai mahasiswa di Cambridge University untuk belajar matematika. Selama dua puluh tahun berikutnya, Russel bekerja secara intens dalam pelbagai kajian filosofis; meskipun, mengingat dia selalu terdorong oleh keprihatinan-keprihatinan sosial yang bersifat massif, ketertarikannya selalu saja melampaui penyelidikan-penyelidikan akademik yang sempit.
Selama Perang Dunia Pertama, Russel menjadi terkenal karena pasifisme (paham yang menentang penggunaan kekuatan dan kekerasan dalam kondisi apa pun; utamanya penentangan terhadap alasan-alasan yang membenarkan seseorang terlibat dalam perang bersenjata) yang terang-terangan dan pada akhirnya, mengakibatkan dirinya mendapatkan hukuman penjara selama enam bulan. Setelah perang selesai, aktivitas-aktivitas Russel menjadi semakin radikal dan terkenal. Yang paling penting adalah pendirian sebuah sekolah progresif, sekolah yang dimaksudkan untuk memberikan kemerdekaan yang genuine kepada anak-anak dan menghindarkan mereka dari pelbagai represi pendidikan konvensional. Pada saat yang bersamaan, Russel melakukan pekerjaan untuk menghidupi dirinya dan keluarganya dengan menulis serangkaian tulisan-tulisan popular.
Perang Dunia Kedua mendapatkan Russel, yang mewarisi kebangsawanan keluarga pada 1931, lagi-lagi berada dalam kesulitan, setelah jabatannya sebagai dosen di City College of New York disangkal karena alasan-alasan non ortodoksinya (unorthooxy) yang berbahaya. Kemudian, untuk sementara, dia memasuki kehidupan yang lebih tenang. Kejeniusannya diakui, dia diberi penghargaan warga Negara sipil paling terhormat di Inggris, “Order of Merit”, dan juga mendapatkan Hadiah Nobel di bidang sastra. Tetapi, yang kontroversial hingga akhir, dasawarsa-dasawarsa terakhir kehidupan Russel dihabiskan untuk mengutuk kejahatan-kejahatan senjata nuklir dan juga protes-protes yang mendapatkan banyak publikasi melawan keterlibatan Amerika Serikat dalam perang Vietnam. Dia meninggal dalam usia yang sangat tua pada 1970, di Wales, dalam keadaan bahagia atas dukungan teman-teman, keluarga, dan istrinya yang keempat.
Setelah mengetehui secara umum biogarfi Russel penulis akan masuk pada bahasan nilai yang menjadi focus kajian makalah ini. Karena begitu luasnya cakupan pembahasan tentang nilai (begitupun juga banyak tema-tema nilai yang dibicarakan oleh Russel), maka penulis membatasi diri pada dua persoalan utama yaitu: 1. Sains dan Agama; 2.Sains dan Etika.


III. SAINS AND AGAMA
Teori Russel mengenai nilai dikemukakannya terutama dalam karyanya yang fenomenal “Religion and Science” (Agama dan Ilmu). Karya ini pertama kali diterbitkan pada 1935, mengalami cetak ulang selama lebih dari dua puluh empat kali. Russel memandang sains sebagai upaya untuk memahami dunia pengalaman melalui hukum yang tak terputus-putus (unbroken law), dan agama baginya, merupakan sebuah fenomena kompleks dengan klaim-klaim (kredo) mengenai hal-hal yang dianggap mutlak (Frondizi, 2001)
Dalam melihat persinggungan agama dan sains, Russel bisa kita tempatkan pada posisi pendukung “tesis konflik” yang sangat bersemangat (dalam diskursus hubungan agama kita mendapatkan kategorisasi yang baik sekali oleh Ian Harbour ). Baginya, agama dan sains telah lama terlibat dalam perang, dengan mengklaim teritori, gagasan-gagasan, dan kesetiaan-kesetiaan yang sama untuk mereka masing-masing. Perang ini telah dimenangkan oleh sains secara menyakinkan. Dengan matinya agama, maka hilanglah takhayul, penindasan dan kebencian. Dengan keberhasilan sains, datanglah pemahaman dan kebebasan serta cinta kasih.“Sebagian konflik-konflik yang lebih menonjol antara para teolog dan para ilmuan selama empat abad terakhir, dan kita telah berusaha menilai hubungan antara sains masa-sekarang dengan teologi masa-sekarang. Kita telah melihat bahwa, dalam periode semenjak Kopernikus, kapan saja sains dan teologi mengalami ketidaksepakatan, sains terbukti menang. Kita juga telah melihat bahwa, di mana persoalan-persoalan praktis dilibatkan, seperti dalam perdukunan dan pengobatan, sains berhasil mempertahankan usaha mengurangi penderitaan manusia, sementara teologi telah mendorong kekejaman alami manusia. Penyebaran pandangan ilmiah, sebagaimana dipertentangkan dalam pandangan teologis, tak dapat disangkal selama ini telah berguna bagi kebahagiaan manusia.” (Russel, 2005).


IV. SAINS DAN ETIKA
Russel berpendapat bahwa nilai berada di luar ilmu. Baginya dua hal ini memiliki wilayah yang berbeda. Dia mengatakan:“Persoalan yang mengacu pada nilai berada di luar ilmu, bukan karena persoalan tersebut bersentuhan dengan filsafat, melainkan karena “persoalan nilai sama sekali terletak di luar ranah pengetahuan”. Ketika kita mengatakan bahwa sesuatu itu memiliki nilai, kita tidak menyatakan suatu fakta yang bebas dari perasan pribadi kita; malahan kita memberikan ungkapan atas emosi kita sendiri.” (Russel, 2005).
“Sains seharusnya bersifat netral, karena argumen tersebut merupakan argument ilmiah, harus dilakukan secara tepat sebagai sebuah argumen yang akan dilakukan dengan sebuah eksperimen tak pasti. Sains bergantung pada persepsi dan kesimpulan; krediblitasnya diperoleh karena fakta bahwa persepsi-persepsi semacam itu dapat diuji oleh setiap pengamat.” (Russel, 2005).
Tentu saja argument Russel ini mendapat perlawanan dari etikawan dan para mistiskus (kaum agamawan). Namun, dengan sangat jitu Russel memberikan jawaban:“Mereka yang mempertahankan ketidakcukupan sains, menuntun pada fakta bahwa sains tidak memiliki apapun yang dapat digunakan untuk menjelaskan tentang nilai-nilai. Ini saya akui; tetapi jika disimpulkan bahwa etika mengandung kebenaran-kebenaran yang tidak dapat dibuktikan atau disangkal oleh sains, saya tidak sepakat.” (Russel, 2005).
“Kajian tentang etika, secara tradisional terdiri dari dua bagian, satu bagian berkaitan dengan aturan-aturan moral, bagian yang lainberkaitan dengan apa yang baik dalam dirinya sendiri. Aturan-aturan tingkah laku, banyak di antaranya memiliki asal-muasal ritual, memainkan bagian terbesar dalam kehidupan orang liar dan orang-orang primitive. Aturan-aturan moral yang lain, semisal larangan untuk membunuh dan mencuri, memiliki kegunaan sosial yang lebih jelas. Ketika manusia menjadi reflektif, terdapat kecendrungan untuk memberikan lebih sedikit penekanan terhadap aturan-aturan dan lebih banyak penekanan pada cara berpikir (state of mind).” (Russel, 2005).
Hal ini memunculkan pertanyaan, kalau memang demikian, apakah yang bisa kita jadikan sebagai patokan bagi nilai? Russel kemudian melanjutkan penjelasannya terkait dengan tawaran “pertimbangan hati nurani”:
“Kepercayaan terhadap hati nurani memiliki arti khusus dalam etika Protestan. Ada anggapan bahwa Tuhan mewahyukan kepada tiap-tiap manusia apa yang benar dan apa yang salah, sedimikian rupa sehingga, agar dapat menghindari dosa, kita benar-benar harus mendengarkan suara batin kita.” (Russel, 2005)
“Terdapat dua kesulitan yang berbeda dalam teori ini (hati nurani): pertama, bahwa hati nurani mengatakan hal yang berbeda terhadap orang-orang yang berbeda; kedua, memberi kita pemahaman mengenai sebab-sebab duniawi dari pelbagai perasaan yang berkaitan dengan hati nurani.” (Russel, 2005).
“Adalah hal alami jika kita menisbatkan perasaan-perasaan tersebut dengan suara Tuhan dalam hati kita. Tetapi pada kenyataannya hati-nurani merupakan produk dari pendidikan, dan dapat dilatih untuk merestui atau mencela, dalam sebagian besar umat manusia, ketika mungkin dianggap sesuai oleh para pendidiknya.” (Russel, 2005).
“Oleh karenanya, sementara benar jika kita ingin membebaskan etika dari aturan-aturan moral eksternal, ini tidak dapat dicapai secara memuaskan dengan menggunakan gagasan tentang “hati-nurani”.” (Russel, 2005).
Pendekatan hati nurani ini, sangat sering kita temui dalam metode penyadaran agamis dewasa ini. Ada Manajemen Qalbu (Abdullah Gymnastiar), ESQ (Ary Ginanjar), Wisata Hati (Yusuf Mansur), Dzikir (Muhammad Arifin Ilham), dan yang lainnya. Dalam kenyataannya, kita melihat tidak ada perubahan signifikan atas metode-metode tersebut. Meskipun telah banyak pejabat yang detraining ESQ, tetap saja tingkat korupsi masih tinggi. Merujuk pada amat “kabur” nya pengertian hati nurani, tidak salah jika Bertrand Russel tidak sepakat melandasi etika dengan pertimbangan “hati nurani”.
Kemudian, Russel mengambarkan kepada kita bentuk rasional lainnya untuk pertimbangan nilai tentang apa yang dikatakan sebagai “Kebaikan”:
“Kita memiliki pemahaman yang berbeda di mana sebuah tindakan mungkin dapat diperintahkan secara etik: (1) ia mungkin sesuai dengan aturan moral yang diterima masyarakat; (2) ia mungkin dimaksudkan secara tulus agar memiliki efek-efek yang baik; (3) ia mungkin pada kenyataannya memiliki efek-efek yang baik.” (Russel, 2005).
“Para filosof telah membentuk konsepsi-konsepsi yang berbeda tentang Kebaikan. Sebagian berkeyakinan bahwa ia berada dalam pengetahuan dan cinta akan Tuhan; sebagian lagi dalam cinta universal; yang lainnya lagi dalam kesenangan.” (Russel, 2005).
“Ketika kita mengatakan bahwa ini atau itu adalah “Kebaikan”, kita mendapatkan diri kita sendiri terlibat dalam kesulitan yang sangat besar. Dalam persoalan ilmiah, bukti dapat dikemukan pada kedua pihak, dan pada akhirnya ada satu pihak yang tampak memiliki alasan yang lebih baik, atau jika ini tidak terjadi, persoalan tersebut tetap dibiarkan tak-terselesaikan. Tetapi dalam pertanyaan yang berkaitan dengan apakah ini atau itu merupakan Kebaikan tertinggi, tidak ada bukti apa pun; masing-masing pendebat hanya dapat menyerukan emosi-emosinya sendiri, dan menggunakan alat-alat retorik ini sebagai karang-karangan yang memunculkan emosi-emosi yang sama pada pihak lain.” (Russel, 2005).
“Seluruh gagasan tentang baik dan buruk memiliki hubungan tertentu dengan hasrat. Prima facie, segala hal yang kita dambakan adalah “baik” dan segala hal yang kita takutkan adalah “buruk”. Jika kita semua sepakat dengan hasrat-hasrat kita, masalah tersebut dapat ditinggalkan di sana, tetapi sayangnya hasrat-hasrat kita saling bertentangan.” (Russel, 2005).
Ketika meletakan patokan etika pada masing-masing individu, Russel menyatakan kita terjebak pada relavitas antara satu orang dengan orang lain. Etika yang diupayakan banyak filsuf adalah etika yang objketif. Tapi Russel meragukan akan hal ini, sebagaimana perkataannya: “Etika merupakan sebuah upaya-meskipun bukan menurut hemat saya, usaha yang berhasil-untuk menghindari diri dari subjektivitas ini.” (Russel, 2005).
“Etika terkait erat dengan politik: ia merupakan sebuah upaya untuk menyampaikan pelbagai hasrat kolektif dari suatu kelompok untuk mempengaruhi individu-individu; atau sebaliknya, ia merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh seorang individu yang menjadikan keinginannya sebagai keinginan kelompoknya. Yang kemudian tentu saja hanya mungkin, jika hasrat-hasratnya tidak terlalu jelas bertentangan dengan kepentingan umum…. Oleh karenanya , filosof yang menilai Kebenaran, Kebaikan dan Keindahan, tampaknya, menurut hemat saya, tidak hanya sedang mengekspresikan hasrat-hasratnya sendiri, tetapi menunjukkan jalan menuju kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Tidak seperti seorang maling, dia mampu mempercayai hasrat-hasratnya adalah demi sesuatu yang memiliki niali dalam pengertian impersonal. Etika merupakan sebuah upaya untuk memberikan arti penting universal, dan bukan hanya personal, terhadap hasrat-hasrat tertentu yang kita miliki.” (Russel, 2005).
Kemudian Russel membuktikan bagaimana sangat rentannya pengklaiman “atas nama Kebaikan bersama” dan “atas nama Tuhan”, diselewengkan oleh orang-orang yang memiliki kepentingan sangat erat dengan masyarakat. Dia mencoba memberikan contoh kasus Pembuat undang-undang dan Juru Dakwah:
“Agar tampak memberikan arti-penting universal bagi hasrat-hasrat kita-yang merupakan persoalan etika- mungkin dapat diupayakan dari dua sudut pandang, sudut pandang pembuat undang-undang, dan sudut pandang juru dakwah.” (Russel, 2005).
“Saya akan mengasumsikan, demi mendukung argument tersebut, bahwa sang pembuat undang-undang memiliki kepentingan pribadi. Ketika dia mengakui salah satu hasratnya sebagai hanya berkaitan dengan kesejahteraannya sendiri, dia tidak akan membiarkannya mempengaruhinya dalam membuat rancangan undang-undang. Tetapi, dia memiliki hasrat-hasrat lain yang tampaknya impersonal bagi dia. Kemudian, dia akan, jika dia bisa, mengonstruksi aturan ini sedemikian rupa sehingga aturan yang dihasilkannya dapat mempromosikan tujuan-tujuan yang dia nilai akan, sejauh itu mungkin, sesuai dengan aturan yang kepentingan pribadinya; dan dia akan menegakkan sebuah system instruksi moral yang akan, dimana ia berhasil, menjadikan perasaan orang-orang bersalah jika mereka mengejar tujuan-tujuan lain selain tujuan tersebut. Metode yang dia miliki adalah berusaha memunculkan hasrat-hasrat yang sama dalam diri orang lain yang dia rasakan sendiri, dan untuk tujuan ini dia harus mampu menyentuh emosi-emosi mereka. Setiap upaya untuk membujuk orang-orang dalam bahwa sesuatu itu baik (atau buruk) dalam dirinya sendiri, dan bukan hanya pada efek-efeknya, tergantung pada seni memunculkan perasaan bukan pada pengajuan bukti tertentu. Dalam setiap kasus keterampilan, juru dakwah mampu menciptakan emosi-emosi orang lain yang sama dengan emosinya-atau tidak sama, jika dia seorang munafik.” (Russel, 2005).
Untuk melihat bagaimana etika bisa objektif (yang hal ini diragukan sendiri oleh Russel), kita bisa menganalisis dari“pernyataan-pernyataan bernilai” berikut ini:
“Ketika seseorang mengatakan “ini baik dalam dirinya sendiri”, tampaknya dia sedang membuat sebuah pernyataan yang sama ketika dia mengatakan “ini adalah kubus” atau “ini rasanya manis”. Saya menyakini ini sebagai sebuah kekeliruan. Saya menganggap bahwa apa yang sebenarnya dimaksudkan orang tersebut adalah: “Saya menginginkan setiap orang menginginkan ini”, atau bahkan” Akankah setiap orang menginginkan ini”. Jika yang dikatakannya diinterpretasikan sebagai sebuah pernyataan, ia sekadar merupakan peneguhan atas keinginan pribadi sendiri; jika, di sisi lain, diinterpretasikan dengan cara umum, ia tidak menyatakan apa pun, tetapi sekadar menginginkan sesuatu. Keinginan tersebut, sebagai sebuah kejadian, bersifat personal, tetapi apa yang diinginkannya bersifat universal. Menurut hemat saya, itu merupakan kesalinghubungan yang aneh antara yang particular dan universal yang telah menyebabkan demikian banyak kebinggungan dalam bidang etika.” (Russel, 2005).
“Jika saya mengatakan “Semua orang Cina beragama Buddha”, saya dapat disangkal dengan adanya seorang Cina yang Kristiani atau Muslim. Jika saya mengatakan “Saya percaya bahwa semua orang Cina beragama Buddha”, saya tidak dapat disangkal oleh bukti apapun dari apa yang saya katakan. Jika, sekarang, seorang filosof mengatakan “Keindahan itu baik”, saya mungkin menginterpretasikannya sebagai bermaksud “Bukankah setiap orang mencintai keindahan”.” (Russel, 2005).
“Kalimat pertama dari kalimat-kalimat ini tidak membuat penegasan apapun, tetapi mengekspresikan sebuah keinginan, karena ia tidak meneguhkan apapun, secara logis tidak mungkin bahwa harus ada bukti yang digunakan untuk mendukung atau melawannya, atau karena ia harus memiliki kebenaran dan kesalahan kesalahan sekaligus. Kalimat kedua, alih-alih sekadar merupakan pilihan, benar-benar mengungkapkan pernyataan tertentu, tetapi itu adalah pernyataan tentang keadaan pikiran sang filosof, dan ia hanya dapat disangkal dengan bukti bahwa ia tidak memiliki keinginan untuk mengatakan apa yang telah dia katakana. Kalimat kedua ini bukan merupakan wilayah etika, tetapi wilayah psikologi atau biografi. Kalimat pertama, yang benar-benar merupakan bagian etika, mengekspresikan sebuah hasrat akan sesuatu, tetapi tidak menegaskan apa pun.” (Russel, 2005).
Sampailah kita pada perdebatan apakah etika terkait dengan pernyataan benar atau salah dan posisi sains dalam hal ini. Russel menyatakan:
“Etika, tidak mengandung pernyataan, baik benar maupun salah, tetapi terdiri dari pelbagai hasrat dari jenis umum tertentu, yaitu semacam keinginan yang terkait dengan hasrat-hasrat umat manusia pada umumnya-dan hasrat para dewa, para malaikat, para iblis, jika mereka eksis.” (Russel, 2005).
“Sains dapat mendiskusikan sebab-sebab munculnya hasrat, dan cara-cara untuk merealisasikannya, tetapi sains tidak dapat memuat kalimat etis yang genuine, karena ia berkaitan dengan apa yang benar atau salah.” (Russel, 2005).
Setelah panjang lebar memberikan bantahan terhadap Mistikus/Agamawan, dan Etikawan Objektivisme, Russel menyatakan kecendrungannya pada sikap “subjektif” dan memproklamirkan diri sebagai pendukung “subjektivitas” dalam nilai:
“Teori yang saya dukung di atas merupakan salah satu bentuk dari doktrin yang disebut dengan “subjektivitas” nilai-nilai. Doktrin ini terdiri dari upaya mempertahankan bahwa, jika dua manusia memiliki perbedaan nilai-nilai, meskipun tidak ada ketidaksepakatan berkaitan dengan jenis kebenaran apapun, tetapi perbedaan dapat disimpulkan dari fakta bahwa mereka adalah seperti mereka adanya.” (Russel, 2005).
“Terdapat konsekuensi-konsekuensi tertentu dari doktrin tentang nilai-nilai subjektif, dimana yang paling penting adalah penolakan terhadap hukuman balas dendam (vindictive punishment) dan gagasan tentang “dosa”. Tetapi konsekuensi-konsekuensi lebih umum yang ditakuti, harus dideduksi secara logis. Kewajiban moral, jika ia harus mempengaruhi perilaku, harus terdiri bukan hanya dari kepercayaan tertentu, tetapi juga hasrat tertentu.” (Russel, 2005).
“Ketika kita menganalisis hasrat menjadi “baik”, ia secara umum mengubah dirinya menjadi hasrat untuk diakui, atau, sebagai kemungkinan lain, untuk bertindak sedemikian rupa sehingga mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi umum yang kita inginkan.” (Russel, 2005).
Meskipun Russel membela subjektivitas tapi ia tidak mau terjebak dalam relavitas yang hanya membuat manusia terombang-ambing dalam pertimbangan terhadap nilai-nilai. Ia kemudian menawarkan tentang hasrat mulia yang diinginkan oleh setiap orang dengan dukungan rasionalitas, intelegensi, dan kebahagiaan bagi umat manusia:
“Ketika kita merenungkan umat manusia, kita mungkin menginginkan bahwa ia seharusnya bahagia, atau sehat, atau cerdas, atau menyukai-perang, dan seterusnya. Setiap keinginan ini, jika memang kuat, akan memproduksi moralitasnya sendiri; tetapi jika kita tidak memiliki keinginan-keinginan umum semacam ini, perilaku kita, apapun mungkin etika yang kita miliki, hanya akan melayani tujuan-tujuan sosial sejauh kepentingan pribadi dan kepentingan-kepentingan masyarakat dapat selaras. Adalah tanggung jawab institusi-institusi yang bijak untuk menciptakan keselarasan semacam ini sejauh itu dimungkinkan, dan untuk yang lainnya, apapun mungkin definisi teoritik kita tentang nilai, kita harus bergantung pada eksistensi hasrat-hasrat impersonal.” (Russel, 2005).
“Seluruh sistem etika mewujudkan pelbagai keinginan dari mereka yang mendukungnya, tetapi fakta ini disembunyikan dalam kabur kata-kata. Pada kenyataannya, keinginan-keinginan kita lebih bersifat umum dan tidak melulu mementingkan diri sendiri daripada yang dibayangkan oleh kaum moralis; jika tidak semikian, tidak ada teori tentang etika yang memungkinkan terjadinya kemajuan moral. Pada kenyataannya, ia tidak dicapai melalui teori etika, tetapi dengan peningkatan hasrat-hasrat yang besar dan mulia melalui intelijensi, kebahagiaan, kebebasan dari ketakutan, sehingga manusia dapat dibawa untuk bertindak lebih daripada yang mereka lakukan saat ini dengan cara yang konsisten dengan kebahagiaan umat manusia secara umum.” (Russel, 2005).
Tesis akhir Russel tentang landasan bagi setiap teori etika dan nilai adalah apapun yang akan dilakukan dan dipilih, satu hal yang mesti tetap dipegang adalah pencapaian kebahagiaan umat manusia:
“Apa pun definisi kita tentang “Kebaikan” dan apakah kita mempercayainya sebagai subjektif atau objektif, mereka yang tidak menginginkan kebahagiaan umat manusia tidak akan melakukan upaya melanjutkannya, sementara mereka yang benar-benar menginginkannya akan melakukan apa pun yang dapat mereka lakukan untuk mewujudkannya.” (Russel, 2005).
Sains bagi Russel tidak dapat memutuskan persoalan nilai, karena ia berjalan dengan aturan yang unik (metode-metode ilmiah) demi kemajuan sains itu sendiri. Sangat riskan untuk memasukan nilai dalam kerangka kerja internnya:
“Saya menyimpulkan bahwa, benar bahwa sains tidak dapat memutuskan persoalan-persoalan nilai, itu semata-mata disebabkan karena persoalan-persoalan tersebut tidak dapat diputuskan secara intelektual sama sekali, dan berada di luar wilayah kebenaran dan kepalsuan. Pengetahuan apapun yang dapat dicapai, harus dicapai melalui metode-metode ilmiah; dan apa yang tidak dapat ditemukan sains, umat manusia tidak dapat mengetahuinya.” (Russel, 2005).

V. PENUTUP
Penulis melihat, Russel masih terbawa arus utama keadaan sosio-psikologis masyarakat Barat yang trauma dengan dominasi agama (gereja) yang telah secara otoritatif radikal memaksakan setiap dokrin gereja berlaku pada setiap orang. Penyelidikan ilmuan (yang kebanyakan juga para Pastor), banyak menghasilkan kesimpulan dan teori yang bertolak belakang dengan doktrin gereja, mengantarkan mereka ke akhir kehidupan yang tragis (beberapa ilmuan selamat karena mereka tidak mempublikasikan hasil penelitiannya selama masih hidup). Inkuisi adalah tindakan sadis gereja yang merasa terdesak secara telak oleh kiprah para ilmuan. Alat pengebor (maaf) vagina, pencabut (maaf) payudara, pemotong kepala, menguliti kulit, dan pembelah manusia menjadi dua bagian, adalah sebagian instrumen gereja untuk menghukum orang-orang (terutama ilmuan dan wanita yang dituduh sebagai tukang sihir) yang dianggap “kafir” dari ajaran agama (Kristen).
Rasa traumatik atas kekejaman atas agama (Kristen), sangat terlihat dalam bab-bab awal Religion and Science, yang ditulis Russel dengan sangat antusias, membuktikan pertempuran agama dan sains, yang menurutnya dimenangkan oleh sains secara mutlak.
Pembahasan tentang nilai oleh Bertrand Russel, membawa kita pada kejelasan tentang pertimbangan pengetahuan atau perasaan yang akan kita jadikan sebagai acuan dalam memilih nilai, yang pada akhirnya menjadi landasan kita dalam bertindak dan berbuat. Walaupun kita dapat membedakan antara pertimbangan fakta (wilayah sains) dan pertimbangan nilai, namun kita tak dapat memisahkan antara keduanya secara sempurna dalam realitas keseharian (Titus,1984). Terdapat tarik-menarik saling mempengaruhi antara keduanya.
Pertimbangan nilai mungkin dianggap sebagai ekspresi tentang perasaan atau keinginan seseorang, yang bersifat subjektif (emosi, rasa cocok atau tidak cocok, kepuasan hasrat/hajat) (Titus,1984). Tapi kita tidak bisa membiarkannya berhenti pada titik itu. Karena masing-masing orang memiliki keinginan, emosi dan hasrat yang berbeda. Akan sangat riskan membiarkan itu bergulir tak menentu. Sebagaimana Russel telah memberitahu kepada kita, maka setiap pertimbangan nilai, apapun itu, hendaklah meletakkannya dalam sebuah tujuan tertinggi “demi kebahagiaan umat manusia”.



Daftar Pustaka
Frondizi, Risieri. 2001. Pengantar Filsafat Nilai. Terjemahan oleh: Cuk Ananta Wijaya. Pustaka Pelajar; Yogyakarta.
Mudhofir, Ali, dan Heri Santoso. 2007. Asas Berfilsafat. Pustaka Rasmedia; Yogyakarta.
Russel, Bertrand. 2005. Perjumpaan Sains-Agama dan Cita-Cita Politik. Terjemahan oleh Ruslani. Penerbit Ufuk; Jakarta.Titus, Harold, dkk. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat. Terjemahan oleh Prof. Dr. H. M. Rasjidi. Penerbit Bulan Bintang; Jakarta.

Tuesday, September 30, 2008

Barang Paling Laris di Hari Lebaran


Inilah Barang paling laris di hari lebaran. Saya yakin tidak satupun kaum muslim yang tidak berniat untuk membelinya. dijamin halal deh....
yang mau pesan silahkan hubungi saya..... (ha ha....)

Monday, September 29, 2008

LAMPAU DAN DATANG


Makalah ini terinspirasi dari sebuah perdebatan antara pemikiran kelompok yang merindukan suasana relatif terkendali seperti pada era Pemerintahan Soeharto (baca : Orde Baru) dengan kelompok yang sadar bahwa semua kesulitan ekonomi yang dialami sekarang adalah dampak dari kebijakan orde baru. Kelompok pertama didominasi oleh kaum yang ”telah mapan” (pro status quo) dengan gaya berpikir konservatif sedangkan kelompok kedua didominasi oleh kaum yang ”optimis mapan” (kontra status quo) yang didominasi oleh gaya berpikir liberal.
Ciri utama kaum yang ”telah mapan” adalah rasa frustasi dengan realita kehidupan bangsa saat ini. Harga-harga yang kian mahal, KKN yang tidak pernah hilang, kemiskinan semakin bertambah, pengangguran tidak teratasi, kerusuhan sosial yang terus menjamur, jalan yang macet akibat demo-demo, dan berbagai masalah sosial yang di era orde baru sangat langkah ditemui. Tudingan terbesar dari penyebab semua ini dalam pandangan kaum yang ”telah mapan” adalah kebebasan yang kebablasan dengan mengatasnamakan ”demokrasi”. Secara sederhana kaum yang ”telah mapan” lebih menginginkan kebebasannya disunat yang penting masyarakat dapat hidup tanpa dibarengi sembako dan BBM yang mahal, pengangguran berkurang dan stabilitas keamanan yang mapan. Walaupun demikian, kaum yang ”telah mapan” sadar bahwa tidak mungkin negara ini kembali ke semua kebijakan-kebijakan ekonomi masa lalu. Reformasi di segala lini kehidupan bernegara yang dirintis kaum mahasiswa tahun 1998 tidak mungkin dapat terbendung. kaum yang ”telah mapan” berpendapat : tidak semua kebijakan yang lalu adalah jelek/kurang tepat (bahasa diperhalus, sebanarnya :salah). Banyak hal yang baik di waktu lalu yang perlu diadopsi untuk memperkaya khasanah kebijakan publik di era sekarang. Dalam panggung politik nasional, kelompok ini sangat sulit mempengaruhi kebijakan-kebijakan nasional karena mendapat hadangan (dicegat) oleh tekanan Pressure Group (pers, LSM dan Ormas) yang tidak moderat terhadap mereka khususnya di daerah sekitar pusat pemerintahan (Jakarta dan sebagian besar pulau jawa ). Tokoh-tokoh yang secara berani manampakan diri mewakili kaum ini didominasi oleh para purnawirawan ABRI (kini TNI AD) seperti Wiranto dan Prabowo yang masing-masing telah mendirikan partainya sendiri. Tokoh-tokoh sipil dalam kaum ini masih ”malu-malu kucing” menunjukan eksistensi dirinya selain tokoh-tokoh yang telah dikenal sebagai ”Soehartois” atau kerabat cendana seperti Tutut Rukmana dan Harmoko.
Berbeda landasan berpikir dengan Kaum yang ”telah mapan”, kaum yang ”optimis mapan” pada dasarnya berpendapat bahwa kondisi yang dialami bangsa dewasa ini adalah akibat kebijakan masa lalu (utamanya kebijakan ekonomi) yang keliru. Pemerintahan era Orde Baru gagal membangun pondasi ekonomi yang kuat bagi ekonomi masyarakat sehingga sangat rapuh dihantam badai krisis ekonomi, tetapi sangat berhasil membangun pondasi yang kuat bagi iklim KKN sehingga sangat sulit diberantas karena telah membudaya dalam segala jenis profesi dan pekerjaan. kaum yang ”optimis mapan” juga menganggap jaminan stabilitas keamanan di era Orde Baru adalah sangat semu karena dibangun dengan menginjak-injak Hak Asasi Manusia, menyumbat arus informasi (Pers banyak yang dibrendel), dan penculikan aktivis mahasiswa serta mengambil nyawa masyarakat melalui rumor Penembakan Misterius/Petrus (walaupun yang terakhir ini sangat sulit dibuktikan tapi mereka yakin). Pada bidang ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang dicapai di era orde baru dianggap sangat menipu analisis ekonomi karena dibangun dengan kebijakan konglomerasi yang hanya dirasakan oleh segelintir orang saja. Efek menetes kebawah (Trickle down effect) yang diharapkan dari kebijakan konglomerasi telah secara meyakinkan gagal berfungsi dalam sistem perekonomian nasional. Hal ini karena adanya ketimpangan dalam pembagian ”kue pembangunan” yang dibagikan oleh rezim orde baru. Secara global Indonesia kemudian tertinggal dari negara-negara lain dalam upaya mensejahterakan masyarakat. Indonesia telah terlebih dulu membangun dibanding Malaysia, Singapura, Vietnam tetapi kenyataannya Indonesia jauh lebih miskin dari mereka. Sekumpulan koreksi total terhadap kebijakan-kebijakan masa orde baru tersebut kemudian disatukan dengan satu merk nasional yang berlabel ”reformasi”. Istilah -kaum yang ”optimis mapan”- sangat tidak dikenal dalam kosa kata internal mereka karena kaum ini lebih suka dengan sebutan ”kaum reformis”.
Untuk mengkaji kedua pandangan yang berbeda di atas, Boediono (2007) mencoba melakukan telaah teoritis terhadap perkembangan-perkembangan tersebut di atas. Boediono menguji kebenaran paham ”kaum reformis” tersebut dengan pertanyaan filsafat yang mendasar : Apakah kita berada pada jalur yang benar ? (Are We on The Right Track?). Pertanyaan tersebut dijawab boediono dalam sebuah makalah pengukuhan Guru Besar Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogyakarta).

Apakah jalan yang kita tempuh sudah "benar"?
Pertanyaan Boediono di atas diawali oleh pesimistis yang besar karena kalau "ya", mengapa pertumbuhan ekonomi tak beranjak cepat sehingga tak cukup mengenyahkan pengangguran? Jangan-jangan eforia reformasi dan demokrasi tidak cocok untuk karakteristik negara berkembang seperti Indonesia? Jangan-jangan yang cocok bagi kita adalah gaya pemerintahan otoriter dan sentralistik? Bukankah Singapura, misalnya, juga bisa makmur tanpa perlu menempuh jalan reformasi dan demokrasi?.
Boediono ingin menguji kebenaran paham kaum yang ”optimis mapan” dengan presepsi awal pesimistis kaum yang ”telah mapan”.
Boediono menemukan fakta, betapa eforia demokrasi bisa menjadi kerikil sandungan dalam pembangunan ekonomi. Hal itu dikarenakan persoalan terbesar perekonomian Indonesia adalah sulitnya mendorong sektor riil karena adanya sejumlah kendala. Suku bunga perbankan walaupun diturunkan, dampak terhadap sektor riil tidak tampak secara signifikan karena dibalik kebijakan moneter yang dikeluarkan terdapat banyak kendala lain, mulai dari keterbatasan infrastruktur, hambatan birokrasi, struktur pasar monopolistik, hingga eforia demokrasi.
Boediono memancing untuk menguji tesisnya yang menggambarkan eforia demokrasi akan mengikuti lekuk kurva J. Artinya, dalam jangka pendek, eforia demokrasi akan memanen dampak negatif, seperti tergambar dalam lekuk di awal kurva J. Namun, pada titik tertentu, kurva ini menjulang ke atas. Mengutip Zakaria (2003), studi empiris 1950–1990 menunjukkan, batas kritis bagi demokrasi adalah pendapatan per kapita 6.600 dollar AS berdasar purchasing power parity (PPP).
Metode PPP merupakan perhitungan pendapatan yang sudah menghilangkan bias harga setempat. Kini, pendapatan per kapita Indonesia secara nominal adalah 1.300 dollar AS. Namun, karena harga barang dan jasa di Indonesia relatif lebih murah dibandingkan dengan di Amerika Serikat, secara PPP pendapatan per kapita Indonesia terkoreksi ke atas menjadi sekitar 4.000 dollar AS.
Artinya, benih demokrasi baru akan bersemai dengan baik jika suatu negara mencapai pendapatan per kapita PPP sebesar 6.600 dollar AS. Karena pendapatan per kapita PPP kita baru sekitar 4.000 dollar AS, diperlukan sekitar sembilan tahun untuk mencapai "zona aman". Asumsinya, kita mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata tujuh persen, sedangkan pertumbuhan penduduk 1,2 persen.
Implikasinya, selama sembilan tahun ke depan, kita akan menghadapi berbagai kerawanan demi kerawanan. Inilah hal yang mungkin bisa membantu pemahaman kita terhadap adanya berbagai dinamika (persisnya kerawanan-kerawanan), yang kita alami dalam sembilan tahun terakhir sesudah kita memasuki era reformasi.
Boediono berpendapat, bangsa kita sudah di jalur yang benar (on the right track) dalam menjatuhkan pilihan jalan demokrasi. Namun, ibarat tanaman, benih demokrasi ini merupakan jenis tanaman jangka panjang. Pada tingkat pendapatan per kapita rendah, kemungkinan kegagalan demokrasi amat tinggi, dan secara progresif menurun seiring dengan kenaikan pendapatan. Tanaman demokrasi akan kita panen hasilnya secara ekonomis dalam jangka panjang.
Agenda mendesak kita adalah mendorong pertumbuhan ekonomi agar bisa segera mencapai "zona aman" 6.600 dollar AS. Sesudah itu, menurut Boediono, demokrasi dan ekonomi akan menjalin hubungan timbal balik yang positif, saling memperkuat, dan menjadi penentu keberlanjutan (sustainability) peningkatan kemakmuran. Di sinilah kita mulai memanen "lingkaran surga" (virtuous circle).
Namun, justru di sinilah masalahnya. Belum ada indikasi perekonomian kita tumbuh tujuh persen per tahun karena investasi belum bergerak. Tahun ini paling-paling pertumbuhan enam persen. Sementara itu, karakteristik pertumbuhan ekonomi juga berubah. Lima tahun lalu setiap persen pertumbuhan ekonomi bisa menyerap 300.000 angkatan kerja baru. Kini, daya serap itu tinggal 200.000. Itu sebabnya, pertumbuhan ekonomi 5,5 persen (2006) hanya menyerap 1,1 juta orang. Padahal, angkatan kerja baru mencapai dua juta orang sehingga pengangguran terbuka meningkat dari 10 juta menjadi 10,9 juta. Penyebabnya, industri kita kian capital intensive daripada labor intensive.
Dengan demikian, meningkatnya pengangguran terbuka akan menciptakan jurang perbedaan pendapatan. Pada titik ini agaknya kita kembali ke isu klasik trade off antara pertumbuhan dan ketimpangan pendapatan. Kurva yang kita hadapi pun mirip, yakni kurva U, sebagaimana tesis Simon Kusnetz (1955).
Boediono telah membuka ruang diskusi isu strategis baru, tentang pertautan antara ekonomi dan demokrasi. Sambil terus mendorong kerja keras untuk mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata tujuh persen—yang tampaknya seperti jalan terjal—barangkali kita perlu melonggarkan waktu tunggu, tidak sembilan tahun untuk menuju "zona aman", tetapi lebih panjang. Bukannya pesimistis, tetapi bertambahnya angka pengangguran kita akhir-akhir ini cukup rawan menciptakan dampak negatif eforia demokrasi, yang pasti berpotensi menghambat laju pertumbuhan ekonomi.

Lampau dan Datang

Kutipan dari makalah Boediono di atas, walaupun dalam era dan fokus yang berbeda sebenarnya mirip dengan sebuah makalah yang diajukan tanggal 27 Nopember 1956 oleh Mohammad Hatta ketika menerima gelar doktor honoris causa dari UGM. Pada saat itu pidato yang disampaikannya berjudul “Lampau dan Datang”. Pidato sepanjang 30 halaman ini pada garis besarnya berisi pemikiran Hatta tentang kesenjangan antara idealisme dengan realita. Yakni perbedaan yang tajam antara cita-cita pejuang perintis kemerdekaan dengan realita kondisi masyarakat dan Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah sebelas tahun merdeka.
Pada masa penjajahan, struktur politik Hindia Belanda merupakan Negara Kepolisian (Politie-Staat). Ini memang sesuai dengan tujuan si penjajah untuk menguasai kehidupan politik, ekonomi dan sosial, sehingga tidak ada tempat bagi demokrasi. Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat Indonesia tertekan dan tidak bisa berkembang. Mengenai perekonomian, Hatta mengutip J.H. Boeke yang menggambarkan masuknya kapitalisme ke Indonesia dan menyebabkan kerusakan sosial yang serius. Ekonomi kapitalisme telah merombak susunan pergaulan hidup anak negeri serta organisme sosial yang ada, sehingga warga masyarakat yang lemah tidak sanggup bertahan. Persekutuan sosial yang ada diruntuhkan dengan tidak diganti dengan yang baru, menimbulkan kemelaratan dan memadamkan semangat manusia.
Keadaan yang memprihatinkan seperti tersebut di atas menumbuhkan cita-cita pada para perintis dan pejuang kemerdekaan Indonesia, sebagaimana dikatakan oleh Hatta sebagai berikut: “Indonesia Merdeka di masa datang mestilah negara nasional, bersatu dan tidak terpisah-pisah, bebas dari penjajahan asing dalam rupa apapun juga, politik maupun ideologi. Dasar-dasar perikemanusiaan harus terlaksana dalam segala segi penghidupan, dalam perhubungan antara seorang dengan seorang, antara majikan dan buruh, antara bangsa dan bangsa. Lahir dalam perjuangan menentang penjajahan, cita-cita perikemanusiaan tidak saja bersifat anti-kolonial dan anti-imperialis, tetapi juga menuju kebebasan manusia dari segala tindasan. Pergaulan hidup harus diliputi oleh suasana kekeluargaan dan persaudaraan.” (Ejaan telah disesuaikan dengan EYD).
Dalam pidatonya Hatta mengkritik Revolusi Perancis 1789 yang terkenal sebagai sumber demokrasi Barat, ternyata semboyan yang dicanangkannya yaitu “kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan” tidak terlaksana di dalam praktik. Menurut Hatta, demokrasi yang dilaksanakan di Perancis setelah revolusi hanya pada bidang politik, seperti hak untuk memilih dan dipilih menjadi anggota dewan perwakilan rakyat, sedangkan dalam bidang ekonomi tidak ada demokrasi. Bahkan dengan berkobarnya semangat individualisme yang dihidupkan oleh Revolusi Perancis, kapitalisme justru tumbuh subur. Pertentangan kelas semakin tajam, karena terjadi penindasan oleh yang kuat ekonominya terhadap yang lemah. Padahal dimana ada golongan yang menindas dan yang tertindas, maka persaudaraan hanyalah omong kosong.Demokrasi semacam itu tidak sesuai dengan cita-cita perjuangan Indonesia, yakni perikemanusiaan dan keadilan sosial. Bagi Hatta, selain demokrasi politik, harus berlaku pula demokrasi ekonomi. Akan tetapi Hatta merasa prihatin, karena selama terjajah kita banyak bercita-cita tentang perikemanusiaan, keadilan sosial dan sebagainya, ternyata setelah merdeka tidak dapat melaksanakannya di dalam praktik. Hatta khawatir hal ini tidak berbeda dengan negara Perancis pasca revolusi 1789.Berkaitan dengan Pancasila, Hatta berkata sebagai berikut: ”Apa yang kita alami di Indonesia sehari-hari sekitar kita, merupakan seolah-olah Pancasila itu diamalkan di bibir saja, tidak menjadi pelita di dalam hati untuk membangun masyarakat baru. Tiap-tiap golongan berkejar-kejar mencari rezeki. Golongan sendiri dikemukakan, masyarakat dilupakan. Dalam teori kita menganut kolektivisme, dalam praktik dan perbuatan memperkuat individualisme. Dalam teori kita membela demokrasi sosial, dalam praktik dan perbuatan menghidupkan semangat demokrasi liberal. Partai yang pada hakekatnya alat untuk menyusun pendapat umum secara teratur, agar supaya rakyat belajar merasai tanggungjawabnya sebagai pemangku negara dan anggota masyarakat, -- partai itu dijadikan tujuan dan negara menjadi alatnya. Dengan itu dilupakan, bahwa adalah imoril dan bertentangan dengan Pancasila, istimewa dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, apabila rakyat dirugikan untuk kepentingan partai, yaitu golongan.”
Menarik dicermati, pada tahun 1956 itu Hatta telah mengatakan bahwa Pancasila hanya diamalkan di bibir saja. Selain itu disoroti pula tentang merajalelanya korupsi – penyakit yang hingga kini sukar disembuhkan – seperti yang Hatta katakan: “Maka timbullah anarki dalam politik dan ekonomi. Kelanjutannya, korupsi dan demoralisasi merajalela. Demikianlah wajah Indonesia sekarang setelah sekian tahun merdeka. Nyatalah, bahwa bukan Indonesia Merdeka yang semacam ini, yang diciptakan oleh pejuang-pejuang dahulu. Di mana-mana sekarang orang merasa tak puas. Pembangunan dirasakan tidak berjalan sebagaimana mestinya…”(kutipan dari Arsip UGM, Pidato pada penerimaan gelar doctor honoris causa dari Universitas Gadjah Mada pada 27 Nopember 1956”)
Pidato Mohammad Hatta yang disampaikan pada tahun 1956, lima puluh dua tahun yang lalu, kiranya masih relevan dengan kondisi negeri kita pada saat ini. Untuk itu, bukan pada saatnya untuk berpihak pada pemikiran mana yang harus disahkan kebenarannya, namun tulisan ini mencoba untuk mengangkat lagi apa yang telah dan akan terjadi di negeri ini. LAMPAU DAN DATANG, adalah kearifan kita bersama untuk menghargainya. Kesimpulannya ada pada kepala kita masing-masing.
Saran Anda Akan Menambah Sejuta Ide Saya