pengunjung yg online

Anda pengunjung ke :

Sunday, September 14, 2014

Pemilukada Langsung dan pembiayaannya serta Kecelakaan berpikir Koalisi Merah Putih.






Dalam sebuah tatap muka tahun 2012 yang lalu dengan Dr Tadjuddin Parenta, seorang ahli ekonomi dari Universitas Hasanuddin Makassar, penulis berkesempatan mempertanyakan “Cost Politik”  Pilkada Jawa Timur. Untuk menghasilkan seorang Soekarwo (Baca Gubenur Jatim), Negara harus mengeluarkan biaya kurang lebih 1 Trilyun Rupiah. Itu setara dengan biaya pembangunan jembatan Suramadu. Apakah itu layak?

Sungguh sangat terkejut ketika dengan sangat emosional Dr Tadjuddin Parenta menjawab bahwa penulis harus merevisi cara berpikir. Saya adalah orang ekonomi, tapi saya tidak berpikir se naif anda, demikian ekonom yang sangat disegani itu menjawab. Pembangunan bangsa ini jangan dihitung secara lugu dalam skala ekonomi. Pembangunan demokrasi adalah sama pentingnya dengan pembangunan sektor pendidikan, kesehatan maupun sektor-sektor prioritas lainnya di negeri ini.

Setelah hiruk pikuk Pemilihan Presiden dilalui oleh Bangsa ini. Kontroversi penataan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) mengemuka seiring keinginan sekelompok elit yang menamakan Koalisi Merah Putih (KMP) menginginkan perubahan format Pemilukada melalui DPRD.

Penulis tidak ingin memasuki domain politik praktis dalam tulisan ini. Perdebatan tentang manfaat dan mudaratnya Pemilukada biarlah menjadi area para politikus maupun pengamat politik. Namun selaku pemerhati ekonomi publik, penulis terusik dengan alasan bahwa Pemilukada langsung (Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat) berimplikasi pada “high ekonomi”. Gamawan Fauzi (Mendagri) memperkirakan biaya Pemilukada jika dihitung secara nasional adalah kurang lebih 41 Trilyun Rupiah. Sungguh angka yang sangat mencengangkan.

Berapapun angka yang digelontorkan untuk Pemilukada, harus dikembalikan pada pertanyaan dasar, apakah pembangunan demokrasi itu prioritas dalam pembangunan atau tidak? Jika semua komponen bangsa ini sepakat bahwa pembangunan demokrasi adalah prioritas, maka tidak mendasar untuk memperdebatkan rupiah demi rupiah yang digelontorkan untuk menghasilkan sebuah pemilukada yang demokratis.

Pertanyaan yang selanjutnya penting untuk dijawab adalah dimana letak kesalahan berpikir dalam memandang biaya Pemilukada?. Menyelami jalan berpikir KMP yang seolah-olah biaya Pemilukada yang tinggi hanya melahirkan para Koruptor. Ini dikaitkan dengan banyaknya Kepala Daerah yang tersandung tindak pidana korupsi dinegeri ini. Kepala Daerah yang terpilih, dalam kepemimpinannya terindikasi berusaha untuk mengembalikan biaya pencalonannya yang jumlahnya tidak korupsi. Dalam pandangan KMP, ini adalah akar persoalan korupsi yang dilakukan oleh para kepala Daerah. Benarkah itu?

Persoalan korupsi adalah persoalan integritas diri. Di Negeri ini, hampir semua jabatan publik telah terjangkiti virus korupsi. Baik itu yang terpilih karena mengeluarkan dana pribadi maupun yang dipilih karena profesionalismenya. Disitulah penulis menganggap terjadi kecelakaan berpikir KMP dalam memandang biaya Pemilukada.
Pasca Reformasi dalam pengelolaan keuangan negara, penganggaran dalam APBD telah meninggalkan penganggaran tradisional (Traditional Budgeting) dan kini menggunakan penganggaran berbasis kinerja (Perfomance Budgeting). Jika anggaran tradisional berbasis input maka anggaran kinerja berbasis output. Penentuan output sangat penting terkait prioritas tidaknya sebuah kegiatan.
KMP dan banyak penentang Pemilukada langsung beranggapan bahwa output dari Pemilukada langsung adalah terpilihnya Kepala Daerah. Oleh karenanya mereka beranggapan bahwa Biaya Pemilukada yang tinggi hanya menghasilkan para Koruptor itu menjadi benar. Sesungguhnya disitulah kecelakaan berpikir KMP dan kaum penentang Pemilukada langsung itu terjadi. Output Pemilukada seharusnya adalah tersalurkannya 240 Juta kedaulatan rakyat di TPS-TPS tempat mereka mencoblos. Pilihan rakyat itulah output Pemilukada. Jadi biaya negara yang dikeluarkan dalam Pemilukada adalah Objek yaitu “One Man One Votes” bukan siapa yang terpilih. Ketika partisipasi rakyat terhalangi saat Pemilukada dengan biaya yang tinggi maka hal itulah KMP perlu mempersoalkan biaya tinggi yang dikeluarkan.
Saran Anda Akan Menambah Sejuta Ide Saya