pengunjung yg online

Anda pengunjung ke :

Saturday, October 5, 2013

Sejarah Pemikiran Ekonomi Aliran Institusional


I.      PENDAHULUAN
Seiring berita tentang kebangkrutan beberapa perusahaan raksasa di Amerika Serikat akibat krisis keuangan di akhir tahun 2008 lalu, beberapa media menulis gaya hidup mewah CEO sebuah perusahaan yang sedang mengalami kesulitan finansial dan menuju kebangkrutan. Di tengah usaha pemerintah USA melakukan tindakan penyelamatan ekonomi negara adidaya, ternyata manejer-manejer perusahaan justru sedang asyik dengan kebiasaan hidup “menghambur-hamburkan uang” yang telah menjadi bagian dari gaya hidup para jet set.
Berita tersebut diatas menguak ketika ekonomi kapitalis (klasik) telah dipertanyakan ketangguhannya menghadapi guncangan krisis. Salah urus perusahaan dari para manejer keuangan di perusahaan-perusahaan raksasa USA juga dituding sebagai biang dari permasalahan tersebut. Namun dibalik berita-berita tersebut,  mengingatkan kita pada aliran pemikiran ekonomi institusional yang dirintis oleh Thorstein Bunde Veblen (1857-1929). Inti pemikiran Veblen dapat dinyatakan dalam beberapa kenyataan ekonomi yang terlihat dalam perilaku individu dan
masyarakat tidak hanya disebabkan oleh motivasi ekonomi tetapi juga karena motivasi lain (seperti motivasi sosial dan kejiwaan), maka Veblen tidak puas terhadap gambaran teoretis tentang perilaku individu dan masyarakat dalam pemikiran ekonomi ortodoks. Dengan demikian, ilmu ekonomi menurut Veblen jauh lebih luas daripada yang ditemukan dalam pandangan ahli-ahli ekonomi ortodoks. Veblen pada intinya mengkritik teori-teori yang digunakan kaum klasik dan neo-klasik yang model-model teoritis dan matematisnya dinilai bias dan cenderung terlalu menyederhanakan fenomena-fenomena ekonomi. Pemikiran-pemikiran ekonomi klasik dan neo klasik juga dikritiknya karena dianggap mengabaikan aspek-aspek non ekonomi seperti kelembagaan dan lingkungan. Padahal  Veblen menilai pengaruh keadaan dan lingkungan sangat besar terhadap tingkah laku ekonomi masyarakat. Struktur politik dan sosial yang tidak mendukung dapat meinblokir dan menimbulkan distorsi proses ekonomi.
Pola pemikiran Veblen sangat berbeda dan pola pemikiran pakar-pakar ekonomi lain. (kecuali Spencer, tokoh idolanya). Bagi Veblen masyarakat adalah suatu kompleksitas di mana tiap orang. hidup, dan tiap orang dipengaruhi serta ikut mempengaruhi pandangan serta perilaku orang lain. Dari penelitian dan pengamatannya ia menyimpulkan bahwa perilaku masyarakat berubah dari tahun ke tahun. Penelitian tentang perubahan perilaku dilakukannya dengan pendekatan metode induksi. Dengan metode induksi ia dapat menjelaskan perilaku masa lalu dan sekarang, disamping bisa pula meramal atau memperkirakan perilaku masa yang akan datang.
Bagi Veblen masyarakat merupakan suatu fenomena evolusi, di mana segala sesuatunya terus-menerus mengalami perubahan. Pola perilaku seseorang dalam masyarakat disesuaikan dengan kondisi sosial sekarang. Jika perilaku tersebut cocok dan diterima, maka perilaku diteruskan. Sebaliknya. jika tidak cocok, maka perilaku akan disesuaikan dengan lingkungan. Keadaan dari lingkungan inilah yang disebut Veblen “institusi”. Dalam hal ini hendaknya jelas bahwa yang dimaksudkan Veblen dengan ”institusi” bukan institusi atau kelembagaan dalam artian fisik melainkan dalam artian yang terkait dengan nilai-nilai, norma-norma, kebiasaan serta budaya, yang semuanya terrefleksikan dalam kegiatan ekonomi, baik dalam berproduksi maupun mengkonsumsi. Dalam berproduksi akan kelihatan bagaimana nilai-nilai dan norma-norma serta kebiasaan yang dianut dalam mengejar tujuan akhir dari kegiatan produksi, yaitu keuntungan Ada keuntungan yang diperoleh melalui kerja keras dan ada juga yang diperoleh dengan “trik-trik” licik dengan menggunakan segala macam cara tanpa memperdulikan orang lain; Begitu juga dalam perilaku konsumsi ada perilaku konsumsi yang wajar, yaitu ingin memperoleh manfaat atau utilitas yang sebesar-besarnya dan tiap barang yang dikonsumsinya, dan ada pula yang tidak wajar kalau konsumsi ditujukan hanya untuk pamer, yang oleh Veblen disebut conspicuous consumption.
Ladasan pemikiran seperti dijelaskan di atas jelas bukan pemikiran ekonomi, melainkan lebih mengarah ke sosiologi. Tetapi kalau digabung, ia akan menjadi pemikiran ekonomi aliran institusional atau aliran kelembagaan (institutional economics).




II. PERILAKU KONSUMSI MASYARAKAT
Dalam The Theory of the Leisure Class Veblen menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan dorongan dan pola perilaku konsumsi masyarakat. Sebagai layaknya pemikir yang tidak puas dengan kondisi masyarakat yang ada di sekitarnya, Veblen sering melihat situasi-situasi masa lalu yang dinilainya lebih baik dari situasi-situasi dan keadaan sekarang, terutama dalam masyarakat Amerika yang diamatinya. Menurut Veblen, dulu perilaku orang terikat dengan masyarakat sekeliling, dan orang dalam tingkah lakunya berusaha ikut menyumbang terhadap perkembangan rnasyarakat. Orang berusaha menghindari perbuatan yang akan merugikan orang banyak. Tetapi apa yang dilihatnya sekarang dalam masyaralcat kapitalis finansil di Amerika ialah orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri saja, dan lidak terlalu tez-tank dengan kepentingan masyarakat banyak.
Yang diperhatikan oleh masyarakat sekarang hanya uang. Segala sesuatu juga dinilai dengan uang. Sekarang orang tidak peduli apakah perilaku ekonominya merugikan orang lain atau tidak. Orang berlomba-lomba mencari dan memperebutkan harta tanpa peduli akan cara. Mengapa orang sangat doyan dengan harta? Hal mi tidak lain karena adanya anggapan bahwa hanya harta yang mampu menaikkan status, harga diri atau gengsi seseorang dalam masyarakat.
Jika harta telah terkumpul, orang punya banyak waktu untuk bersenang-senang (leisure). Dengan demikian pada masa sekarang kemampuan untuk hidup bersenang-senang juga dijadikan sebagai alat untuk memperlihatkan derajat atau status seseorang. Makin mampu ia tidak bekerja dalam pekerjaan-pekerjaan produktif (leisure), makin tinggi derajatnya dalam masyarakat. Penyakit seperti ini banyak menghinggapi kaum wanita, di mana mereka memakai gaun mode mutakhir hanya sekedar untuk mengumumkan pada orang-orang bahwa ia absen dari pekerjaan produktif; Memakai Corset, misalnya, jelas ingin menunjukkan bahwa si pemakai tidak cocok untuk bekerja.
Penyakit suka pamer ini, demikian Yeblen, cepat berjangkit dalam masyarakat. Dalam hal ini ia memberi contoh, kalau seorang boss berlibur selama sebulan menggunakan yacht pribadi ke Bermuda, maka sekretanisnya dengan segala upaya (mungkin dengan menghabiskan sólüruh tabungannya selama setahun) berusaha agar dapat berlayar selama seminggu ke Karibia.
Karena aktivitas leisure juga dijadikan sebagai indikasi kesuksesan, maka orang kaya yang ingin dianggap ”hebat” tidak pernah mengizinkan istri dan anak-anaknya mengerjakan pekerjaan rumah. Semua pekerjaan rumah diserahkan pada pembantu, dan sementara pembantu bekerja maka istri dan anak-anak sibuk mencari kesenangan pribadi masing-masing.
Dengan harta melimpah orang berlomba-lomba membeli barang-barang yang digunakan untuk pamer. Kecenderungan perilaku konnsumsi seperti ini disebut Veblen dengan istilah conspicuous consumption, yaitu konsumsi barang-barang dan jasa yang barsifat ostentatious (pamer, melagak), yang dimaksudkan untuk membuat orang kagum. Sebagaimana diungkapkan oleh Veblen: “Conspicious consumption of valuable goods is a means of reputability to the gentlemen of leisure”.
Yang jadi incaran konsumsi bagi masyarakat leisure ini terutama barang-barang sangat mahal, tidak perduli apakah barang itu berguna dalam kehidupan sehari-hari atau tidak. Manfaat yang diperoleh dari pengkonsumsian barang-barang mahal tersebut memang tidak diperoleh dari barang itu sendiri, tetapi lewat dampaknya terhadap dan melalui orang lain. Makin mahal barang yang dibeli, si pembeli makin yakin bahwa barang tersebut “indah”, “hebat”. Kepuasan dari barang-barang yang ditujukan untuk pamer tidak diterima dari pengkonsumsian barang itu sendiri, melainkan melalui dampaknya terhadap orang lain. Makin kagum orang pada yang dibelinya, main tinggi kepuasannya. Tetapi jika orang tidak memberi perhatian pada apa yang dibelinya, ia mungkin bisa pusing tujuh keliling.
Apa yang dikatakan Veblen tentang perilaku konsumsi bermewah-mewah di atas, di mana faedahnya tidak diperoleh langsung dari konsumsi barang itu sendiri, melainkan dari dampaknya terhadap orang lain, oleh Duesenberry kemudian dikembangkan lebih lanjut, dan lebih dikenal dengan istilah demostration effects.

Bagi Veblen gambaran di atas sungguh terbalik dengan tesis kaum klasik dan neo-klasik yang mengatakan bahwa orang akan selalu memilih alternatif konsumsi terbaik untuk memperoleh kepuasan sebesar-besarnya. Perilaku tersebut juga bertentangan dengan anggapan kaum klasik bahwa tiap keputusan konsumen didasarkan pada rasio, bukan emosi.
Menurut pandangan Veblen orang yang membeli sesuatu barang yang melebihi proporsi yang wajar jelas tidak rasional, melainkan lebih bersifat emosional. Dan yang lebih parah lagi, kudang-kadang tingkah laku konsumsi mereka seperti orang “norak”. Hal seperti ini sering terjadi pada golongan nouve riche, atau di Indonesia dikenal dengan istilah Orang Kaya Baru (OKB). Golongan ini umumnya berasal dari orang miskin yang kemudian berhasil meningkatkan status finansilnya. Karena kurang terbiasa dengan pola hidup orang-orang kaya, maka perilaku konsumsinya menjadi seperti tidak wajar.
Veblen melihat bahwa perilaku conspicuous consumption, dan pecuniary emulation semakin menggejala dalam masyarakat kapitalis finansil liberal Amerika. Perilaku seperti ini sangat dibenci dan ditantangnya karena dari hasil pengamatannya ia menyaksikan bahwa orang Amerika cenderung semakin manja. Banyak di antara mereka yang kerjanya hanya menghambur-hamburkan waktu, tenaga dan sumber daya. Jika kecenderungan seperti ini tidak dicegah, demikian peringatan Veblen, bangsa Amerika suatu saat akan tertinggal dari bangsa-bangsa lain yang lebih berperhitungan dalam membelanjakan pendapatan mereka.
III.         PERILAKU PENGUSAHA
Dalam bukunya yang lain: The Theory of Business Enterprise, Veblen lebih jauh menjelaskan kemiripan perilaku pengusaha Amerika dengan perilaku konsumsi yang diceritakan di atas. Veblen dalam hal ini juga melihat bahwa perilaku para pengusaha Amerika di masanya telah banyak mengalami perubahan. Dahulu para pengusaha pada umumnya menghasilkan barang-barang dan jasa untuk memperoleh keuntungan melalui kerja keras. Investasi masuk ke dalam apa yang disebutnya production for use. Tetapi pada masa sekarang laba dan keuntungan sebagian tidak lagi diperoleh melalui kerja keras dengan menciptakan barang-banang yang disukai konsumen, tetapi lewat “trik-trik bisnis”. Produksi seperti ini disebutnya production for profit.
Lebih jauh dari itu Veblen melihat bahwa pada masa sekarang semakin banyak dijumpai jenis pengusaha pemangsa (predator), yaitu pana pengusaha yang mempenoleh keuntungan melalui benbagai cara tanpa mempedulikan nasib orang lain, tenmasuk pana pegawai dan karyawan yang bekerja di perusahaan yang dimilikinya. Apalagi terhadap nasib para konsumen yang membeli produk-produknya, tidak ada perhatian mereka sama sekali.
Veblen melihat dalam masyarakat Amerika yang tumbuh begitu pesat telah melahirkan suatu golongan yang disebutnya absentee ownership. Yang dimaksudkannya dengan golongan absentee ownership tersebut adalah para pengusaha yang memiliki modal besar dan menguasai sejumlah perusahaan, tetapi tidak ikut terjun langsung dalam kegiatan operasional perusahaan. Kegiatan operasional cukup diserahkan pada para professional dari karyawan kepercayaannya. Tetapi, walau ia tidak ikut dalam kegiatan operasional, dalam kenyataan ia memperoleh keuntungan paling besar. Untuk lebih jelas Veblen membedakan contoh tentang pengusaha yang bergerak dalam bidang perkereta-apian, yang mendapat keuntungan sangat besar waktu Amerika melaksanakan pembukaan kawasan dari pantai Timur hingga pantai Barat.
Yang merancang dan melaksanakan pembuatan jaringan kereta api adalah tenaga-tenaga pelaksana profesional yang diupah. Sedang sang pengusaha sebagai pemilik modal hanya ongkang-ongkang kaki saja. Begitupun, ia yang memetik keuntungan paling besar. Para pengusaha kereta api yang seperti ini oleh Veblen diberi gelar bangsawan kereta api (railroad barons), sebab periilaku mereka agak mirip dengan kaum bangsawan pemilik daenah-daerah pertanian di Eropa abad pentengahan. Mereka sama-sama tidak mengerahkan pikiran dan energi dalam kegiatan operasional, tetapi memperoleh bagian keuntungan paling besar.
Veblen labih jauh melihat bahwa para pengusaha yang hanya mementingkan laba tanpa memperhatikan cara ini biasanya melakukan kongkalingkong dengan penguasa sehingga mendapat berbagai kemudahan dan hak-hak istimewa, misalnya dalam menguasai bahan-bahan mentah dan menguasai daerah-daerah pemasaran. Ia biasanya juga mampu mengatur pejabat kehakiman untuk tidak mempensoalkan kedudukan monopolinya, atau tidak menggubris manipulasi pajak dan keuangan yang dilakukannya. Di beberapa negara berkembang yang masih belum punya aturan penmainan atau rule of law yang jelas bahkan sering dijumpai adanya kerja sama antara pengusaha dengan militer demi mengamankan bisnis monopolinya. Artinya, kalau ada pengusaha lain yang ikut dalam bisnis yang dimonopolinya, ia berurusan dengan militer. Si penangkap biasanya diberi hadiah atau promosi naik pangkat. Hal ini mudah diatur, sebab sang pengusaha biasanya dekat atau memang anak atau famili dan si pengusaha itu sendiri.
Untuk memperoleh laba yang sebesar-besarnya, ada pengusaha absentee ownership tidak segan-segan mematikan usaha pengusaha sungguhan yang memperoleh keuntungan lewat kerja keras. Salah satu cara untuk itu ialah dengan melakukan akuisasi. Cara lain untuk mematikan pesaing lain ialah dengan membanting harga, sehingga produk-produk dan perusahaan-perusahaan pesaing tersebut tidak laku. Setelah pesaing mati dan keluar dari pasar biasanya mereka kembali menaikkan harga dan memperoleh laba sangat besar (excessive profit.
Dengan monopoly power yang ada di tangan mereka juga sering mengurangi pasok (supply) barang-barang, sehingga harga melambung, dan lagi-lagi menerima keuntungan melebihi kewajaran. Dengan singkat, uang atau modal di tangan pengusaha pemangsa lebih sebagai alat pengeksploitasi keuntungan sebesar-besarnya dari pada sebagai asset yang dikelola dengan efisien untuk memuaskan kebutuhan konsumen sebagaimana yang terjadi dalam perusahaan sungguhan.
Dari uraian di atas tidak heran kalau Veblen menolak keras tesis kaum klasik yang menganggap bahwa usaha tiap orang yang mengejar kepentingannya masing-masing pada akhirnya akan melahirkan suatu harmoni dan keseimbangan dalam masyarakat secara keseluruhan sebab dari gejala-gejala yang diamatinya ia melihat bahwa perilaku pengusaha yang hanya mengejar kepentingan pribadi sangat bertolak belakang dengan tujuan masyarakat secara keseluruhan. Sebaliknya demi mengejar kepentingan pribadi ada pengusaha yang tidak segan-segan mennghambat dan mematikan kepentingan orang banyak.

Veblen menilai bahwa para pengusaha absentee ownerehip yang biasa memperoleh keuntungan besar dengan cara kongkalingkong tersebut sangat berpotensi melahirkan golongan leisure class. Secara psikologis orang yang bisa memperoleh sesuatu tanpa keringat tidak begitu menghargai apa-apa yang diperolehnya, dan karena itu tidak heran kalau perilaku konsumsinya akan bersifat conspicuous consumption. Perilaku mereka yang suka pamer tersebut kadang kala sangat norak, sebab suka membeli sesuatu yang tidak dimanfaatkan dengan sewajarnya. Hal ini berbeda dengan perilaku konsumsi pengusaha “mumi” yang serius dan mati-matian dalam berusaha. Karena keberhasilan dicapai lewat kerja keras, mereka akan lebih berperhitungan dalam mengkonsumsi barang-barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya.
IV.   TOKOH-TOKOH INSTITUSIONALIS LAINNYA
Veblen sebagai tokoh utama aliran institusional mempunyai cukup banyak pengikut. Beberapa di antaranya yang dapat disebuitkan di sini adalah: Wesley Mitchel, Gunnar Myrdal, Joseph Schumpeter, dan terakhir, Douglas North.
Wesley Clair Mitchel (1874-1948) adalah murid, teman dan pengagum Veblen. Selain ikut dalam mendukung dan mengembangkan pemikiran-pemikiran gurunya, lebih lanjut ia juga berjasa dalam mengembangkan metode-metode kuantitatif dalam menjelaskan peristiwa-peristiwa ekonomi. Salah satu karyanya yang sudah menjadi klasik adalah: Business Cycles and Their causes (1913). Dengan menggunakan bermacam data statistik ia kemudian menjelaskan masalah fluktuasi ekonomi. Sesudah perang dunia kedua Mitchell mengorganisir sebuah badan penelitian “National Bureau of Economic Research”, yang memungkinkan lebih dikembangkannya penelitian-penelitian tentang pendapatan nasional, fluktuasi ekonomi atau business cycles, perubahan produktivitas, analisis harga, dan sebagainya.
Gunnar Karl Myrdal (1898-19..) dari Swedia juga digolongkan sebagai pendukung aliran institusional. Setelah menyelesaikan pendidikan dalam bidang hukum Myrdal melanjutkan pendidikan dalam bidang ekonomi, dan selesai tahun 1927. Ia banyak menulis buku, antara lain: An American Dilemna (1944); Value in Social Theory (1958); Challenge to Affluence (1963); dan Asian Drama: An Inquiry into The Poverty of Nations (1968). Salah satu pesan Myrdal pada ahli-ahli ekonomi ialah agar ikut membuat value judgement, sebab jika itu tidak dilakukan maka struktur-struktur teoritis ilmu ekonomi akan menjadi tidak realistis. Sebagai penganjur aliran institusional ia percaya bahwa pemikiran institusional sangat diperlukan dalam melaksanakan pembangunan di negara-negara berkembang. Atas jasa-jasanya dalam menyumbangkan pemikiran-pemikiran ekonomi, terutama bagi pembangunan negara-negara berkembang, tahun 1974 bersama-sama dengan F.A. Hayek ia memperoleh hadiah Nobel dalam bidang ekonomi.
Joseph A. Schumpeter (1883-1950) oleh beberapa penulis dimasukkan sebagai pendukung aliran institusional karena pendapatnya yang mengatakan bahwa sumber utama kemakmuran bukan terletak dalam domain ekonomi itu sendiri, melainkan berada di luarnya, yaitu dalam lingkungan dan institusi masyarakat. Lebih jelas lagi, sumber kemakmuran terletak dalam jiwa kewiraswastaan (entrepreneurship) para pelaku ekonomi yang mengarsiteki pembangunan.
Schumpeter membedakan pengertian invensi dengan inovasi. Invensi adalah hal penemuan teknik-teknik produksi baru. Sedang inovasi mempunyai makna lebih luas, yang tidak hanya menyangkut penemuan teknik-teknik berproduksi baru, tetapi juga penemuan komoditi baru, jenis material baru untuk produksi, cara-cara usaha baru, cara-cara pemasaran baru, dan sebagainya. Oleh Schumpeter inovasi dianggap sebagai sesuatu loncatan dalam fungsi produksi.
Inovasi ditemukan oleh inovator, tetapi adalah entrepreneur yang mempraktekkan hasil temuan tersebut pertama kali. Tanpa entrepreneur yang berani mengadopsi temuan-temuan baru orang akan tetap menggunakan cara-cara lama yang telah usang dan tidak efisien. Lebih jauh, entrepreneur menurut Schumpeter tidak sama dengan pengusaha biasa, sebab entrepreneur lebih jeli mencari peluang, mmampu merintis dan mengatur inovasi, mau mengadopsi teknik, cara dan pola baru; dan yang paling penting, berani mengambil risiko.
Kalau boleh “meloncat” ke tahun 1993, maka orang terakhir perlu dicantumkan sebagai pendukung aliran institusional Douglas North dad University of Washington, Missouri, Amerika Serikat. Penghargaan terhadap aliran institusional menpuncaknya tahun 1993 pada waktu Douglas North menerima hadiah Nobel dalam bidang ekonomi. North menerima hadiah sangat membanggakan tersebut karena jasanya yang sangat dalam memperbarui riset dalam penelitian sejarah ekonomi metode-metode kuantitatif.
Selama ini kebanyakan pakar-pakar ekonomi menganggap mekanisme pasar sebagai satu-satunya penggerak roda ekonomi, dan mengabaikan peran institusi. Hal ini dinilai North keliru, sebab peran institusi, baik institusi politik maupun institusi ekonomi, tidak kalah pentingnya dalam pembangunan ekonomi. Lebih jauh ia menyimpulkan bahwa negara-negara komunis hancur karena tidak mempunyai institusi yang mendukung mekanisme pasar. Terhadap perubahan-perubahan yang radikal di Eropa Timur dan eks Soviet, North mengatakan bahwa reformasi yang dilakukan tidak akan memberikan hasil nyata hanya dengan memperbaiki kebijaksanaan ekonomi makro belaka. Agar reformaasi berhasil  dibutuhkan dukungan seperangkat institusi yang mampu memberikan insentif yang tepat kepada setiap pelaku. Beberapa contoh institusi yang mampu memberikan tersebut adalah hukum paten dan h cipta, hukum konnemilikan tanah.
Dari uraian di atas jelas bahwa apa yang dimaksudkan North institusi sedikit berbeda dengan yang dikemukakan Veblen sebagai pendiri aliran institusional itu sendiri. Kalau bagi Veblen institusi diartikan sebagai norma-norma, nilai-nilai, tradisi dan budaya, bagi North institusi adalah peraturan perundang-undangan berikut sifat-sifat pemaksaan dan peraturan-peraturan serta norma-norma perilaku yang membentuk interaksi manusia secara berulang-ulang. Dalam hal ini North tidak institusi sebagai institusi, tetapi terutama pada konsekuensi institusi tersebut atas pilihan-pilihan yang dilakukan oleh anggota masyarakat. Bagi negara-negara yang ingin maju, demikian North memberi resep, harus dikembangkan sistem kontrak, hak cipta, merek dagang dan sebagainya secara resmi, yang dilengkapi dengan sistem pemantauan dan mekanisme penindakan bagi para pelanggar peraturan-peraturan yang telah dibuat. Tanpa kehadiran institusi maka biaya transaksi dalam berdagang dan berusaha menjadi tinggi. Para pedagang akan menghadapi risiko penipuan, pemerasan, ancaman fisik dan bentuk-bentuk ketidakpastian lainnya. Kehadiran institusi sangat penting sebagai alat untuk mengatur dan mengendalikan para pelaku ekonomi di pasar.

Daftar Pustaka

Deliarnov, 1997. Perkembangan Pemikiran Ekonomi (Edisi Revisi). PT Rajagrafindo Persada; Jakarta.

Frondizi, Risieri. 2001. Pengantar Filsafat Nilai. Terjemahan oleh: Cuk Ananta Wijaya. Pustaka Pelajar; Yogyakarta.

Mudhofir, Ali, dan Heri Santoso. 2007. Asas Berfilsafat. Pustaka Rasmedia; Yogyakarta.
Skousen, Mark. 2006.The Modern Economics The Lives and Ideas of the Great Thinkers. Terjemahan oleh Tri Wibowo Budi Santoso. Prenada; Jakarta.

Russel, Bertrand. 2005. Perjumpaan Sains-Agama dan Cita-Cita Politik. Terjemahan oleh Ruslani. Penerbit Ufuk; Jakarta.

Titus, Harold, dkk. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat. Terjemahan oleh Prof. Dr. H. M. Rasjidi. Penerbit Bulan Bintang; Jakarta.




Silahkan Tinggalkan Komentar Anda :
Saran Anda Akan Menambah Sejuta Ide Saya