pengunjung yg online

Anda pengunjung ke :

Monday, September 3, 2012

PENGANGGURAN

Pengangguran merupakan suatu ukuran yang dilakukan jika seseorang tidak memiliki pekerjaan tetapi mereka sedang melakukan usaha secara aktif dalam empat minggu terakhir untuk mencari pekerjaan (Kaufman dan Hotchkiss,1999). Pengangguran merupakan suatu keadaan di mana seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi mereka belum dapat memperoleh pekerjaan tersebut (Sadono Sukirno, 1994). Seseorang yang tidak bekerja, tetapi tidak secara aktif mencari pekerjaan tidak tergolong sebagai penganggur. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), seseorang dikategorikan sebagai menganggur atau mencari pekerjaan apabila termasuk penduduk usia kerja yang (1) tidak bekerja, atau (2) sedang mencari pekerjaan baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah pernah berkerja, atau (3) sedang mempersiapkan suatu usaha, atau (4) yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan, atau (5) yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. BPS mendefinisikan penduduk usia kerja adalah penduduk yang berusia diatas 15 tahun. Penduduk usia kerja dibagi menjadi dua kelompok besar, yakni angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja yang masih sekolah, ibu rumah tangga atau pensiunan. Angkatan kerja terbagi menjadi dua yakni bekerja dan menganggur atau mencari pekerjaan. Bekerja didefinisikan sebagai kegiatan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan selama paling sedikit satu jam dalam seminggu yang lalu dan tidak boleh terputus. Kegiatan tersebut termasuk pula kegiatan pekerja tidak dibayar yang membantu dalam suatu usaha atau kegiatan ekonomi (Badan Pusat Statistik, 2007). Perubahan definisi seputar pengukuran untuk usia angkatan kerja dan pengangguran menyebabkan perubahan data pengangguran. Untuk periode sebelum tahun 2000, sumber data yang berbeda dapat mempublikasikan data yang berbeda tergantung pada penyesuaian dengan definisi yang baru atau tidak
                                  Tabel 1.  Perubahan Definisi Usia Kerja dan Pengangguran

Menurut Lipsey, et al. (1997), pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu pengangguran siklis, pengangguran friksional, dan pengangguran struktural. Pengangguran siklis mengacu kepada pengangguran yang terjadi jika permintaan total tidak memadai untuk membeli semua keluaran potensial ekonomi, sehingga menyebabkan senjang resesi dimana keluaran aktual lebih kecil daripada keluaran potensial. Orang-orang yang menganggur secara siklis dikatakan sebagai orang yang menganggur terpaksa (involuntary unemployed), dalam arti mereka ingin bekerja dengan tingkat upah yang berlaku tetapi pekerjaan tidak tersedia. Pengangguran struktural dapat didefinisikan sebagai pengangguran yang disebabkan ketidaksesuaian antara struktur angkatan kerja berdasarkan keterampilan, pekerjaan, industri atau lokasi geografis dan juga struktur permintaan akan tenaga kerja. Sedangkan pengangguran friksional diakibatkan oleh perputaran (turn-over) normal tenaga kerja. Sumber penting pengangguran friksional adalah orang-orang muda yang memasuki angkatan kerja dan mencari pekerjaan. Sumber lainnya adalah orang-orang yang keluar dari pekerjaannya, baik karena tidak puas dengan kondisi pekerjaan yang sekarang maupun karena diberhentikan.
Selain itu, menurut  Moore dan Elkin (1987), pengangguran friksional merupakan akibat dari fluktuasi jangka pendek di dalam pasar tenaga kerja, informasi yang tidak sempurna dan tenaga kerja yang tidak bergerak. Sedangkan, pengangguran struktural merupakan karakteristik jangka panjang, dimana terjadi persistensi ketidaksesuaian (mismatch) antara permintaan dan penawaran tenaga kerja dengan skill dan atau lokasi kerja.
Faktor utama yang menimbulkan pengangguran dalam pandangan Sadono Sukirno (1994) adalah kekurangan pengeluaran agregat. Para pengusaha memproduksi barang dan jasa dengan maksud untuk mencari keuntungan. Keuntungan tersebut hanya akan diperoleh apabila para pengusaha dapat menjual barang yang mereka produksikan. Semakin besar permintaan, semakin besar pula barang dan jasa yang akan mereka wujudkan. Kenaikan produksi yang dilakukan akan menambah penggunaaan tenaga kerja. Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat diantara tingkat pendapatan nasional yang dicapai (GDP) dengan penggunaan tenaga kerja yang dilakukan; semakin tinggi pendapatan nasional (GDP), semakin banyak penggunaan tenaga kerja dalam perekonomian.
Pengangguran dapat terjadi disebabkan oleh ketidakseimbangan pada pasar tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja yang ditawarkan melebihi jumlah tenaga kerja yang diminta. Secara umum dalam teori ekonomi, pengangguran dipandang sebagai ketidakseimbangan pasar tenaga kerja. Keseimbangan pasar tenaga kerja mengacu pada kondisi yang menggambarkan adanya kesesuaian antara permintaan dan penawaran tenaga kerja, yang berarti pula bahwa tidak terdapat pengangguran dalam perekonomian, karena setiap tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan dengan segera mendapatkan pekerjaan baru.
Untuk memahami pengangguran, perlu pemahaman akan pasar tenaga kerja baik pada sisi penawaran tenaga kerja maupun pada sisi Permintaan tenaga kerja. Ruby (2003) menyebutkan bahwa model dari penawaran tenaga kerja dimulai dengan asumsi bahwa pekerja akan memilih kombinasi jam-kerja dan pendapatan dengan tujuan untuk memaksimumkan kepuasan (utility) mereka dengan kendala jumlah jam yang tersedia dalam sehari. Model penawaran tenaga kerja menganggap bahwa jam bekerja adalah merupakan barang yang tidak disukai, tetapi dengan bekerja akan memberikan pendapatan. Sedangkan jam tidak bekerja atau yang disebut waktu luang (leisure time) merupakan barang yang disukai.
Dengan demikian maksimisasi kepuasan akan ditentukan dari pendapatan dan waktu luang :  Maximaze U = f (pendapatan, waktu luang). Dengan menggunakan analisa kurva indeferen (indifference curve) kita dapat menguji efek dari perubahan tingkat upah terhadap jumlah penawaran jam kerja, yang dilukiskan pada gambar-1. Dimana kurva indiferen (IC) menggambarkan berbagai titik kombinasi antara pendapatan dan waktu luang yang menghasilkan tingkat kepuasan sama. Selanjutnya garis pendapatan (budget constraint) seperti garis XY, menggambarkan tingkat pendapatan berdasarkan jumlah jam bekerja dalam sehari. Semakin banyak jam bekerja (semakin kecil waktu senggang) yang digunakan maka semakin tinggi pendapatan. Kepuasan maksimal terjadi apabila kurva indeferen bersentuhan dengan garis pendapatan. Kombinasi optimal tersebut akan berubah apabila tingkat upah mengalami perubahan, seperti ditunjukkan bahwa peningkatan upah merubah slop dari garis anggaran menjadi X’Y, sehingga kombinasi optimal berubah dari titik R ke titik T, yang mencerminkan perubahan jam kerja yang ditawarkan.













Menurut Bellente dan Jacson (1990) besarnya waktu yang disediakan atau dialokasikan untuk bekerja merupakan fungsi tingkat upah tertentu. Setelah mencapai tingkat upah tertentu pertambahan upah justru akan mengurangi waktu yang disediakan untuk bekerja, penomena ini akan menghasilkan apa yang disebut backward-bending supply curve, atau kurva penawaran yang berbelok. Kasliwal (1995) mengatakan phenomena tersebut banyak terjadi terutama pada kelompok perempuan dari keluarga kaya, sementara sesungguhnya mereka tergolong dalam angkatan kerja (labor force), sehingga tentu memiliki relevansi dengan pembangunan.
Pengaruh tingkat upah terhadap penawaran tenaga kerja sesungguhnya ditentukan oleh dua kekuatan yang saling berlawanan yakni pengaruh efek pendapatan (income effect) dan efek substitusi (substitution effect). Apabila efek pendapatan yang positif terhadap tingkat upah lebih kecil dari kekuatan efek substitusi yang negatif, maka efek total akan menjadi negatif yang berarti bahwa pekerja akan mengurangi konsumsi waktu luang (leisure) dan menambah waktu jam kerjanya sehingga kurva penawaran akan memiliki kemiringan positif (upward sloping). Sebaliknya jika efek total positif maka akan terjadi “bacwardbending”pada kurva penawaran tenaga kerja yang berarti bahwa pekerja justru akan mengurangi jam kerjanya dengan peningkatan upah (McConnell dan Brue,1995). Selanjutnya Ruby (2003) mengatakan bahwa dalam analisa agregat, penawaran tenaga kerja, selain ditentukan oleh tingkat upah, juga sangat dipengaruhi oleh perubahan populasi, tingkat partisipasi angkatan kerja (demographic changes) dan arus immigrasi (immigration flows).
Permintaan tenaga kerja di dasarkan dari permintaan produsen (pengusaha) terhadap input tenaga kerja sebagai salah satu input dalam proses produksi. Produsen mempekerjakan seseorang dalam rangka untuk membantu memproduksi barang atau jasa untuk dijual kepada konsumen. Apabila permintaan konsumen terhadap barang atau jasa yang diproduksi meningkat, maka, pengusaha terdorong untuk meningkatkan produksinya melalui penambahan input, termasuk input tenaga kerja, selama manfaat dari penambahan produksi tersebut lebih tinggi dari tambahan biaya karena penambahan input. Dengan kata lain, pertambahan permintaan pengusaha terhadap tenaga kerja, tergantung dari pertambahan permintaan konsumen dari barang dan jasa yang dihasilkannya. Oleh karena itu permintaan tenaga kerja merupakan permintaan turunan (derived demand) dari permintaan konsumen. Hal ini mengindikasikan  bahwa kekuatan permintaan untuk tenaga kerja akan tergantung pada : (1) tingkat produktifitas tenaga kerja dalam membantu menghasilkan barang atau jasa, dan (2) nilai pasar dari barang atau jasa tersebut. (Swastika dan Kuastiari, 2000).
Menurut Ruby (2003), bahwa permintaan tenaga kerja di turunkan dari fungsi produksi yang merupakan fungsi dari tenaga kerja (L) dan modal (K). Fungsi produksinya adalah sebagai berikut :
TP (Y) = f(L,K)
Dimana : TP = Produksi total (output)
L = Tenaga kerja
K = Modal
Dengan asumsi bahwa pengusaha senangtiasa ingin memaksimumkan pendapatannya, maka dalam jangka pendek, produksi optimal (profit maximizing) terjadi pada saat produktivitas marginal tenaga kerja (MPL) sama dengan ratio upah (wt) terhadap harga produk (wt/Px) atau kondisi dimana nilai produk marginal tenaga kerja (VMPL) = wt. Upah (wt) tidak lain adalah jumlah tambahan biaya yang diperlukan untuk mempekerjakan tambahan seorang pekerja. Apabila MPL lebih besar dari wt/Px, maka perusahaan akan menambah permintaan tenaga kerjanya. Secara umum, dalam jangka pendek permintaan tenaga kerja berkorelasi negatif dengan tingkat upah (wt). Akan tetapi terdapat hubungan positif antara harga produk (Px) dengan permintaan tenaga kerja jangka pendek, karena kurva MPL (kurva permintaan tenaga kerja), akan bergeser keluar (outwards) jika harga output menjadi lebih mahal (Borjas, 1996).




Dalam jangka panjang, semua faktor produksi akan mengalami perubahan. Penentuan faktor produksi mana yang digunakan di dasarkan pada daya substitusi  (marginal rate of technical substitution) dari faktor produksi tersebut. Perusahaan akan meningkatkan penggunaan tenaga kerja jika tenaga kerja relatif lebih murah  dibandingkan dengan modal. Dikatakan tenaga kerja lebih murah secara relatif dibandingkan modal, jika produktivitas tenaga kerja lebih tinggi dari produktivitas modal. Menurut Ruby (2003) bahwa peningkatan produktifitas tenaga kerja ini dapat disebabkan oleh penambahan kemajuan teknologi atau penambahan modal per tenaga kerja. Peningkatan produktifitas ini akan menyebabkan bergesernya fungsi produksi ke atas (output per tenaga kerja lebih tinggi) dan menggeser keluar kurva MPL, yang mencirikan permintaan tenaga kerja bertambah. Atau dengan kata lain peningkatan produktivitas tenaga kerja, bukan hanya meningkatkan output, tetapi juga mendorong perluasan kesempatan kerja.
Akan tetapi Menurut Mankiw (2003) pada kenyataannya para pekerja mempunyai preferensi dan kemampuan yang berbeda dan pekerjaan memerlukan spesifikasi keahlian yang berbeda serta upah yang berbeda. Selain itu, karena adanya informasi tentang calon karyawan dan lowongan kerja yang tidak sempurna, dan mobilitas geografis pekerja tidak instant, sehingga calon karyawan dalam mencari pekerjaan yang tepat membutuhkan waktu dan usaha dan hal ini tentu mengurangi tingkat penemuan pekerjaan. Karena setiap calon karyawan membutuhkan waktu untuk mencari pekerjaan, maka pengangguran pasti selalu terjadi. Pengangguran yang disebabkan oleh waktu yang dibutuhkan orang untuk mencari pekerjaan di sebut sebagai pengangguran friksional. Lebih lanjut Mankiw (2003) menjelaskan bahwa pengangguran friksional selalu terjadi pada perekonomian yang selalu berubah. Ketika terjadi perubahan pada komponen permintaan masyarakat akan berdampak pada perubahan struktur produksi (pergeseran sektoral) pula sehingga juga mempengaruhi permintaan tenaga kerja. Pergeseran sektoral ini mencirikan bahwa ada sektor produksi lama yang mengalami kemunduran dan kebangkrutan, tetapi ada pula sektor produksi baru yang muncul dan berkembang. Dalam kondisi seperti itu, maka selalu ada pemutusan hubungan kerja dan ada pula lowongan kerja baru, karena informasi tidak sempurna sehingga pencari kerja selalu membutuhkan waktu untuk menemukan pekerjaan yang sesuai, karena itu pengangguran friksional selalu terjadi.
Alasan kedua untuk pengangguran menurut Mankiw (2003) adalah karena kekakuan upah (wage rigidity) yakni gagalnya upah melakukan penyesuaian sampai penawaran tenaga kerja sama dengan permintaannya. Upah tidak selalu fleksibel menyeimbangkan penawaran dan permintaan tenaga kerja, kadang-kadang upah riil tertahan di atas tingkat kliring-pasar. Ketika upah riil di atas tingkat yang menyeimbangkan penawaran dan permintaan, jumlah tenaga kerja yang ditawarkan melebih jumlah yang diminta sehingga terjadi pengangguran. Hal senada juga diungkapkan oleh ahli ekonomi structuralist (seperti Taylor dan Chenery) ketika mengkritik teori pertumbuhan Solow yang mengatakan bahwa ketidak sempurnaan pasar tenaga kerja terjadi secara kritis di negara berkembang yang ditunjukkan bahwa tenaga kerja menerima upahnya lebih besar dari upah pasar bebasnya (Kasliwal, 1995), atau dengan kata lain PML < w / p (upah riil lebih tinggi dari produksi marginal tenaga kerja). Menurut Taylor dan Chenery, bahwa kegagalan pasar yang terjadi di negara berkembang ini berkaitan dengan: (1) Harga (upah) tidak melakukan penyesuaian secara bebas, dan (2) agen ekonomi merespon secara lambat terhadap perubahan harga (upah) yang terjadi. Dengan demikian pandangan ini sudah sejalan dengan pendapat Mankiw tentang kekakuan upah (wage rigidity) atau gagalnya upah melakukan penyesuaian ke arah keseimbangan pasar ketika terjadi shock (perubahan) pada sisi permintaan maupun pada sisi penawaran tenaga kerja. Menurut Kasliwal (1995) bahwa kegagalan pasar yang telah tersebar luas berkaitan dengan keterbatasan informasi, eksternalitas, skala peningkatan hasil yang semakin meningkat, dan cara alokasi yang tidak melalui pasar (non-market), yang lebih muda diterapkan. Lebih lanjut, ketika pemerintah campurtangan, mereka sering menciptakan yang bahkan lebih penyimpangan. Karena itu distorsi pasar dapat terjadi secara serius di negara berkembang. Sedangkan menurut Mankiw (2003) bahwa hal yang menyebabkan kekakuan upah adalah undang-undang upah minimum, kekuatan monopoli serikat pekerja dan efisiensi upah.
Karena itu semakin kuat faktor-faktor tersebut berpengaruh maka tentu upah semakin kaku dan agen ekonomi semakin lamban merespon perubahan upah, yang berarti pula semakin lama waktu yang dibutuhkan oleh upah untuk melakukan penyesuaian, demikian pula semakin lama waktu yang dibutuhkan oleh agen ekonomi untuk merespon perubahan upah. Dengan demikian lamanya waktu yang dibutuhkan oleh upah untuk melakukan penyesuaian serta waktu yang dibutuhkan agen ekonomi untuk merespon perubahan upah dapat dijadikan indikator tingkat distorsi pasar tenaga kerja.


DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik, 2007, Laporan Badan Pusat Statistik. Berbagai Edisi. BPS, Jakarta.

Bellante, D., dan M. Jackson, 1990, Ekonomi Ketenagakerjaan. Lembaga Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta

Borjas, G.J., 1996, Labor Economis, The McGraw-Hill Companies, Inc, Printed in Singapore.

Kasliwal, P., 1995, Development Economics, South-Western Publishing, Cincinnati-Ohio, United States of America.

Kaufman, Bruce E and Julie L Hotchkiss. 1999. The Economic Labor Markets. USA: Georgia State University.
   
Lipsey, R. G., P. N. Courant, D. D. Purvis, dan P. Steiner. 1997. Pengantar Makroekonomi. Agus Maulana [penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta.


Mankiw, N.G., 2003, Teori Makro Ekonomi, Edisi Kelima, Alih Bahasa : Imam Nurmawan,  Penerbit Erlangga, Jakarta

McConnell, C.R., and Brue, S.L., 1995, Contemporary Labor Economics, International Edition, 1995, McGraw-Hill Companies Inc, Printed in Singapore.

Moore, G. A. dan R. D. Elkin. 1987. Labor and The Economy. South-Western Publishing Co, Cincinnati, Ohio.

Ruby, D.A., 2003, Labor Supply Decisions and Labor Market Equilibrum. http://www.digitaleconomist.com/Is_4020.html.

Sadono Sukirno. 1994. Pengantar Teori Ekonomi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.




















Silahkan Tinggalkan Komentar Anda :

No comments:

Saran Anda Akan Menambah Sejuta Ide Saya