pengunjung yg online

Anda pengunjung ke :

Saturday, October 5, 2013

KRITIKAL REVIEW TERHADAP PENELITIAN TENTANG GOVERNMENT CONSUMPTION VOLATILITY AND THE SIZE OF NATIONS


By Davide Furceri and Marcos Poplawski Ribeiro


I.       PENDAHULUAN

Penelitian mengenai “Government Consumption Volatality and the size of Nation, diambil dari Jurnal ECO/WKP/(2009)08 yang pada awalnya menyebutkan bahwa tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa hubungan antara volatiliti konsumsi pemerintah dengan ukuran suatu negara dengan menggunakan sampel dari 160 negara dari tahun 1960 sampai dengan tahun 2000. Penelitian ini menemukan bahwa : 1. negara – negara kecil lebih fluktuasi konsumsi pemerintah baik karena kebijaksanaan yang bebas maupun yang tertentu.2. Hubungan antara Fluktuasi konsumsi pemerintah dengan ukuran negara adalah lebih negatif untuk ekonomi yang lebih fluktuatif.3. Hubungan antara Fluktuasi konsumsi pemerintah dengan ukuran negara adalah lebih negatif untuk fungsi belanja pemerintah yang  berkarakteristik tingkat tinggi dalam tidak adanya kompetitor. Hasil penelitian ini adalah sehat  dalam perbedaan waktu dan contoh-contoh negara, teknik ekonometrik dan beberapa penetapan variabel kontrol.
Seperti diketahui dalam beberapa tahun terakhir, berkembang berbagai literatur ekonomi yang  memfokuskan diri pada  dampak ukuran suatu negara terhadap  berbagai manfaat ekonomi. Dari sebuah titik ekonomi yang dipandang  tanda-tanda adanya dampak dari ukuran negara telah terlihat (Alesina dan Spoalore,2003). Alesina and Wacziarg (1998) memperlihatkan kekuatan pengeluaran-pengeluaran pemerintah pada negara-negara kecil    dalam memberikan kontribusi terhadap GDP negara tersebut.

II.            PENDAPAT LAIN TENTANG ISU YANG BERKENAAN

Penelitian ini apabila dikaitkan dengan isu-isu demokratisasi yang secara global sedang menjadi trend di seluruh penjuru dunia agak bertentangan. Sejumlah studi juga menunjukkan bahwa tingkat kemajuan ekonomi   merupakan   faktor   penentu   penting   bagi   keberlanjutan demokrasi. Suatu studi yang banyak diacu menyimpulkan bahwa,berdasarkan pengalaman empiris selama 1950-90, rejim demokrasi di negara-negara dengan penghasilan per kapita 1500 dolar (dihitung berdasarkan  Purchasing   Power   Parity  (PPP)-dolar   tahun   2001) mempunyai harapan hidup hanya 8 tahun.  Pada tingkat penghasilan per kapita 1500-3000 dolar, demokrasi dapat bertahan rata-rata 18 tahun.Pada penghasilan per kapita di atas 6000 dolar daya hidup sistem demokrasi jauh lebih besar dan probabilitas kegagalannya hanya 1/500.
Apabila kita hitung berdasarkan PPP-dolar 2006 penghasilan per kapita Indonesia diperkirakan sekitar 4000 dolar sedangkan batas kritis bagi demokrasi sekitar 6600 dolar. Kita belum 2/3  jalan menuju batas aman bagi demokrasi.
Sejumlah   studi   empiris   lain,   terutama   oleh   para   ekonom, menyimpulkan   bahwa   demokrasi   bukan   penentu   utama   prestasi ekonomi.  Menurut pandangan ahli-ahli ini, terutama bagi negara-negara berpenghasilan rendah, rule of law lebih menentukan kinerja ekonomi daripada demokrasi per se. Apabila kesimpulan ini benar maka negara-negara berpenghasilan rendah dapat memacu pertumbuhan ekonominya, meskipun mereka belum siap menerapkan demokrasi, asalkan mereka dapat memperbaiki rule of law.  Tetapi dengan meningkatnya kemakmuran demokrasi akan makin ”diminta”oleh masyarakat.  Sementara itu, pada tahap ini demokrasi juga makin penting   bagi   keberlanjutan   pembangunan   ekonomi.   Seorang   ahli ekonomi pembangunan kenamaan melihat demokrasi sebagai suatu meta-institution atau institusi induk yang dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuhnya institusi-institusi lain yang berkualitas, artinya 10 efektif dan dengan tatakelola atau  governance  yang baik.    Hal ini penting mengingat konsensus yang sekarang berkembang di kalangan ahli   dan   praktisi   adalah   bahwa   mutu   institusi   atau  governance merupakan kunci keberhasilan pembangunan. Apabila institusi yang baik menentukan keberhasilan pembangunan, dan demokrasi adalah sistem yang kondusif bagi perkembangan institusi semacam itu, maka demokrasi menjadi penentu bagi pembangunan ekonomi. Pada tahap  kemajuan ekonomi yang makin tinggi, pertumbuhan ekonomi akan makin mengandalkan pada fleksibilitas sistem ekonominya, kemajuan teknologi dan peningkatan mutu faktor produksi, yang kesemuanya bersumber dari inisiatif dan inovasi oleh para pelaku ekonomi.  Dan kita tahu   bahwa   inisiatif   dan   inovasi   tumbuh   paling   subur   di   alam  demokrasi.
Dilema mendasar yang dihadapi demokrasi, sejak Plato, adalah bagaimana memadukan rasionalisme dengan populisme, pemerintahan yang efektif dengan pemerintahan yang representatif, teknokrasi dengan demokrasi. Dilema ini sangat kongkrit, dan akut, bagi demokrasi yang baru berkembang, seperti di negara kita. Di satu sisi, kita ingin memacu pembangunan ekonomi yang pada hakekatnya memerlukan langkah cepat dan kebijakan ekonomi yang rasional, konsisten dan berwawasan jangka panjang – short term pain for long term gain. Di sisi lain, sistem politik yang berjalan, karena mekanisme yang belum mantap, tidak mendukung pengambilan keputusan yang cepat dan decisive. Risiko distorsi terhadap kebijakan yang rasional juga tinggi karena tidak jarang kepentingan sempit dan jangka pendek mendominasi wacana pengambilan keputusan di lembaga legislatif dan bahkan eksekutif, tanpa ada mekanisme koreksi  yang efektif. Inilah sebabnya mengapa para ahli berpendapat bahwa kebijakan ekonomi, sampai batas tertentu, perlu di-insulasikan dari hiruk-pikuk politik sehari-hari. Independensi bank sentral, yang sekarang sudah umum diterima, adalah satu perwujudan dari pemecahan dilema ini. Apakah pemecahan serupa dapat diterapkan di bidang lain seperti kebijakan fiskal, industri dan perdagangan atau lingkungan hidup, sekarang masih diperdebatkan para ahli.Yang   penting,   posisi   strategis   mengenai   imbangan   antara teknokrasi dan demokrasi harus diambil oleh setiap bangsa pada setiap tahap perjalanannya. Di masa Orde Baru, dengan plus dan minusnya, proses kebijakan ekonomi diproteksi dari proses politik sehari-hari, paling tidak selama dua dasawarsa pertama. Sekarang, format itu tidak cocok lagi. Format yang baru harus kita temukan dan posisi strategis yang pas harus kita ambil. Ia tidak bisa dibiarkan hanya sebagai hasil sampingan dari proses politik praktis. Taruhannya terlalu besar.
Sejarah   menunjukkan   bahwa keberhasilan  proses transformasi menuju masyarakat yang makmur, demokratis   dan   terbuka   ditentukan   oleh   keberadaan   kelompok pembaharu.  Kelompok inilah yang menjadi ujung tombak dan pengawal proses   transformasi   itu.   Tanpa   kelompok   pembaharu,   proses transformasi akan berisiko mandeg atau keluar dari jalur yang kita inginkan.   Pertumbuhan   ekonomi   membantu   tumbuhnya   kelompok pembaharu, tapi ia harus memenuhi 2 syarat, yaitu: (1) pertumbuhan itu menyentuh dan dapat dinikmati oleh sebagian besar rakyat  (broad based) dan (2) prosesnya lebih mengandalkan pada kegiatan berdasarkan hasil kerja, inisiatif dan ingenuitas sumberdaya manusianya dan bukan semata dari hasil penjualan kekayaan alam, bantuan luar negeri atau pada   rezeki   nomplok   lainnya.   Untuk   mendukung  berkembangnya kelompok pembaharu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja tidak cukup. Dua syarat tersebut harus juga dipenuhi.Siapakah kelompok pembaharu itu dan apa peran mereka dalam proses transformasi?  Sejarah mencatat bahwa kelompok ini bisa datang dari latarbelakang sosial yang berbeda. Di Inggris pada tahap krusial transformasinya inti dari kelompok pembaharu adalah para pengusaha –kaum bourgeoisie – atau kaum borjuis.  Istilah kaum borjuis mempunyai konotasi buruk di negeri ini karena dikaitkan dengan teori Marx yang memposisikannya sebagai kelas yang menguasai alat-alat produksi masyarakat dan menggunakannya untuk mengeksploitir buruh.  Dalam konteks teori sosial non-Marxist kelompok ini diposisikan lebih netral. Studi para ahli sejarah ekonomi umumnya melihat bahwa di Inggris kelompok ini telah berperan sebagai pembaharu sosial, pada awalnya dalam meruntuhkan struktur feodal yang ada dan selanjutnya menjadi ujung tombak dan pengawal proses modernisasi dan demokratisasi . Pola seperti itu kemudian diikuti oleh beberapa negara Eropa lainnya. Di Amerika Serikat proses transformasi oleh kelompok ini berlangsung lebih cepat karena dari awal tidak ada struktur feodal yang harus diruntuhkan.
Di negara-negara seperti Jerman dan Jepang kaum borjuis, paling tidak pada tahap awalnya, bukan penggerak utama transformasi.  Mereka tidak sekuat dan se-independen rekan-rekannya di Inggris atau Amerika Serikat.  Di Jerman, justru kaum birokrat (yang terdiri dari para ex-aristokrat) yang menjadi kelompok pembaharu.  Jerman pada abad 19 mempunyai sistem birokrasi paling modern di dunia dan, melalui reformasi birokrasi, mereka menciptakan rule of law yang mantap dan sistem jaminan sosial modern.  Di Jepang cikal-bakal dari kelompok pembaharu adalah kaum samurai yang mentransformasikan diri menjadi motor penggerak modernisasi. Di Jerman dan terutama di Jepang proses modernisasi tidak serta merta melahirkan demokrasi.  Di kedua negara ini, demokrasi baru berakar setelah Perang Dunia II. Dan prosesnya pun tidak sepenuhnya berasal dari dinamika intern, tetapi sebagian karena tekanan dari negara-negara penakluknya, khususnya Amerika Serikat, yang menginginkan demokrasi diterapkan di negara-negara tersebut.Bagi negara berkembang barangkali akan terlalu lama untuk menunggu terbentuknya kelompok pembaharu secara alamiah seperti di negara-negara   tersebut.   Negara   berkembang   seyogyanya   tidak mengandalkan satu atau dua kelompok sosial saja sebagai kelompok pembaharunya. Yang terbaik adalah mendorong terbentuknya koalisi luas, yang terdiri dari para demokrat dari semua   segmen sosial. Kelompok pembaharu ini dapat meliputi unsur-unsur reformis dari kaum pengusaha, intelektual, profesional, birokrat, pemuda,  aktivis LSM dan lain-lain. Mereka diikat oleh kesamaan platform, yaitu memperjuangkan nilai-nilai demokrasi seperti hak asasi manusia, keterbukaan, kebebasan berusaha, good governance, rule of law dan sebagainya.  Di sementara negara berkembang, termasuk Indonesia, kelompok semacam ini sudah mulai terbentuk dan berperan, meskipun masih terbatas. Mereka adalah elemen strategis dalam proses modernisasi dan demokratisasi.Jalur   Yang   Penuh   Risiko.  Proses   modernisasi   dan demokratisasi adalah perjalanan yang panjang dan penuh risiko.   Ada yang   mengibaratkan   alur   tranformasi   itu   sebagai   kurva-J   yang menggambarkan risiko kegagalan yang besar pada awal proses itu tetapi kemudian berangsur menyurut pada tahap selanjutnya.   Ada yang menggambarkannya sebagai proses meniti jalur yang penuh pusaran-pusaran vicious circles dan, kalau beruntung, virtuous circles.  Ada pula yang menggambarkannya sebagai perjalanan di jalan yang penuh persimpangan yang menuntut keputusan yang benar.  Proses sejarah tidak  mengenal  belas kasihan.   Hanya  bangsa yang  mempunyai pandangan ke depan, keyakinan, keuletan dan kecerdasan yang dapat menyelesaikan perjalanannya. Yang lainnya tidak beranjak dari posisi awalnya, atau menjadi negara gagal (failed states) atau bahkan hilang dari peta sejarah.  Hukum Darwin juga berlaku bagi seleksi antara bangsa.






Silahkan Tinggalkan Komentar Anda :
Saran Anda Akan Menambah Sejuta Ide Saya